4 Manfaat Menulis yang Jadi Motivasi Terus Berkarya

Kegelisahan tentang menulis akibat diskusi dadakan bersama senior kampus..

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata
10 min readNov 10, 2019

--

Beberapa waktu lalu saya secara tidak sengaja bertemu dengan senior saya di sebuah pusat perbelanjaan di pusat kota Surabaya. Saya yang kala itu hendak ke food court tiba-tiba dipanggil dan diajak untuk bergabung.

Di forum yang singkat itu terjadi diskusi mengenai apakah teman-teman junior yang baru saja lulus kuliah harus giat menulis. Kata senior saya, tidak. Sementara saya sangat menganjurkan. Akhirnya saya termenung memikirkan manfaat menulis.

Photo by Elijah Hiett on Unsplash

Mengapa senior saya tidak mengajurkan menulis? Ternyata menurutnya saat kita terlalu fokus untuk menulis kita akan cenderung untuk kaku, terisolasi dan egoistis. Lucunya, kesimpulan ini hanya diambil dari satu sampel yakni junior lain yang sukses dengan karir akademisnya karena aktif menulis. Hanya saja menurut senior saya, ia terlihat seperti intelektual introvert yang sulit untuk berinteraksi dengan orang lain.

Benarkah menulis itu membuat orang terkesan seperti robot? Tidak memiliki emosi dan kemampuan sosialnya rendah. Bahkan stigma yang diberikan senior saya saat itu, sembari mengutip Tan Malaka, akademisi itu hanya orang-orang yang pandai mengutip.

Saya agak terkejut saat argumentasi itu dilemparkan. Tentu saja saya tahu Tan Malaka memang tokoh yang disegani dalam dunia filsafat dan literasi. Namun apakah benar Tan mengatakan hal demikian sementara dia sendiri adalah sosok penulis yang bahkan bukunya dikutip sana-sini oleh berbagai pihak termasuk akademisi.

Gejolak pribadi tentang menulis memang tidak bisa dipisahkan dari latar belakang saya yang selama hampir lima tahun terakhir ini berkutat dengan dunia kepenulisan dan literasi. Tentu saja apapun argumentasi saya tentang menulis akan menjadi bias karena saya saat ini sedang dalam fase menikmati bidang ini.

Entah apa yang terjadi jika saya mendalami menulis bertahun-tahun seperti seorang Pram yang pada akhirnya terkesan “mengutuk” dunia kepenulisan setelah nasib yang dia alami. Apa yang dirasakan Pram bisa jadi adalah sikap yang menunjukkan subjektifitas dua sisi. Meski memang Pram sejatinya hampir tidak pernah mengalami masa menyenangkan selama menjadi penulis di tanah air.

Kegelisahan tentang menulis akhirnya merembet ke tingkat produktifitas tulisan yang saya hasilkan. Sebagaimana teman-teman lihat di Medium, saya mulai cukup jarang untuk menulis. Dalam satu bulan bisa jadi hanya tiga atau paling banyak lima artikel ditulis. Itupun tanpa riset yang matang.

Sebagaimana tulisan ini, tulisan ini saya tulis dengan bebas. Istilahnya free flow atau free style kata orang. Saya tidak mencari data-data yang akurat apalagi lengkap terkait dengan manfaat menulis. Semua manfaat yang saya tuliskan di bawah ini sepenuhnya adalah perspektif pribadi. Nah jadi untuk kamu yang ingin menyimak apa sih manfaat menulis. Bisa baca paragraf setelah ini.

Apa sih manfaat menulis menurut saya? Ada beberapa manfaat yang menurut saya cukup krusial dan penting. Semua manfaat ini akan saya coba jelaskan secara singkat namun tetap jelas sehingga bisa dipahami.

“Menulis adalah bekerja untuk keabadian” — Pramoedya Ananta Toer

1. Melatih kemampuan mengetik

Photo by Glenn Carstens-Peters on Unsplash

Diakui atau tidak, semakin banyak saya menulis melalui perangkat laptop, kecepatan mengetik saya semakin lama semakin cepat. Jika dahulu pada tahun-tahun 2014 saya memutuskan untuk tidak banyak beraktifitas, menulis akhirnya menjadi opsi untuk melatih kemampuan mengetik saya. Dan siapa yang menyangka bahwa kecepatan mengetik saya saat ini rata-rata adalah 80 kata per menit.

