Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti

Rindang
Tulis Aja — Lubuk Ekspresi Kata
8 min readSep 2, 2023

--

Di jalan kembali menuju rumah aku ingin melamun sembari menatap hamparan beton tinggi dan lalu lalang orang-orang pulang kerja ditemani pikiran-pikiran mereka sendiri. Aku tak hendak mempercepat langkah untuk sampai rumah. Kubebaskan diri sementara waktu dari penjara penyuguh kenyamanan itu, merenungkan segala hal yang sempat pernah terlupakan hingga suatu waktu menganggap beberapa hal dalam hidupku tak pernah terjadi sambil bertanya, "Aku sudah sampai mana?"

Barangkali ada yang berhasil melompat jauh, ada yang sedikit bergerak, bahkan ada yang nggak ke mana-mana; busurnya diam di tempat. Dan ada pula yang terbang tinggi, tapi ternyata hidupnya seperti daun yang hanya bergantung pada angin. Mereka mengudara ditiup angin tanpa melawan, tanpa beban, lalu tak terasa langit sudah hampir berhasil digapainya. Atau mungkin seringkali ada yang merangkak berurai keringat serta darah menghiasi badannya tapi tetap tegap melangkah maju.

Aku bercokol tak tentu tempat dan arah, berjalan dan terus berjalan mengikuti kemana langkah kaki menuntunku. Tanpa sadar, malam telah menyusun dirinya. Jalanan kota tak pernah tidur meski malam menjadi semakin malam. Di sebuah persimpangan jalan, di daerah pusat kota Jakarta pada saat lampu merahnya menyala, orang-orang bergerak menyebrangi zebra cross dengan hentak kaki tanpa gumam mulut sampai tiba-tiba salah seorang perempuan bersuara yang kemudian disambut manusia lainnya.

"Copet!!"
"Woy copet"
"Kejar!!"
"Yaallah!"
"Badjingan woe asuu!"

Copet, huh, aku tak melihat aksinya. Tapi, suara teriakan dan kejar-kejaran menggaung kencang, menandakan adanya copet. Gemuruhnya mengalihkan pandangan semua orang tertuju pada kejadian itu. Orang-orang tergesa mengejar sang copet. Mereka berlarian mengerumuni entah karena penasaran atau ingin ikut menghajar. Aku termasuk bagian dari orang-orang yang hanya ingin tahu. Langkah kaki semakin pasti mendekati pencopet, dari kejauhan tertampak orang-orang seperti laron yang sedang mengintari sumber cahaya sembari menawarkan tendangan dan pukulan, tak luput pula meluapkan bualan kata-kata binatang.

Ketika kerumuman perlahan bergerak menjauh, aku salah seorang yang datang menghampiri, memperhatikan hingga tersadar ternyata sang copet ialah perempuan berumur tak lebih dari 10 tahun. Perempuan itu bermata sipit tapi tajam, berpakaian berantakan layaknya orang jalanan pada umumnya dan berbadan kurus nampak tulang-bertulang. Darah segar menetes melalui dengkul membuat aliran merah di kulitnya yang putih.

Dunia baru saja menyapanya dengan bengis tanpa pemberitahuan, tanpa persiapan. Semua terjadi begitu cepat. Wajah perempuan itu menjadi demikian dewasa menerjangi ombak dan badai yang datang secara mendadak. Ia terkulai lemas di bawah redupnya tiang lampu trotoar. Entah apa yang bersandar di benaknya, dia bahkan menolak ajakan wanita dewasa yang tergunggah hati untuk menolong. Di tengah keramaian, dimana keheningan mengandung suara, ia seperti memendam kegelisahan dan dendam yang teramat besar.

Puluhan masa lewat melaluinya dengan berbagai reaksi. Ada yang berjalan tegap dengan mata menatap depan tanpa menengok ke arahnya. Ada pula yang berjalan dengan tatap mata terpaku memandangi, tapi hanya diam tidak melakukan aksi apapun. Aku memberi jarak dari perempuan itu sambil terus menganalisa. Aku menangkap getaran dan gelagak semangat yang membara hidup di dalam dirinya, mata kecil itu menangis tersedu dan terlihat merah menyala, dengan raut wajah masih sama dan darah masih mengalir dari kaki, ia berlari membelah keramaian masa tanpa peduli dengan tingkah orang-orang yang melihatnya seperti makanan busuk yang harus dihindari.

Aku berjalan mengintili perempuan itu di bawah kosongnya langit malam tanpa bintang. Langkah demi langkah mengarah ke toko buku emperan. Dia berkutik di antara buku-buku. Diselipkannya beberapa buah buku tebal ke balik bajunya dengan gesit, lantas dia nyelonong pergi seenaknya ditemani senyum simpul mengambang di wajah. Kakinya tetap berjalan menelusuri jalanan penuh sampah sambil sebelah tangannya mengepit buku, sedang tangannya sebelah lagi membuka halaman buku yang lain. Dibarengi mata berbinar, ia melangkah sekaligus membaca!

