Photo by Josh Nuttall on Unsplash

Mungkin kita Samudra.

Shulthan Labib
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata
2 min readFeb 13, 2024

--

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Sapardi Djoko Damono, 1989.

“Ayah, mengapa samudra diciptakan?” Gadis kecil itu tersenyum kecil melihat pria disampingnya. Pria tua yang terduduk menyingkupkan kaki hanya tersenyum, membalas senyumanya. Kelak kau akan tahu anakku makna samudra. Tidak hari ini, mungkin esok. Gadis kecil itu berusaha memahami senyuman ayahnya, bukan karena umurnya yang masih belia melainkan ia mengerti apa yang dimaksud ayahnya. Gadis kecil itu coda.

Apakah aku berbeda? Lantas apa yang menjadikanku berbeda? Ini terkesaan tidak adil. Semesta terlalu kejam untuk menjadikanku berbeda. Haruskah aku meminta untuk tidak terlahir. Sepertinya omong kosong. Kelahiran adalah sebuah anugrah kata mereka. Mereka tidak mengerti, itu hanyalah sebuah bualan semata. Mungkin hanya rasa simpati yang hanya muncul sekejap, lalu menghilang pergi.

Menjadi anak yang berbeda terkadang begitu sulit. Sulit untuk menjadi sama. Berada di tengah-tengah hal yang tak jelas — Semu. Sesekali aku terisak tangis, menahan sepatah dua kata yang terkadang sulit kupahami sendiri. Berharap ini adalah mimpi. Apakah dunia terlalu bising untuk dunia hampa yang ku punya? Nyatanya tidak. Semesta tak pernah berpihak.

Bertahun-tahun memahami arti semesta. Mempelajari beberapa kejadian, meski menyakitkan. Nihil. Entah, semua terasa tak masuk akal. Logika ini terlalu kecil untuk peristiwa menyakitkan itu. Limbung. Aku terkekeh, meringankan suasana.

Kala itu aku terbangun, terduduk lemas ditepi ranjang tidurku. Menatap lamat matahari yang berangsur menyapu isi rumah kecil itu. Lantas kutemukan makna samudra itu.

Hati ini tak kusadari penuh dengan ketabahan.
Mengarungi lautan perbedaan mencari kebahagian di balik dalamnya samudra.
Mungkin bak ombak penghantar cerita-cerita itu, aku sibuk mencari makna. Lantas samudra yang menghubungkan banyak semesta, perbedaan ini adalah anugerah.
Hadirnya adalah penghubung antara kesunyian dan kebisingan.

Bagai suara ombak yang membawa pesan-pesan kebijaksanaan,
Kesunyian menjadi perihal kontemplasi,
Kebisingan adalah ketenangan di tengah riak yang tak terduga.
Dalam harmoni mereka, aku menemukan kebijaksanaan samudra, yang memberikan pelajaran bahwa dalam setiap pasang surut, ada keindahan yang tak terkira.

Semarang, 1445 H.

--

--

Shulthan Labib
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata

Seorang pemuda yang sedang mencari jati dirinya, anak kesayangan semesta.