Si Buruk Rupa
Semua orang memujinya rupawan. Laki-laki, perempuan, semua mengidamkan dirinya untuk hadir. Sekadar hadir, sebagai menyejuk mata. Ia sedap dipandang.
Namun tidak baginya. Baginya ia adalah sosok buruk rupa yang selalu muram. Bersembunyi dalam gelap. Cermin, baginya adalah makhluk hina yang tidak akan pernah ia gunakan di mana pun.
Rupawan yang dipuja-puja itu, hanya rupa ilusi yang diinginkan oleh mereka yang mengidamkan materi. Jaringan-jaringan unggul yang terajut menjadi satu untuk pujaan peradaban.
Sementara ia hanya melihat jaringan-jaringan itu tidak memiliki jiwa. Jaringan-jaringan yang sama seperti mereka yang tidak rupawan. Tiada beda satu sama lain.
Suatu ketika ia berjalan melewati lorong gelap. Udaranya begitu pengap, panas penuh asap hangat. Ia melihat sosok pria tua bersama anak kecil yang tidur dalam dekap.
Ia berhenti sejenak, kemudian berdecak “Alangkah rupawannya bapak itu.” Rupa yang ia pandang sedang tersenyum memeluk sosok kecil itu.
“Mungkin aku bisa menemukan itu di ujung sana,” ujarnya sambil melanjutkan perjalanan pulang.
Lorong semakin jauh, hanya ada gurat remang cahaya dari matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Ia mendengar tawa anak-anak yang semakin keras terdengar. Beceknya lorong tidak menghentikan mereka saling berlarian, berteriak dengan wajah riang.
Ia berlalu begitu saja, wajahnya semakin muram. Ia melihat kebahagiaan yang hidup dalam rupa. Pintu bagi jiwa.
Sayangnya, ia hanya membatu karena ia tidak memiliki itu. Ia hanya bisa berharap dirinya memiliki itu. Gurat-gurat simpul yang menerangi relung waktu.
Karena ia sadar ia hanyalah sosok buruk rupa tanpa emosi yang masih saja disukai orang-orang yang tidak mengerti. Malam menyelimutinya perlahan hingga daging dalam dada itu terhenti.