Entah berapa lama aku telah mengekornya, malam telah menjadi semakin suram. Tatapan matanya terkunci memandang buku itu, sesekali ia tersenyum dan tertawa renyah hingga mata kecilnya menyisakan garis lurus panjang. Apa yang baru menimpanya seakan sudah terganti dengan kebahagian dari buku yang digenggamnya.

Gadis kecil bermata sipit itu masih berjalan nampak belum menandakan akan terhenti. Kini latar belakangnya bukanlah lagi trotoar rapih dihiasi pemandangan gedung mewah nan megah, tapi perkampungan penduduk kumuh disertai bau busuk yang menyesakkan hidung. Beberapa manusia berpakaian persis sepertinya tertegun ramah menyapa dibalut tawa menggores di wajah, gadis itu membalas keramahan mereka dengan keramahannya pula.

Sang gadis kecil menuruni beberapa tangga landai di tengah jalanan setapak yang amat sempit diapit rumah-rumah. Semakin dimasukinya, semakin sempit jalan. Di sebelah jalan itu mengalir selokan kecil dipenuhi sampah-sampah berbau tak sedap menyumbati aliran air. Gadis itu memasuki sebuah rumah dengan fondasi kayu reot dan juga rapuh.

Aku bersandar duduk di tempat duduk yang ada di jalanan setapak tak jauh dari rumahnya. Dari pandangku tertampak orang-orang dengan rokok di jari masih bermain kartu serta uang sebagai taruhannya sambil meneguk botol minuman keras. Mata mereka merah seperti berdarah. Jika salah satunya menang, teriakannya mengembara hingga satu kampung. Betapa bahagianya.

Aku pengembara asing tak tahu menahu sisi buruk ibu kota seakan bertanya, "Maju? Apakah dengan menjadi maju kita hanya terpaku ke arah depan hingga lupa atau pura-pura lupa bahwa masih banyak rakyatnya yang ketinggalan jauh di belakang?"

Bulan purnama di langit tak mampu melawan atau bahkan menembus gumpalan awan. Di bawah bulan itu siapa sangka, siapa peduli, hak asasi manusia telah hilang kumandangnya. Aku baru tahu dengan penampakan ini, tak pernah terbayang betapa mereka hidup di antara gedung-gedung menjulang tinggi, rumah-rumah mewah, dan lautan baliho ucapan manis mengarah pada kemajuan dan kesejahteraan, tapi hidupnya tenggelam jauh sekali dari kata layak.

Bayangan gadis itu masih terlihat samar dan suara dari rumahnya terdengar surau. Aku mendengar suara-suara ribut dari perempuan, entah dari perempuan itu entah bukan. Tidak lama kemudian, laki-laki dewasa berbadan kurus kering dengan memapah karung penuh botol plastik memasuki rumah itu. Ayah gadis itu rupanya. Keduanya lantas berdiri di ambang pintu lalu tak disangka mereka menelisik ke arahku. Mereka melihatku dengan mata menyelidik penuh kecurigaan. Lalu dengan suara berat lelaki itu bersuara tertuju padaku, “HEY, SINI!”

Aku yang sadar sedang diperhatikan senyum-senyum saja seraya mengangguk. Dengan langkah kaki gemetar, aku datang menghampiri mereka. Aku terangkan siapa diriku pada lelaki itu, ia hanya menatap tak berkedip hingga begitu aku selesai berbicara, ia mempersilahkan aku masuk. Di ruang dalam, gadis perempuan tadi mengintip melalui tirai kain penutup kamarnya bersama saudara-saudaranya.
“Bagaimana apakah pekerjaanmu itu ada artinya buatmu, buat kami?”

Aku lagi-lagi menjelaskan panjang lebar tentang pekerjaanku, dampak apa yang mungkin aku berikan tak lupa juga memberitahu tentang apa yang baru menimpa gadis kecilnya.

“Akhirnya kutemukan juga. Kaulah yang akan menengahi permasalahannya di pengadilan. Karena aku yakin, kau orang yang paling tepat. Kau mau kan?”

Dia bercerita bahwa pamannya dianggap mencelakai pejabat tinggi hingga kini pamannya itu menetap di penjara sebagai pelaku. Meski apa yang sesungguhnya terjadi adalah murni kecelakaan tabrak lari tanpa ada niat kesengajaan. Aku tanpa ragu mengangguk mengiyakan. Dia tak tahu bagaimana harus merespon. Matanya menjadi bulat membesar dan mulut menjadi tersenyum penuh harapan.

Melihat itu, aku memincingkan mata. Entahlah, aku menafsirkan dari matanya seolah menampilkan sesuatu yang amat menyeramkan; sesuatu yang ganjil penuh tanda tanya diselingi tanda seru serta tak terhindarkan. Sesuatu kenormalan pelik masalah kelas sosial, tapi ketidakadilan yang sangat ingin ditolaknya. Sesuatu yang ingin dilawannya habis-habisan, tapi juga sesuatu yang tak mungkin dimenangkan.

