Ulasan Buku Jejak Rasa Nusantara

Sebuah buku hasil disertasi yang melebihi ekspektasi

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata
7 min readApr 28, 2018

--

Foto: Bagus DR

Pertama kali menerima buku ini dan membaca pengantarnya, saya kira buku Jejak Rasa Nusantara akan menjadi buku yang membosankan seperti buku-buku hasil penelitian pada umumnya. Sebab buku penelitian apalagi sampai dengan tingkat disertasi umumnya disajikan dengan cerita (kalau ada ceritanya) yang sangat kaku. Bahkan buku-buku lain sering kali masih ditulis dengan format penelitian yang sangat tidak menarik untuk pembaca umum.

Namun dugaan itu akhirnya tidak terjawab karena sampai saya menyelesaikan buku ini tahun lalu, saya menikmati setiap cerita yang tersaji dan fakta-fakta baru yang saya temukan di dalamnya. Ada banyak hal yang saya bisa dapatkan dari buku ini dan sebagaimana buku sejarah yang seru saya “dipaksa” untuk membacanya berulang kali untuk menggali kekayaan di dalamnya. Nah apa saja yang ada di dalamnya? Berikut adalah beberapa hal yang saya catat selama saya menyelami Jejak Rasa Nusantara.

Buku ini merupakan buku sejarah yang cukup berani untuk melacak sejauh mana catatan sejarah makanan di Nusantara. Referensi seperti kisah-kisah penjelajah dunia di abad 15 dan 16 mulai terlihat di bab-bab awal. Fadly Rahman pun mengungkap kalau makanan yang kita kenal saat ini beberapa diantaranya telah ada di era tersebut seperti pecel dan rawon.

Secara alur sejarah, Fadly sepertinya berusaha membuka jalan dari sudut sains yang memang kala itu banyak dilakukan di era penjelajahan dan kolonial. Tokoh dunia era eksplorasi asia oleh bangsa eropa seperti Marcopolo pun tidak luput termaktub dalam buku ini meski hanya sedikit informasi yang disajikan.

Peran para Botanis Eropa

Ambon yang di kala itu telah jauh lebih terkenal dibandingkan dengan kawasan nusantara lainnya, kerap kali mendapatkan sorotan dalam buku ini. Misalnya dijelaskan bahwa botani eropa telah sejak lama berada di sana. Seperti Ramphius dari Jerman yang telah melakukan mengekplorasi kekayaan tanaman konsumsi di tanah Ambon dan melakukan pencatatan. Salah satu tanaman tersebut adalah tanaman sagu yang saat ini dikenal sebagai makanan pokok, meski tidak lagi populer.

Foto: Bagus DR

Melompat ke era Raffles yang telah masyhur berusaha mencatatkan segala hal tentang Nusantara dalam penelitian-penelitannya di abad 19an, dijelaskan bahwa Raffles memang telah banyak mencatat tanaman-tanaman konsumsi yang ada di Jawa. Dalam Vegetable Kingdom dalam History of Java terungkap bahwa makanan konsumsi saat itu telah beragam seperti padi, jagung, kacang, tebu, merica cabai jawa, kemukus, kelapa, petai, jengkol, pucang (pinang, kemiri, sukun, akar umbi-umbian, sagu gandum dan kentang. Berbagai komoditas pangan yang tersedia tersebut membuat jawa saat itu cukup sejahtera karena menurut buku ini, kebutuhan masyarakat saat itu cukup terpenuhi.

Gandum, kentang dan jagung sendiri sejatinya merupakan tanaman yang identik dengan tanaman eropa juga dijelaskan berhasil di budidayakan di jawa. Dalam bab yang sama Fadly kemudian menjelaskan mengapa pala dan cengkih yang sudah terkenal berabad sebelumnya tidak bisa populer di Jawa karena adanya politik komoditas.

Masih terkait dengan Raffles berkat kajiannya di bidang botani yang cukup mendalam ia akhirnya membentuk kebun raya pertama di Hindia Belanda bersama dengan Casper Reinwardt seorang botanis Jerman yang telah lama meneliti botani di Hindia Belanda. Kebun raya itu berada di Buitenzorg atau yang kita kenal sekarang dengan nama Bogor, di Jawa Barat. Cerita Reinwardt sendiri juga disebutkan dalam buku ini secara singkat, bahwa ternyata dirinya amat senang di Nusantara karena memiliki keragaman botani yang sangat menakjubkan.

