Belajar Self Love dari Kisah Hantu KumKum

Whafir Pramesty
UGMtoday
Published in
3 min readNov 17, 2020
Ilustrasi hantu KumKum (Sumber: vice.com, ilustrasi oleh Dian Permatasari)

Hantu KumKum adalah salah satu folklor dari Malaysia yang pernah populer pada masanya. KumKum digambarkan sebagai sosok wanita tua dengan muka penuh luka dan koreng, yang pergi dari rumah ke rumah lainnya untuk mencari gadis-gadis muda. Dengan meminum darah mereka, ia berharap dapat memulihkan kecantikannya dan awet muda.

Karena buruk rupa, hantu KumKum mengenakan kerudung dan cadar panjang yang menjuntai untuk menutupi wajahnya yang menyeramkan. Ia akan berkeliling mendatangi rumah kemudian mengetuk pintu dan mengucap “kum…kum…” untuk memanggil si empunya. Sebetulnya, ia ingin menyebutkan salam dalam Islam dengan baik, yakni “Assalamu’alaikum”, namun karena mukanya yang kaku dan mulutnya yang kelu, maka hanya terdengar “kumkum”. Dari sinilah asal usul penamaan Hantu KumKum.

Konon kisahnya, Hantu Kumkum semasa hidupnya merupakan perempuan cantik yang tak pernah puas dengan penampilannya. Ketika ia makin berumur dan bertambah tua, kecantikannya mulai memudar. Kemudian, ia berupaya mencari jalan untuk mengembalikan kecantikannya. Datanglah ia kepada bomoh — dukun dalam istilah orang Malaysia — untuk berkonsultasi. Dukun tersebut menyarankan padanya untuk melakukan ritual ilmu hitam yang memungkinkan dirinya dapat tampil cantik selamanya. Dukun itu kemudian memberinya ramuan untuk diminum dan berpesan agar jangan sekali-sekali melihat bayangan dirinya di cermin selama 30 hari lamanya. Akhirnya, perempuan itu mengiyakan syarat tersebut.

Hari demi hari, perempuan itu mulai merasakan perubahan. Tiap kali menyentuh wajahnya, kulitnya terasa semakin mulus dan keriputnya mulai menghilang. Begitupun ketika orang bertemu dengannya, selalu memuji kecantikannya dan mengatakan bagaimana rupawan penampilannya.

Ia tersiksa dengan rasa penasaran akan wajah barunya. Semakin hari puja-puji yang ia terima nampak terlalu banyak sehingga membuat perempuan itu tidak dapat menahan rasa keingintahuannya. Akhirnya pada hari ke-29, ketika transformasi dirinya akan selesai, ia sudah tidak tahan dan melanggar pantangan. Sedikit-sedikit, ia mengintip bayangan dirinya di dalam cermin.

Belum sempat melihat jelas sepenuhnya, cermin di hadapannya retak lalu pecah. Begitu juga dengan perempuan itu, kulitnya melepuh dan wajahnya berubah. Ia menjadi sosok yang menyeramkan dan buruk rupa.

Perempuan itu panik. Wajahnya terasa gatal dan panas disertai luka yang mulai bermunculan. Ia segera kembali ke dukun itu untuk memohon pertolongan. Nahas, dukun itu tak bisa melakukan sesuatu apapun untuk menolongnya.

Kemudian, dukun itu mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan wajahnya seperti semula adalah meminum darah dari perempuan yang masih gadis. Sejak saat itulah teror Hantu KumKum dimulai. Tidak seorang pun bahkan Hantu KumKum sendiri, yang tahu seberapa banyak darah yang dibutuhkan untuk diminum. Konon katanya, hantu itu terus mencari korban untuk meraih kecantikannya yang abadi.

Menurut telaah yang beredar di redaksi VICE, sebenarnya Hantu KumKum adalah cerita moral tentang self love atau mencintai diri. Cerita Hantu KumKum dimulai dengan premis yang menyedihkan: seorang perempuan yang insecure dengan penampilannya. Hal ini adalah sebuah masalah yang sangat kekinian adanya, termasuk oleh anak muda.

Apalagi pada era media sosial, segala sesuatu mesti terlihat sempurna secara visual, apapun yang ditampilkan di dunia maya harus mendapat pengakuan dari orang lain. Semua orang seolah menciptakan standar tertentu untuk layak disebarkan melalui media sosial. Bagi yang merasa tidak memenuhi standar kebanyakan orang, kepercayaan diri menjadi mudah sekali rapuh.

Dalam kisah Hantu KumKum, pantangan yang disampaikan oleh tokoh dukun seharusnya tidak diterima mentah-mentah oleh perempuan itu. Sebaiknya ia melihat makna di balik larangan itu bahwa hakikatnya kecantikan itu bukan perkara apa yang terlihat di cermin, melainkan apa yang dirasakan dalam diri, hati, dan jiwa.

Sedangkan batas waktu 30 hari itu sebenarnya hanya ukuran saja, sejauh mana perempuan itu dapat menangkap makna dari pantangan si dukun. Tapi sayang, perempuan itu tak berpikir lebih kompleks mengenai makna kecantikan yang sebenarnya. Ia terlalu rapuh menghadapi banyaknya tekanan dari media dan kultur yang membentuk standar-standar kecantikan sehingga gegabah dalam membuat keputusan.

--

--