Dengan penuh kebahagiaan dan muka nampak seolah mengatakan terimakasih, ia berseru bahagia, “Mudah-mudahan masih ada harapan. Betapa pun kecil kemungkinannya. “

Lelaki berbadan kurus kering memberi isyarat pada mereka yang sedang bersembunyi di balik tirai, lantas ia bergerak ke arah belakang sambil berkata. “Sebentar saya buatkan kopi.” Maka apa yang kemudian menyusul terjadi adalah di ruang yang sama telah berkumpul seluruh keluarga mereka termasuk gadis pencopet tadi. Mereka menggerubungi aku tanpa sekat dan batasan apapun.

Berbeda dengan keadaannya sehabis mencopet, anak itu kini jadi bocah yang manja. Ketika dia tersipu malu dan kebocahannya ini, anak itu kelihatan manis dan manis sekali.
Aku terkagum memandangi anak itu lalu bertanya, “Siapa nama kamu?”
“Sima namanya!”
Lelaki berbadan kurus kering datang membawakan kopi dan beberapa cemilan.

“Ayah, orang ini sudah mengikuti aku sampai rumah ini. Ternyata orangnya ga kayak dugaanku. Badannya besar. Kulitnya coklat dan rambutnya itu, ANEHH..” Perempuan pencopet itu tertawa kecil dan lembut sekali. Dia kelihatan asyik berbicara. Ia jadi hidup matanya.

"Anak ini pinter mas. Mosok orang tua mau anaknya jadi pemulung dan pengemis juga nanti kalau sudah besar? Ya tentu tidak to?"

"Mereka ini perintis bukan pewaris mas, kita wis kere koyok ngene. Harta terakhir yang bisa kita beri ya hanya lewat pendidikan."

"Benar juga sih, apa yang dibilang masnya. Kalau bisa baca tulis mungkin anak ini nanti hidupnya lebih enak. Nggak dibohongi orang terus."

“Jaman sekarang baca tulis sudah banyak. Orang ga kaget. Tetangga bilang kenapa anaknya ga disuruh kerja aja biar bisa bantu-bantu keluarga? Biarlah anak-anak kami belajar. Toh tugas mencari uang kan sudah menjadi tugas orang tua. Lagian, dengan menyuruh anak-anak bekerja sekarang tidak membuat kami menjadi kaya kan? Hidup pasti akan lebih baik kalau mereka bergelar! Ra Hino!”

Seringkali di sela obrolan kami bocah pencopet itu memantik rasa penasaran seperti suatu misteri yang ingin sekali kupecahkan. Kami basa basi tanpa peduli detak jarum jam-hanya mengalir tanpa menentukan arah dan lintasan.

Bisa kusimpulkan dari raut wajah dan mulutnya yang mengandung ketulusan, ia ingin mengubah memar luka di tubuhnya menjadi harapan. Ia ingin meramu resep khusus untuk mengembalikan rasa sakit menjadi kebahagiaan. Ia ingin jadi penyihir untuk anak-anak sebayanya supaya nasib yang ia derita tidak lagi dirasakan oleh anak-anak lain. Ia ingin jadi matahari yang mampu memberi hidup pada mereka yang sekarat atau setidaknya menjadi air di tengah kelayuan.

Dari suara penuh luapan emosi itu kutahu betapa besar niat menguasai sang gadis kecil. Kudengar mulutnya tergilas dengan suara-suara lain dari luar sana bersama angin malam yang mendobrak paksa jendela rumah.

Mereka sangatlah sadar derita mereka adalah nyata dan tak biasa diatasi dengan pergantian kursi pemimpin satu instansi. Mereka tahu, memohon dan menghinakan diri demi apa yang sudah melekat di dalam diri mereka sejak lahir adalah sia-sia selama sosok mesiah tidak menampakan barang sehari saja. Derita akan pupus bila ia datang dengan tangan ajaibnya memeluk kami erat dalam hangat. Siapa tahu kelak muncul sang mesiah dari tempat paling tak terduga. Mesiah, ia ingin jadi sosoknya!

Di sisi lain aku sadar. Perjalanannya masih jauh sekali membentang di muka. Dia harus menghadapi belantara luas di depan sana sembari berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam jurang atau bahkan dimakan binatang buas. Hidup bukanlah lintasan lurus dibalut jalanan mulus tanpa kelokan dan geronjalan, kadang atau seringkali hidup menawarkan pil pahit yang mustahil untuk dilewatkan. Namun, adanya hal itu justru membuat kita terpuruk. Huh manusia, ya.

Apa yang menjadi miliknya akan selalu menemui jalan untuk menemuinya. Semoga punggung kurus itu dikuatkan, ya. Semoga usahanya tidak jadi angin lalu. Semoga hal-hal baik menyertai sebab dia pantas dapatkan yang baik di dunia.

Menjelang subuh, teman asing yang kudatangi tempatnya menghentikan kata. Aku tak lagi bertanya tentang kisah hidup dan apa beban yang telah menimpa mereka. Di balik nyamannya mengobrol, dia punya kepentingannya sendiri. Waktu bersalaman, kita berdua saling percaya bahwa akan tiba saatnya dimana matahari akan terbit kembali. Segala yang rusak bisa diperbaiki. Segala yang sakit bisa disembuhkan. Tidak peduli betapa hancurnya hari matahari akan muncul menampakan dirinya lagi.

--

--