Spontaneous Journaling

Bapak dan Ibu

Ifa Maghfiroh
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata
5 min readJan 28, 2024

--

Photo by Bradyn Shock on Unsplash

I just wanna make you proud

I’m never gonna be good enough for you

song lyrics “Perfect” by Simple Plan

Lirik di atas mewakili diri saya waktu itu, dimana saya merasa marah ketika apa yang sudah saya capai — baik dari segi akademik maupun kemampuan saya yang lain — tidak pernah cukup memuaskan bagi orang tua saya. Alih-alih dibanggakan, malah terus saja dibandingkan dengan orang lain yang memiliki pencapaian yang lebih dari saya. Bukankah menyebalkan?

Hari-hari berikutnya — tanpa saya sadari — saya tumbuh menjadi anak yang pemberontak dan sensitif dengan perkataan orang tua saya. Ketika kondisi rumah sedang kotor dan berantakan, lalu saya tidak segera menyapu dan merapikannya, ibu saya akan berkata, “Punya anak perempuan, tapi rumah kotor kaya gini. Ga pantas! Liat rumah orang-orang, jam segini sudah bersih semua” “Kenapa emang dengan anak perempuan? Emangnya harus perempuan yang nyapu? Lagian emang sebersih apa rumah orang-orang?” jawab saya, tidak setuju, lalu pergi mengambil sapu. “Dikasih tau orang tua, membantah saja!” Balas ibu saya.

Ketika anak kecil melakukan kesalahan yang tidak disengaja — seperti menumpahkan air dalam gelas, memecahkan vas bunga, ataupun terluka hingga berdarah saat bermain — bukankah itu hal yang wajar dan tidak perlu dimarahi, apalagi sampai dipukul? Bukankah sebagai orang tua seharusnya menenangkan dan menasehati dengan lembut? Tapi kenapa itu semua malah sebaliknya terjadi pada saya. Saya malah dimarahi oleh orang tua saya dan menganggap saya ceroboh.

Saat beranjak dewasa, saya mulai memahami apa itu mental health, toxic parenting, bagaimana hal tersebut berpengaruh pada emosi anak dan masa depan mereka. Semakin dewasa, kesadaran terkait kesehatan mental semakin lekat pada diri saya. Hingga saya memiliki pemikiran wah berarti pola asuh orang tua saya selama ini sudah memberikan luka emosional terhadap saya, apa yang dilakukan mereka sudah tidak benar, saya harus menyuarakannya, agar mereka paham betapa menyakitkan yang saya rasakan.

Pemikiran semacam itu yang membuat saya semakin membenci cara mereka mengasuh saya. Hal tersebut juga menjadikan hubungan saya dengan orang tua semakin buruk. Seringkali berbeda argumen yang menjadi penyebabnya dan saya selalu mengeluh dengan didikan mereka. Lalu, menganggap parenting mereka yang konservatif itu menjadi dalang atas kekurangan yang saya miliki. Pemikiran itu yang menjadikan saya berada di lingkaran setan, dimana saya terus mencari pembenaran atas keluh kesah saya di balik kata mental health. Lantas, saya merasa sebagai anak yang kurang beruntung memiliki orang tua seperti mereka.

Tapi, apakah saya pernah bertanya pada diri saya mengapa mereka bersikap seperti itu? Bukankah mereka sudah menghabiskan waktu, uang, dan tenaga mereka untuk merawat dan membesarkan saya dan keempat saudara saya? Bukankah itu bukti rasa sayang mereka? Lelah juga saat saya mencoba mengorek-ngorek kesalahan mereka yang pernah memberikan luka emosional di masa lalu. Apakah saya akan puas dengan semua hal tersebut?

Suatu ketika saya menonton video singkat di sini yang menyadarkan saya tentang suatu cara pandang yang berbeda terhadap orang tua. Di video tersebut, si pembicara mengatakan bahwa orang tua kita adalah generasi terbaik pada zamannya, sedangkan kita lahir di zaman yang berbeda dengan mereka. Tentunya akan ada perbedaan pemahaman dengan kita. Kita akan sangat egois ketika menuntut mereka untuk menjadi orang tua dengan segala pemahaman seperti pada zaman ini. Mereka hanya menyayangi kita sesuai kemampuan mereka, terlepas dari luka emosional yang mereka berikan pada kita. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa mereka mungkin tidak mendapatkan privilage seperti kita, dimana kesadaran mental health sangat dipedulikan oleh banyak orang.

