Malioboro Uji Coba Bebas Kendaraan, Siapa yang Diuntungkan?

Whafir Pramesty
UGMtoday
Published in
4 min readNov 13, 2020
Foto: Hanna/UGMtoday

Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta kembali melakukan uji coba rekayasa lalu lintas dalam rangka mewujudkan Malioboro sebagai kawasan pedestrian (pejalan kaki). Sebelumnya, uji coba sudah dilakukan pada November 2019.

Hal ini menyusul status Malioboro sebagai World Heritage sebagai kawasan bernilai budaya karena menjadi salah satu sumbu imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi — Tugu Pal Putih — Keraton Yogyakarta — Panggung Krapyak — Laut Selatan. Oleh karenanya, penataan transportasi menjadi salah satu poin penting karena posisinya sebagai pusat ekonomi Yogyakarta.

Uji coba bebas kendaraan berlaku setiap hari pukul 06.00 WIB hingga 22.00 WIB selama dua pekan, yakni 3–15 November 2020. Di luar jam itu, kendaraan diperbolehkan melintas terutama untuk mendukung sektor ekonomi seperti pelaku usaha yang hendak memuat barang.

Namun, kebijakan ini tetap punya pengecualian yakni membolehkan kendaraan tertentu melintas seperti bus Trans Jogja, kendaraan kepolisian, kendaraan layanan kesehatan, mobil pemadam kebakaran, dan kendaraan patroli. Sepeda juga masih boleh melintas namun dilarang berhenti.

“Selain kendaraan itu nantinya tak boleh melintas. Jadi kami ingin meningkatkan citra di Malioboro sebagai salah satu sumbu filosofis ya. Malioboro juga kami ajukan sebagai World Heritage (Warisan Dunia) ke UNESCO,” ungkap Ni Made Dwi Panti Indrayanti, Plt Kepala Dinas Perhubungan DIY, dikutip dari SuaraJogja.id pada Sabtu (31/10/2020).

Made mengatakan bahwa kebijakan ini punya tujuan untuk membuat Sumbu Filosofis Yogyakarta mendapat gelar sebagai warisan budaya dari organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) UNESCO. Made berharap uji coba saat ini menjadi yang terakhir sebelum diterapkan permanen.

Akan tetapi, penerapan yang diawali dengan uji coba selama dua pekan itu menuai pendapat pro dan kontra. Sejumlah elemen masyarakat mengeluh terutama para pedagang yang pendapatannya anjlok ketika uji coba Malioboro bebas kendaraan bermotor diterapkan.

Video dari salah satu masyarakat yang diunggah oleh akun Twitter @BuruhYogyakarta pada 3 November 2020 yang sempat viral tersebut juga menunjukkan keluhan dan kekesalan salah satu warga kepada Pemkot Yogyakarta.

“Bapak-bapak pemerintah Jogjakarta Kota, untuk uji coba kalian lihat pedagang kaki lima pada sepi, tukang becak angkutannya sepi, kalian memang uji coba, tapi mengapa kami yang kalian jadikan kelinci percobaan, badjingannnn!” kalimat dalam video tersebut.

Sejalan dengan hal itu, Ketua PKL Jalan Ahmad Yani (Pelmani) Malioboro, Slamet Santoso mengatakan pendapatan PKL menurun drastis hingga 60–70%. Sedangkan para pemilik toko juga banyak yang mengeluhkan pendapatan mereka yang menurun sampai 80%. Padahal, selama pandemi COVID-19 sejak bulan Maret sampai Juli para pelaku usaha di Malioboro sudah mengalami kekurangan pemasukan. Namun masuk bulan Juli hingga Oktober sudah muncul geliat perekonomian di Malioboro, khususnya beberapa kali long weekend.

Dalam meminta dukungan masyarakat, Made mengakui memang tidak bisa semua pro dan pasti ada yang kontra karena mungkin ada kepentingan-kepentingan yang terganggu dengan adanya program ini. Meski begitu, ia meyakini, semua akan ada jalan keluarnya.

Menanggapi hal tersebut, peneliti kawasan Malioboro tahun 2001 dari UGM, Bambang Hari Wibisono melihat Malioboro mengalami transformasi dari periode ke periode. Perubahan akan terjadi seiring berkembangnya zaman, termasuk Malioboro yang menjadi tumpuan hidup masyarakat mulai dari zaman Belanda hingga saat ini.

Ia menjelaskan bahwa pada zaman dahulu, Malioboro menjadi akses jalan utama masyarakat yang kerap menjadi jalur penghubung, meskipun sebelumnya masih jarang kendaraan bermotor seperti sekarang. Menanggapi tujuan rencana pemerintah setempat untuk menjadikan Malioboro sebagai kawasan pedestrian, ia tak menampik bahwa masalah akses jalan atau lalu lintas sudah sangat melebihi beban dari yang seharusnya dipikul oleh Malioboro.

“Saya kira tujuan itu baik-baik saja. Namun melihat dari sisi kultural atau historisnya akan lebih menarik jika dikurangi bebannya. Jadi tidak semuanya ditutup langsung,” jelas Dosen jurusan teknik arsitektur dan perencanaan Fakultas Teknik UGM ini.

Perlu diketahui bahwa selain menghubungkan antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, perkembangan jalan Malioboro tidak hanya sekadar jalan saja, melainkan juga muncul fungsi komersial seperti PKL, pertokoan, hotel, dan sebagainya.

Menjadikan Malioboro sebagai kawasan bebas kendaraan bermotor tentu membutuhkan pertimbangan yang matang. Pasalnya, Malioboro memiliki multidimensi di dalamnya yang saling menyatu. Di antaranya adalah dimensi kultural, ekonomi, dan dimensi teknis pengaturan lalu lintas. Ketika Malioboro akan difokuskan pada satu dimensi saja, mempertahankan nilai kultural saja misalnya, barangkali mungkin tidak bisa atau bahkan malah mematikan dimensi lain. Oleh sebab itu, pemerintah daerah yang saat ini telah mengajukan kawasan Malioboro sebagai World Heritage kepada UNESCO tentunya harus memperhatikan kepentingan lain yang ada. Artinya, dimensi seperti ekonomi, sosial, lingkungan yang sudah menyatu jangan sampai terabaikan.

“Jika orientasinya pada nilai kultural yang nomor satu. Tapi bagaimana nilai kultural itu mempertimbangkan kepentingan yang lain. Jadi perlu ada pemikiran, istilah gampangnya win-win solution. Nilai-nilai yang lain tidak bisa dikesampingkan begitu saja,” ungkap Bambang, seperti dikutip dari SuaraJogja.id pada Jumat (6/11/2020).

Bambang menekankan agar nilai-nilai yang sudah dibangun tetap harus dijaga. Ia mengakui, Pemda sebenarnya memang sudah melakukan sejumlah uji coba dan evaluasi untuk Malioboro sebelumnya. Kendati demikian masih ada kekurangan yang perlu dibenahi. Oleh sebab itu, adanya dimensi yang menyatu dalam satu kawasan Malioboro harus diperhatikan dan tak diabaikan.

--

--