Juga mengenai makanan khas Indonesia, Fadly menyebut bahwa tempe memang telah terekam dalam sejarah Nusantara sejak abad 16 dalam catatan Serat Centhini. Dalam serat tersebut dijelaskan bahwa pada masa itu tempe telah dikenal oleh masyarakat Jawa Tengah. Argumentasi ini tentu saja menguatkan pandangan sejarah yang menyebutkan bahwa tempe berasal dari Jawa Tengah.

Berbagai upaya Belanda untuk mengkaji botani dan perihal pangan di Hindia Belanda sejatinya membuat pandangan negatif terhadap kolonial memudar setidaknya di kalangan priyayi yang memang banyak mendapatkan fasilitas berbeda dari pribumi pada umumnya. Namun perhatian Belanda pada kualitas gizi dan juga isu-isu wabah penyakit dengan berusaha mencari solusinya melalui kajian sains pangan membuat Fadly merasa bahwa Belanda sejatinya memperhatikan nasib jajahannya.

Kajian pangan tersebut terus berlanjut hingga pada akhirnya sebuah buku masak pertama lahir. Buku tersebut adalah Kokki Bitja yang dirilis pada tahun 1893 dan diterbitkan di Belanda. Buku ini berisi tentang berbagai macam masakan di Hinda Belanda lengkap dengan resepnya. Namun dijelaskan bahwa buku ini masih cukup rasis dengan berusaha membagi-bagi jenis masakan berdasarkan golongan masyarakat. Inilah catatan pertama yang pernah ada tentang Indische Keuken yang kemudian diikuti oleh catatan masakan karya J.M.J Catenius berjudul Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek yang terbit tahun 1902 dengan kurang lebih 1.300 resep.

Buku-buku masak yang terbit di era Hindia Belanda (Foto: Bagus DR)

Kartini dan Gastronomi Indonesia

Bab yang cukup menarik perhatian saya dalam buku ini adalah ketika Fadly Rahman ternyata juga mengkaji catatan Raden Ajeng Kartini di masa hidupnya untuk mencari jejak-jejak perkembangan Gastronomi di Hindia Belanda. Beberapa fakta menarik yang saya catat adalah bahwa ternyata Kartini mulanya berusaha untuk memberdayakan para perempuan dari aspek domestik seperti memasak dan mengurus rumah tangga. Bahkan Kartini yang memang sebagai priyayi beberapa kali mengungkapkan kekagumannya terhadap budaya pangan dan memasak eropa yang berusaha ia ajarakan pada para perempuan Pribumi Jawa. Sayangnya hingga akhir hayatnya, Kartini belum berhasil untuk mewujudkan inisiatif pemberdayaan perempuan pribumi tersebut. Dalam buku ini pun terungkap bahwa ternyata Kartini juga menyusun sebuah buku resep beraksara jawa yang bisa jadi diperuntukkan bagi para perempuan pribumi.

Sejak munculnya Kokki Bitja, berbagai buku masak pun bermunculan dengan ciri khasnya masing-masing. Selain itu sekolah-sekolah perempuan yang lahir diberbagai tempat mendorong meningkatnya jumlah perempuan melek aksara dan kemudian memicu munculnya surat-surat kabar. Dalam surat kabar tersebut, selain memberikan kabar terbaru di lingkungan, juga memuat tentang resep-resep masakan.

Salah satu surat kabar itu adalah Poetri Hindia yang terbit di Batavia sejak tahun 1908. Isinya adalah tentang petunjuk dan rubrik kebutuhan hidup kaum perempuan pribumi tentang hidup sehat, resep makanan Belanda dan Jawa dan membuat produk-produk makanan konsumsi.

Rendang dan Makanan-Makanan “Perkasa”

Lewat surat kabar pula terungkap bahwa penyebaran resep makanan primadona asal Minangkabau di Hindia Belanda terjadi. Rendang dalam buku ini rasanya menjadi makanan khas yang begitu dominan tercatat dalam berbagai buku masakan yang beredar. Berulang kali rendang disebutkan dan berada diantara masakan-masakan eropa dan jawa yang memang mendominasi.

Bahkan dibuku ini Fadly menjelaskan bahwa rendang ternyata merupakan salah satu masakan yang telah dikonsumsi oleh para perantau dari tanah Minang. Berkat sifatnya yang bernutrisi, mampu bertahan lama tanpa pendingin dan juga tidak perlu dipanaskan sebelum dikonsumsi membuat Rendang adalah bekal yang ampuh untuk perjalanan jauh termasuk untuk ibadah Haji ke Tanah Suci Mekah. Meski dalam beberapa buku resep saat itu, rendang masih identik dengan daging lembu atau kerbau.