Dari saat itu, saya merenung, memikirkan kembali apa yang dikatakan si pembicara tersebut. Lalu, menarik waktu ke belakang, dimana orang tua saya masih usia remaja dan sudah bekerja keras di atas kaki mereka sendiri hingga merantau ke luar pulau. Sejak masih muda, bapak saya dikenal sebagai orang yang pekerja keras, bekerja ini dan itu, bahkan dia sudah melalang buana mencari peruntungan di setiap tempat yang dia tempati. Baginya, apa itu mental health? Hidup ini terlalu keras hanya untuk mementingkan mental health.

Begitupun ibu saya, seorang perempuan gigih dan tak pernah takut dengan siapapun selagi dia benar. Masa mudanya juga begitu keras. Sama seperti bapak saya, dia juga sudah merantau sejak muda. Mencari peruntungan dari tempat yang dia singgahi. Baginya, tidak ada waktu untuk mengeluh untuk bisa bertahan dalam kerasnya kehidupan.

Masa muda mereka tidak seberuntung saya, yang berkecukupan, berpendidikan tinggi, dan hidup di zaman yang serba gampang mengakses apapun. Masa muda mereka sudah habis untuk memikirkan cara bertahan hidup, bukan lagi memikirkan cara untuk nyaman. Sedangkan, di masa tua mereka habiskan untuk membesarkan kelima anaknya.

Yang saya pahami dari mereka hanyalah tentang masa sekarang, dimana mereka sangat keras dan konservatif, jarang sekali saya memposisikan kondisi mereka saat masih muda. Bahkan, orang tua mereka pun mungkin tidak paham bagaimana seharusnya menjadi orang tua yang baik. Ditambah, saat itu informasi tentang mental health atau semacamnya belum beredar luas seperti sekarang.

Saya teringat saat ibu saya menyiapkan bekal dan keperluan yang lain sebelum berangkat berkunjung ke pondok saya. Bahkan, kata adik saya, dia sering mengeluh kelelahan setelah mengunjungi saya di pondok — maklum saat itu usianya hampir setengah abad dan masih harus menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam menggunakan motor bersama bapak saya. Lalu, saya teringat kalau hampir setiap kali saya mendaftar masuk sekolah, saya sering diantar oleh bapak saya menggunakan motor ke luar kota, seperti waktu itu mendaftar pondok dan mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Bukankah saya sangat egois dengan terus menerus menyalahkan mereka dan seakan mengutuk apa saja luka yang mereka berikan pada saya? Sedangkan, ada banyak sisi pengorbanan yang mereka berikan pada saya.

Situasi yang saya alami ini mengingatkan saya pada salah sub-bab dari buku Berani tidak Disukai karya Ichiro kishimi dan Fumitake Koga, yang menjelaskan bahwa kita lah pemegang kartu penting dalam hubungan interpersonal. Ketika kita ingin memperbaiki suatu hubungan dengan orang lain, kita perlu memulainya dari diri kita sendiri tanpa menginginkan mereka berubah. Inilah yang penulis sebut sebagai pembagian tugas. Sekalipun kita berubah, itu hanya “kita” yang berubah. Terlepas dari mereka berubah atau tidak, itu di luar dari tugas kita. Itulah yang membuat hidup kita lebih tenang tanpa memikirkan perilaku orang lain terhadap kita.

Itu yang saya sedang lakukan saat ini, mencoba membagi tugas, dimana saya bertekad memperbaiki hubungan saya dengan orang tua tanpa peduli timbal balik yang sama yang akan saya dapatkan. Dengan begitu, saya bisa menerima apa adanya orang tua saya. Terlepas dari apapun yang terjadi di masa lalu, orang tua saya adalah orang tua terhebat bagi saya. Saya bangga menjadi anak mereka.

In the future, I will make you proud of me. I promise.

Big love,

Your daughter

--

--

Ifa Maghfiroh
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata

Blogger | Content writer | Copywriter | Bachelor of Education | @ifa_mghs