Kuliah Daring sebagai Mahasiswa Difabel

UGMtoday
UGMtoday
Published in
4 min readJul 29, 2021
Ilustrasi belajar online dengan laptop (Foto: Unsplash)

Terhitung sejak pertengahan Maret 2020, pemerintah Indonesia memberlakukan sistem pembelajaran jarak jauh sebagai tanggap darurat menghadapi pandemi pada institusi pendidikan. Penerapan kebijakan ini sempat menjadi polemik karena efektivitas pembelajaran secara daring dinilai kurang.

Banyak kendala dihadapi oleh pelajar dari segi jaringan, penyampaian materi, beban tugas dan lain sebagainya. Dari berbagai kesulitan yang mereka alami, tentu mau tidak mau mereka dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi.

Tapi pernahkah terlintas di pikiran kita tentang bagaimana nasib pelajar disabilitas yang mungkin lebih terdampak dan apakah institusi pendidikan memperhatikan hal ini? Menanggapi hal tersebut, UGMtoday mencoba mengambil sudut pandang dari pengalaman salah satu mahasiswa difabel dan perspektif UKM Peduli Difabel di Universitas Gadjah Mada.

Farrel, mahasiswa difabel tuna netra, menceritakan pengalamannya menghadapi kuliah online. Seperti mahasiswa lainnya, ia mengaku sempat stres karena harus di rumah terus, terlebih diberlakukan kuliah online saat menjelang ujian tengah semester. Ia pun mengalami kesulitan lain, yakni harus mempelajari tombol dan panel platform pembelajaran yang sulit terdeteksi oleh screen reader. Namun, ia cukup bisa beradaptasi dengan hal tersebut sehingga tetap bisa mengikuti perkuliahan dengan baik hingga saat ini.

“Sebenarnya tidak ada kendala yang benar-benar signifikan. Saya masih bisa mengikuti perkuliahan selama online. Kendala lain mungkin juga dialami mahasiswa lain seperti materi yang kurang tersampaikan atau materi yang belum di-share oleh dosen,” ungkapnya ketika diwawancarai oleh tim UGMtoday.

Menyinggung soal kebijakan kampus, Farrel yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum ini mengungkapkan bahwa pihak universitas belum turut ambil bagian dalam menyikapi kebutuhan mahasiswa disabilitas. Akan tetapi, beberapa dosen yang mengetahui ada mahasiswa difabel sudah berusaha menjelaskan dengan detail apabila memberikan bahan perkuliahan berbentuk visual.

Sejauh ini, pihak universitas belum tampak memberikan perlakuan khusus terhadap mahasiswa difabel untuk memfasilitasi kebutuhan mereka selama kuliah online.

Enggak ada (perlakuan) yang khusus-khusus amat. Sejauh ini, aku pribadi belum ada yang benar-benar kelihatan membuat teman-teman difabel kesulitan atau apa. Sepertinya, ya, kembali ke masing-masing mahasiswanya saja. Kalau mungkin ada beberapa yang merasa itu sudah fine, ada beberapa yang kurang memfasilitasi,” katanya.

Meskipun Farrel belum bisa berkomentar banyak terkait kebijakan kampus, ia mengaku merasa terbantu dengan adanya UKM Peduli Difabel. UKM tersebut berusaha me-reach out semua mahasiswa difabel di UGM untuk menampung aspirasi dan keluhan mereka. Selain itu, UKM Peduli Difabel juga berperan mengadvokasikan dan memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas terutama di bidang pendidikan dalam lingkup UGM.

Aurel, Wakil Ketua UKM Peduli Difabel, mengungkapkan bahwa sebenarnya teman-teman difabel merasa belum ada kebijakan dari kampus yang spesifik untuk mahasiswa disabilitas, sehingga mereka tidak bisa berkomentar karena belum terlalu terdampak juga.

“Aku merasa ketika UGM mencoba untuk membuat kebijakan belum tanya langsung mereka (mahasiswa disabilitas) sebenarnya butuh apa, karena kalau misalnya tidak tanya, ya kita sebagai mahasiswa non-difabel juga tidak tahu sebenarnya apa yang spesifik teman-teman difabel butuhkan,” ungkap Aurel.

