Guru-Guru Gokil: Karena Guru Tak Melulu Bikin Jemu

Safira Aulia Tamam
UGMtoday
Published in
3 min readNov 24, 2020
Taat Pribadi (Gading Marten) merupakan seorang guru baru di sebuah SMA, di mana ia masuk untuk menjadi guru pengganti mata pelajaran sejarah yang tidak ia sukai. (Sumber foto: Netflix)

Mungkin tak banyak yang tahu kalau Indonesia sudah punya dua film Netflix Originals. Setelah debut dengan The Night Comes for Us sebagai film pertama Indonesia yang termasuk film Netflix Originals, Netflix pun kembali bekerja sama dengan sineas lokal untuk memproduksi film lain, kali ini bergenre komedi. Film berjudul Guru-Guru Gokil (Crazy Awesome Teachers) rilis di hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-75, 17 Agustus lalu.

Mengusung kisah soal usaha seorang guru baru dalam mengembalikan uang gaji para guru yang dirampok di suatu sekolah, film ini menghadirkan gaya lawakan khas Indonesia dengan latar yang juga sangat Indonesia meski digarap untuk masuk dalam Netflix Originals.

Film berdurasi 101 menit ini dibintangi oleh berbagai aktor yang namanya sudah tak lagi asing di telinga para penonton Indonesia seperti Gading Marten, Dian Sastrowardoyo, Faradina Mufti, Asri Welas, dan beberapa aktor lainnya. Tak disangka, ternyata film ini juga menjadi debut Dian Sastrowardoyo sebagai seorang produser.

Penasaran? Gamatizen bisa langsung aja tonton Guru-Guru Gokil di Netflix yang kini dapat dinikmati di 190 negara, lengkap dengan subtitle dalam tujuh bahasa, loh.

Guru-Guru Gokil berkisah soal seorang pria bernama Taat Pribadi (Gading Marten) yang terpaksa menjadi guru karena tak ada pekerjaan lain yang dapat ia lakukan. Taat sendiri sebenarnya sangat ogah menjadi guru. Ia berprinsip bahwa untuk menjadi sukses berarti harus punya banyak uang, melalui pekerjaan apapun kecuali guru.

Namun, ketidaksukaannya tersebut pun berubah seiring petualangannya bersama sesama guru dan para muridnya dalam mendapatkan kembali uang gaji para guru yang hilang digondol maling. Dalam usahanya tersebut pun ia menemukan arti dan nilai yang membuatnya merasakan kebahagiaan dalam mengajar.

Film ini dapat menghibur para penonton dengan tawa canda ringan melalui adegan-adegan sederhana dalam dialog yang memancing tawa. Penonton pun akan dibuat penasaran tentang siapa sebenarnya dalang dari pencurian gaji para guru melalui sajian bergaya detektif partikelir yang terkesan lugu.

Dimainkan dengan apik oleh para pemeran, karakter-karakter yang ada dalam film ini dapat membawa para penonton untuk melihat sifat unik dari setiap tokohnya. Sebut saja Gading Marten dalam gaya slengeannya sebagai guru yang ogah-ogahan, Faradina Mufti yang memerankan tokoh Rahayu yang galak tetapi memesona, dan Dian Sastrowardoyo yang tampil tak biasa sebagai Nirmala, guru dengan keluguan dan dialek Sundanya yang memancing tawa penonton.

Meski berlabel ‘Netflix Original’, film ini pun tak dapat menjamin hadirnya kepuasan dari para penonton. Film garapan sutradara Simanjuntak ini dirasa kurang terkemas dengan apik, padahal konsep yang ditawarkan sebenarnya menarik.

Awal film ini terlihat langsung dimulai dengan penyajian berbagai adegan yang secara tiba-tiba, tanpa bridging dari satu adegan ke adegan selanjutnya. Hal ini pun berlangsung hingga akhir film. Konflik utama, yakni dirampoknya uang gaji para guru tempat Taat baru bekerja tersebut pun terkesan dihadirkan secara dipaksakan, seolah penulis naskah, Rahabi Mandra dan Tanya Yuson, hanya mengejar kehadiran para tokoh dan kepadatan cerita tanpa memikirkan flow di dalamnya.

Ketika menonton film ini, para penonton juga mungkin akan dipenuhi tanda tanya terkait motivasi atau latar belakang dari konflik-konflik yang muncul. Misalnya saja motivasi dari tokoh antagonis utama dalam film ini, yaitu Pak Le (Kiki Narendra) yang tidak jelas. Sepanjang film, tidak pernah dimunculkan alasan mengapa Pak Le dan anak buahnya harus mencuri uang gaji para guru yang sebenarnya tidak seberapa. Padahal Pak Le sendiri digambarkan sebagai orang kaya di kampung tersebut. Dalam satu adegan bahkan Pak Le menyatakan bahwa uang yang dicuri tersebut tidaklah berarti.

Film ini pun terasa tanggung dalam penyampaian emosi dan pesan moralnya. Banyak adegan dalam film ini yang sebenarnya berpotensi membuat haru, tangis, hingga gelak tawa. Namun, hal tersebut kurang dieksekusi secara ciamik sehingga kurang dapat memainkan emosi para penonton secara lebih dalam. Film ini pun kurang dapat menghadirkan pesan yang jelas hingga akhir filmnya. Misalnya saja pesan soal menghormati guru yang kurang tersampaikan karena status guru dalam film tersebut seolah hanya sebagai tampilan saja karena karakter guru dalam film tersebut kurang digali lagi.

Di balik kekurangan tersebut, Guru-Guru Gokil berhasil menggambarkan realita kehidupan para guru di Indonesia. Penggambaran ini terlihat riil di mana para guru mendapat gaji dengan nominal yang kecil dengan pekerjaan yang tidak mudah. Film ini juga menggambarkan bagaimana profesi guru yang semakin kurang dihargai di masa sekarang dan bagaimana bantuan dari pemerintah sering terlambat datang ke wilayah kampung, padahal bantuan tersebut amatlah dibutuhkan. Selamat Hari Guru!

--

--

Safira Aulia Tamam
UGMtoday

Not a really journaling type of person but oh well 🤷🏻‍♀️