Dalam bab yang lain, Rendang juga dijelaskan sebagai masakan yang digunakan oleh para tentara untuk bekal di medang perang. Tentu saja alasannya adalah karena ketahanannya yang sangat baik. Hal ini terungkap dari munculnya resep Rendang di buku Kookboek Ten Dienste van Menages in Het Garnizoen en Te Velde (Buku Masak untuk Pelayanan Makan di Garnisun dan di Lapangan)

Tidak hanya rendang, dalam buku masak garnisun itu juga tercantum resep nasi goreng yang kini di Indonesia menjadi makanan terenak di dunia, kedua setelah Rendang. Alasannya pun serupa karena nasi goreng dianggap memiliki ketahanan dan kemudahan dalam pengolahan. Selain Rendang dan Nasi Goreng, tempe yang diolah menjadi Sambal Goreng juga masuk dalam buku resep tersebut.

Hal ini tentu saja unik, karena ternyata masakan-masakan Nusantara di Hindia Belanda juga merupakan masakan-masakan “perkasa” yang tidak hanya bernutrisi tetapi juga diandalkan dalam masa-masa tertentu. Pun berdekade kemudian kita sebagai bangsa Indonesia melihat makanan-makanan tersebut sebagai sebuah masakan kebanggaan dan identitas.

Catatan-Catatan Setelah Kemerdekaan

Dalam buku ini rasanya Fadly Rahman memang lebih banyak berusaha menggali catatan-catatan yang ada di masa Hindia Belanda ketimbang di masa kemerdekaan. Karena saya pribadi saat membaca bab-bab usai kemerdekaan, tidak banyak menemukan hal menarik selain perkembangan gastronomi berdasarkan tokoh-tokoh sentral seperti Soekarno sebagai pendiri bangsa kala itu.

Beberapa hal yang diulas oleh Fadly adalah tentang bagaimana Republik Indonesia berusaha berdiri dengan kakinya sendiri dalam hal kedaulatan pangan. Berbagai kebijakan diambil penguasa untuk membentuk identitas gastronomi Indonesia. Seperti peran Poerwosoedarmo untuk memperbaiki nutrisi dengan jargon 4 sehat 5 sempurna.

Selain itu adapula upaya ambisius Soekarno untuk mencatatkan masakan-masakan Indonesia dari Sabang hingga Merauke demi menyingkirkan makanan-makanan eropa yang dianggapnya makanan yang membuat bangsa ini minder. Upaya ambisius tersebut diwujudkan dalam bentuk buku resep Mustika Rasa dengan ketebalan 1.100an halaman. Buku yang akhirnya menjadi ironi karena buku tersebut baru berhasil diterbitkan pada 8 Februari 1967, dua minggu sebelum Soeharto naik tahta dan memulai orde baru.

Hal lain yang saya sayangkan dari buku ini adalah di bagian akhir. Seperti pada umumnya buku penelitian, buku ini masih secara literal menyajikan kesimpulan dari peneliti. Dengan bab tersendiri dan poin-poin singkat yang menyimpulkan pandangan Fadly sebagai peneliti. Akibatnya kesimpulan yang disampaikan terkesan terlalu kaku.

Dalam kesimpulannya, Fadly Rahman kemudian menjelaskan bahwa sejarah gastronomi nyatanya dapat dilacak dari berbagai sumber literatur, termasuk di dalamnya adalah resep masakan yang kadang disepelekan. Menurutnya, dengan membaca tren buku-buku masak yang beredar dan juga perbincangan yang disampaikan oleh media tentang masakan adalah sumber-sumber berharga yang dapat memetakan bagaimana perkembangan gastronomi sebuah bangsa.

Secara umum sebagaimana yang saya sampaikan di awal, buku ini membuka mata saya tentang bagaimana sebuah hasil penelitian dapat disajikan dalam buku yang begitu epik. Buku ini berhasil membuat saya percaya bahwa hasil penelitian-penelitian yang menjadi buku bagus tidak hanya berasal dari luar negeri tetapi dalam skala domestikpun ada buku-buku dari hasil penelitian yang asyik dan menyenangkan untuk dibaca.

Buku dengan 428 halaman ini saya masukkan dalam koleksi bintang empat dari lima, tidak jauh berbeda dengan rating Goodreads. Saya pun merekomendasikannya pada anda yang senang dengan sejarah-sejarah gaya hidup di Indonesia yang belum banyak tergali. Untuk yang tertarik membeli, buku ini tersedia di Gramedia.

--

--

Bagus Ramadhan
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata

Content Performer with over 7 years experience, I've led content teams for 10+ tech brands, achieving 500,000+ traffic. Reach me at bagusdr@teknoia.com.