Ia berharap pihak universitas bisa lebih mendengarkan kebutuhan mahasiswa disabilitas ketika membuat kebijakan agar tepat sasaran.

“Jadi aku berharapnya supaya UGM ketika mau membuat kebijakan bisa mendengarkan dulu aspirasi dan apa yang benar-benar dibutuhkan teman-teman difabel supaya nantinya kebijakannya bisa tepat sasaran,” lanjutnya.

Aurel juga mengungkapkan bahwa dari pihak UKM tidak terlalu banyak mendapat keluhan yang krusial mengenai kuliah online. Kendala-kendala yang dialami oleh mahasiswa difabel rata-rata sebatas gangguan koneksi sehingga tidak dapat mengakses materi. Adapun protokol untuk masuk ke UGM yang semakin ketat selama pandemi mengakibatkan mahasiswa kesulitan menyelesaikan tugas akhir.

Selain itu, ada pula keluhan mengenai informasi akademik fakultas yang kurang aksesibel, tidak jelas, atau bahkan tidak ditemukan di website.

“Jadi, buat dia, seorang teman difabel tuli, itu menurut dia sangat mengganggu. Untuk teman-teman difabel lain, misalnya disleksia itu pasti akan menyulitkan dengan informasi akademik yang tidak aksesibel dan tidak jelas itu,” kata Aurel.

UKM Peduli Difabel selalu berusaha menjadi teman atau tempat berkeluh kesah bagi mahasiswa difabel. UKM tersebut juga terbuka untuk tempat ngobrol dan membantu ketika teman-teman difabel mengalami kesulitan, misalnya membutuhkan transkrip atau note taker dan lainnya ketika perkuliahan.

“UKM Peduli Difabel selama ini berusaha sebisa mungkin untuk membantu ketika memang mereka (teman-teman difabel) minta tolong, kalau memang mereka tidak mau dibantu ya kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkap Aurel.

Apabila banyak keluhan yang dianggap serius, UKM Peduli Difabel akan meneruskan ke universitas melalui audiensi. Sayangnya, terkadang pihak universitas kurang mendengar aspirasi yang tersalurkan saat adanya audiensi. Salah satunya adalah Unit Layanan Disabilitas yang sampai saat ini belum dibentuk.

“Unit Layanan Disabilitas atau ULD itu sebenarnya sudah disuarakan sejak tahun 2019 dan sebenarnya dari pemerintah sudah diminta untuk setiap universitas punya Unit Layanan Disabilitas ini, tapi sampai sekarang buktinya belum diproses juga, nah itu salah satu contoh yang mungkin bisa dilihat dari pihak UGM supaya bisa didengarkan,” kata Aurel.

Farrel sebagai bagian dari komunitas difabel pun berharap agar Unit Layanan Disabilitas tersebut dapat segera terealisasi agar bisa menciptakan kampus yang inklusif.

“Harapanku itu (Unit Layanan Disabilitas) semoga bisa cepat terealisasi agar suara-suara kita, suara-suara teman difabel, bisa didengar petinggi-petinggi kampus agar kebijakannya tetap inklusif untuk kita,” kata Farrel.

Di akhir wawancara, Farrel menekankan bahwa secara keseluruhan, fasilitas untuk mahasiswa disabilitas pada setiap fakultas belum merata seperti guiding block untuk tuna netra dan lainnya. Farrel menilai seharusnya pihak kampus sudah dapat menyediakan fasilitas tersebut tanpa menunggu aspirasi dari mahasiswanya. Sebab, menurutnya, selama ini lebih banyak dari mahasiswa yang proaktif, bukan kampus yang inisiatif.

“Mungkin kalau aku lihatnya, tidak hanya di UGM tapi masih banyak tempat itu seperti ‘ini belum ada mahasiswa atau orang yang difabel jadi kita belum perlu menyiapkan fasilitas’ padahal menurutku mindset seperti itu sangat salah, harusnya sudah prepare dulu, sudah ready dari awal sebelum ada (orang difabel),” tandasnya.

Reporter/Penulis: Whafir Pramesty
Editor: Safira Aulia Tamam

--

--

UGMtoday
UGMtoday

Portal informasi gamatizen yang dikemas secara baru, berbeda, dan kekinian. Sama aku aja~ #ugmtoday #gamatizen