Bukan angka yang ideal memang. Saya sendiri menargetkan untuk bisa mencapai angka kecepatan 100 kata per menit. Angka ini saya targetkan agar saya bisa lebih efisien dalam proses produksi sebuah naskah. Kecepatan mengetik tentu cukup memberikan dampak ketika saya ingin menulis artikel atau bahkan buku yang membutuhkan jumlah kata yang terlampau banyak.

Mungkin kamu bisa berkata, “kan ada speech to text, udah ga jaman mengetik”. Ya memang benar, speech to text sangat membantu. Hanya saja, mengatur logika verbal dengan mengatur logika non-verbal seperti menulis rasanya memiliki proses yang berbeda.

Tentu kita menyadari bahwa saat kita berbicara secara verbal, kita cenderung terbiasa untuk berkata-kata dan berbicara secara bebas, tanpa aturan dan lebih mengedepankan terkomunikasikannya pesan pada lawan bicara. Sementara pada saat kita menulis dengan tulis tangan atau ketik, kita cenderung untuk membuat tulisan lebih formal, memiliki struktur yang jelas dan memenuhi kaidah. Walaupun memang tidak semua jenis tulisan juga menggunakan aturan ini.

Jadi, kemampuan mengetik buat saya rasanya cukup penting saat ini. Kemampuan ini juga mencakup mengetik di ponsel ya. Karena saat ini mengetik di ponsel maupun di laptop dituntut untuk bisa sama-sama baiknya.

2. Melahirkan ekspresi, gagasan dan ide

Photo by Bobby on Unsplash

Menulis bagi saya bukanlah semata tentang kemampuan untuk menulis argumentasi secara akademis seperti pengertian sempit yang disadari oleh senior saya tadi. Melainkan menulis lebih kepada bisa mengekspresikan sesuatu. Ketika saya bisa mengekspresikan apa yang saya pikirkan saya akan merasa lebih tenang dan tidak ada lagi beban pikiran. Seakan kebutuhan ekspresif itu sudah terlampiaskan.

Kabar baiknya, ekspresi itu tercatat, ada artefaknya, ada arsipnya. Sehingga saya bisa melihat hasil ekspresi itu kembali suatu ketika. Entah apakah ada manfaatnya atau tidak yang jelas menulis itu seperti menyimpan memori, menangkap momen dan seakan bisa menjadi sebuah mesin waktu.

“There is no greater agony than bearing an untold story inside you.” — Maya Angelou

Begitu pula terait dengan gagasan, setiap orang pasti memiliki opini tentang sesuatu, setiap orang pasti memiliki pandangannya masing-masing terkait suatu hal. Opini maupun pandangan tersebut merupakan gagasan yang dibangun dari pengalaman, wawasan, kemampuan intelektualitas dan sebagainya yang menjadi satu dan diproses dalam pikiran seseorang.

Semua orang yang sehat, pasti bisa berpikir dengan baik. Bisa menerima informasi, mengolahnya kemudian menyimpulkan sesuatu. Sayangnya semua proses itu terjadi secara mental, atau dengan kata lain hanya terjadi secara abstrak dan maya di benak atau dipikiran seseorang.

Padahal, gagasan itu bisa jadi perlu untuk disampaikan berulang-ulang. Perlu untuk disebar luaskan sehingga gagasan itu perlu untuk dilahirkan dengan ditulis, dicetak, kemudian didistribusikan. Itulah mengapa menulis penting bagi kelahiran sebuah gagasan agar tidak lagi menjadi sesuatu yang bisa fana hanya karena tidak tersimpan secara permanen dalam pikiran.

Selanjutnya soal ide, sama seperti gagasan, saya meyakini bahwa sebuah ide adalah inspirasi yang menjadi titik pertama yang menggerakkan seseorang untuk berjalan. Saya memiliki ide untuk memakan nasi, maka saya akan mencari cara bagaimana bisa mendapatkan nasi. Ada ide, ada masalah, kemudian ada solusi.

Lalu apa kaitannya dengan menulis? Dalam konteks melahirkan ide sebagai inspirasi, kerap kali ide datang tanpa direncanakan. Ia datang bagai hantu di siang bolong. Mengampiri dan menghantui pikiran kemudian dalam waktu singkat ia pergi tanpa kabar. Mungkin bisa disebut sebagai idea ghosting. Haha

Tapi bayangkan jika kita seperti para ghost buster, yang sudah bersiap untuk menangkap ide-ide bergentayangan itu kemudian menyimpannya dalam sebuah kontainer yang permanen. Tentu ide-ide itu tidak lagi bisa hilang dan kabur, dan ketika kita ingin meninjau kembali serta menggunakannya untuk sebuah keperluan, kita hanya perlu untuk melihatnya lagi.

Ingat kata mutiara dari Pram, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Seperti itulah kira-kira manfaat melahirkan ide-ide dalam sebuah tulisan. Bahkan bagi saya pribadi seperti yang sudah saya katakan berulang kali, bahwa ide bisa jadi adalah pemberian ilahiah. Sesuatu yang mungkin datang dari luar yang bisa kita kendalikan dan kemudian kita diberi amanah untuk itu.

Jadi, jangan pernah ragu untuk menulis demi lahirnya ekspresi, gagasan dan ide yang kamu miliki. Sekilas memang mereka seperti tidak memiliki harga. Namun saya percaya bahwa bahwa suatu ketika saat saya kehilangan itu semua, saya akan menyesal kalau ketiganya adalah hal yang krusial bagi kita sebagai manusia.

3. Melatih komunikasi efektif.

Catat, efektif bukan efisien. Menulis menurut saya melatih seseorang untuk bisa berkomunikasi secara efektif. Mengapa efektif dan bukan efisien? Karena menulis efektif adalah bagaimana caranya berkomunikasi dengan jelas, logis dan bisa diterima secara lengkap oleh penerima pesan. Sementara komunikasi efisien hanya tentang bagaimana penerima pesan bisa menerima pesan.

Ada dua hal yang sangat berbeda soal manfaat menulis untuk komunikasi efektif ini. Menulis bagi saya bukan tentang bagaimana merangkai kata yang begitu rumit dan ndakik agar orang kagum dengan hasil pikiran saya. Namun menulis bagi saya adalah untuk berkomunikasi efektif.

Ini berangkat dari hasil tes psikologi saya beberapa tahun lalu yang menyarankan agar saya lebih mengutamakan komunikasi melalui teks dibandingkan dengan komunikasi verbal. Karena saya adalah tipikal pemikir yang kerap kali memiliki banyak sekali konsep abstrak yang sulit untuk disampaikan secara sederhana dalam komunikasi verbal.

Tes psikologi inilah yang ternyata menjadi titik awal saya untuk berkarir di dunia jurnalisme, literasi, kehumasan dan marketing.

Menariknya, terkait komunikasi efektif. Sebuah perusahaan digital di Amerika Serikat, Basecamp melalui pendirinya, Jason Fried selalu mengatakan bahwa Basecamp hanya akan merekrut pegawai yang mampu untuk menulis apapun posisinya. Sebab menurutnya, aktifitas dalam perusahaan sepenuhnya adalah tentang menulis. Menulis brief melalui email, berkordinasi antar tim melalui pesan teks (kebanyakan tim Basecamp adalah pekerja remote).

Jason Fried sendiri juga merupakan seorang penulis. Dan tentu saja Basecamp adalah salah satu perusahaan digital yang rajin mengupdate blog perusahaan, Signal vs Noise dan mampu sukses secara global.

Harap diingat, bukan berarti saya membandingkan mana yang lebih baik antara komunikasi teks dengan verbal. Keduanya bagi saya adalah penting. Apalagi dalam wawasan pemasaran yang saya miliki, setiap lawan komunikasi akan membutuhkan format komunikasi yang berbeda pula. Bisa jadi saya bisa berkomunikasi dengan kalangan akademis dan terdidik dengan artikel atau buku. Namun jelas akan sulit jika saya menggunakan metode yang sama untuk berkomunikasi dengan kalangan berpendidikan rendah yang hanya bisa berkomunikasi secara audio verbal.

Keduanya jelas sama pentingnya, penting untuk masing-masing target pasar, kata para senior di bidang marketing.

Pada akhirnya, bila kamu ingin belajar komunikasi yang efektif mungkin bisa mulai dengan belajar menulis secara efektif. Berlatih membuat kalimat yang sederhana namun bernas. Singkat dan padat, serta bisa dipahami untuk banyak kalangan.

Sementara jika ingin belajar komunikasi efisien, efisien secara usaha, efisien secara waktu, dan efisien secara sumber daya, bisa mendalami komunikasi verbal. Perbanyak berbicara, perbanyak ceramah, perbanyak membuat siniar (podcast).

Jadi intinya, kemampuan literasi akan membuat kamu lebih mampu untuk berkomunikasi.

4. Menjadi alat ungkit (leverage)

Photo by Razvan Chisu on Unsplash

Di dunia pengembangan diri, ada istilah yang disebut dengan kemampuan berdaya ungkit atau leverage skill. Kemampuan ini merupakan kemampuan-kemampuan yang akan bisa mengembangkan karir seseorang ke jengjang yang lebih tinggi ketika berdampingan dengan kemampuan utama yang dimiliki oleh seseorang.

Puthut Ea, salah seorang penulis panutan saya mengatakan dalam sebuah forum yang suatu ketika saya hadiri bahwa para profesional seharusnya bisa memanfaatkan kemampuan menulis untuk bisa lebih berkomunikasi dengan baik. Bisa memberikan edukasi publik dengan baik, dan bisa melakukan aktifitas-aktifitas intelektual dengan baik.

Menurutnya, bayangkan bagaimana jika seorang dokter mampu mengomunikasikan kemampuannya dengan baik kepada pasien melalui materi literatur tulisan. Pasien tentu akan menjadi lebih mengerti dan paham tentang sebuah penyakit misalnya.

Tokoh lain, yang menurut saya begitu sukses menjadi seorang pengusaha yang menulis. Dia adalah Dahlan Iskan, yang hingga di masa “pensiun” saat ini masih aktif untuk menulis di blog pribadinya DI’s Way. Tentu sangat naif jika mengatakan kalau Abah Dahlan banyak menulis kemudian beliau tidak pandai bersosialisasi dan bergaul. Karena nyatanya kita bersama tahu seperti apa kiprah dan karir beliau di dunia profesional sembari aktif menulis.

Mungkin kamu bisa menyanggah, “kan Abah Dahlan dulu wartawan.”

Lho justru inilah yang saya kagumi dari seorang wartawan. Wartawan ataupun jurnalis adalah para profesional yang secara tidak disadari selalu beraktifitas intelektual dalam tulisan. Mereka tidak berhenti untuk melakukan riset, berpikir, berkorespondensi dan kemudian meramu kata agar konsep kabar yang disampaikannya bisa dimengerti oleh banyak orang. Dampaknya menurut saya adalah, para wartawan sering kali bisa memiliki kualitas pribadi yang kritis, independen, jeli, komunikatif, bahkan memiliki kecerdasan diatas rata-rata.

Rasanya karena alasan tersebut yang membuat saya saat masih berkuliah bergumam akibat kagum dengan dosen saya yang dahulu adalah seorang wartawan. Kala itu saya berkata kira-kira seperti ini, “keren sekali ya wartawan itu, wawasannya luas. Sepertinya menarik jika punya profesi sebagai wartawan.”

Sialnya, kata-kata saya ternyata dikabulkan dan saya berkesempatan untuk menjadi jurnalis dan penulis konten untuk Good News From Indonesia selama kurang lebih tiga tahun.

Tapi apakah saya menjadi lebih pintar? Saya tidak tahu, haha. Ternyata saya akhirnya tidak berani menilai diri saya sendiri soal itu. Biarlah pengalaman tersebut cukup membangun minat saya di bidang menulis dan riset.

Kembali ke soal kemampuan berdaya ungkit. Dari sekian paparan yang saya sampaikan tentu saja manfaat menulis jelas bisa memberikan dampak lebih, tidak hanya pada kualitas pribadi tetapi juga pada keterampilan diri.

Kamu seorang teknisi, menulislah. Kamu seorang desainer, menulislah. Kamu seorang pebisnis, menulislah. Kamu seorang tentara, menulislah. Kamu seorang pedagang, menulislah. Menulislah dan lihatlah bagaimana menulis mengubahmu menjadi sosok yang baru.

Menulislah mulai dari sekarang.

“You can make anything by writing.” — C.S. Lewis

Tentu saja pasti ada lebih banyak manfaat dari menulis lainnya. Namun rasanya, empat hal di atas sudah cukup untuk menggambarkan manfaat menulis yang sudah saya rasakan. Ada banyak artikel yang memaparkan manfaat dari menulis bahkan yang didasarkan oleh sains. Jadi kamu mungkin bisa mencarinya sendiri.

Tidak terasa tulisan ini sudah mencapai dua ribu kata. Jadi sepertinya harus segera saya sudahi sebelum saya semakin melantur kemana-mana.

Akhir kata, terima kasih banyak telah membaca tulisan saya kali ini.

Bagi yang ingin menyimak tulisan saya di Medium bisa langsung klik follow. Atau jika hanya ingin menyimak tulisan saya tentang dunia kepenulisan bisa follow Tulis Aja. Di publikasi ini akan ada artikel-artikel seputar menulis dan pengembangan diri setiap minggu.

--

--

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata

Produsen konten berpengalaman 8+ tahun. Telah memimpin projek konten untuk 5+ Brand teknologi & menghasilkan 1 juta lebih traffic. Hubungi bagusdr@teknoia.com.