Naliswati: Cinta Tak Selalu Berakhir Bersama

UGMtoday
UGMtoday
Published in
2 min readJul 13, 2020

Sumunar ambabar risang Naliswati

Tresnaku satuhu risang Naliswati

Datan rangu, tresnaku mring sliramu

Setya ngrantu, purnane tyas sliramu

We are men of possession. Ketika kita mencintai sesuatu, kita cenderung ingin memilikinya. Ada orang yang tergerak untuk memetik kembang karena mereka mengagumi keindahannya. Ada juga yang terdorong untuk memelihara hewan tertentu karena adanya ketertarikan pada hewan itu. Tapi, sayangnya hidup tidak melulu tentang tinggal bersama karena ketertarikan dari salah satu atau kedua belah pihak. Ingat quotes yang isinya: we fall in love with people we can’t have? Kira-kira, quotes itu — ditambah dengan flashback kenangan masa lalu — yang terlintas di pikiran saya ketika mendengar lagu ini.

Naliswati merupakan karya mas Nanang Karbito yang berbentuk gendhing kontemporer. Karya ini dimainkan oleh grup karawitan bernama Pradangga Sastra Inggris UGM (Prasasti UGM). Gendhing ini dibuat pada tahun 2014 dan memiliki durasi sekitar 14 menit. Walaupun durasinya cukup lama, lagu ini tidak akan membuat pendengarnya bosan seperti ketika mendengarkan gendhing klasik.

Gendhing ini bercerita tentang seorang lelaki jatuh cinta pada seorang wanita. Perasaannya berbalas, namun akhirnya kandas karena mereka tidak bisa melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Biarpun tidak bisa hidup bersama, sang lelaki selalu mendoakan wanita tersebut agar dilimpahi kebaikan dalam hidupnya.

Fase-fase dalam kisah cinta si lelaki tergambar di Naliswati. Di menit-menit awal, kita disuguhi nada-nada yang terdengar begitu khidmat, tenang seperti air tanpa riak bagai kehidupan si lelaki sebelum kedatangan si wanita. Kemudian, nuansa gendhing beranjak dari tenang menjadi energetik, lively dan manis, menggambarkan kehadiran si wanita untuk mewarnai hidupnya. Di pertengahan gendhing, nada-nada yang terdengar begitu ceria dan energetik berubah menjadi nada-nada yang gloomy. Bagian ini menggambarkan kenyataan yang harus dihadapi si lelaki: ia tak dapat melanjutkan hubungannya dengan wanita yang dicintainya. Tentu saja, bagian ini segera disambut oleh nada-nada yang bernuansa marah, menggambarkan perasaannya yang beralih dari sedih dan kosong menjadi marah, entah pada dirinya sendiri atau pada dunia. Tetapi, nuansa marah dalam Naliswati berangsur mereda, seperti halnya si lelaki yang mulai bisa menerima kenyataan. Lagu tersebut ditutup dengan nada-nada yang megah, menggambarkan kelapangan hati si lelaki melepas sang wanita, mendoakan kebaikan selalu membersamai si wanita, dan move on.

Dalam kehidupan sehari-hari, sangat mungkin kita menemui atau menyaksikan kisah cinta orang lain di mana orang itu begitu dalam mencintai seseorang, namun perasaan atau hubungan istimewa itu kandas. Reaksi mereka sebagai orang yang ditinggalkan umumnya sedih, lalu marah karena tak mampu merealisasikan perasaan saling suka jadi ikatan saling memiliki. Hal ini tentu saja alamiah terjadi. Kita adalah makhluk yang ingin memiliki. Pasti sulit rasanya menerima kenyataan bahwa cinta memang benar-benar tidak harus selalu memiliki. Tapi, seiring berjalannya waktu kita bisa memilih untuk berdamai dengan diri sendiri dan menerima apa yang terjadi.

Saya rasa, Naliswati akan sangat mengena di hati para insan yang sedang patah hati karena hubungan asmara yang kandas karena melodi-melodi yang dihasilkan oleh instrumen-instrumen di gamelan dapat merepresentasikan kisah-kisah mereka.

Ngomong-ngomong, Naliswati bisa didengarkan di YouTube dengan menuliskan “Naliswati — Prasasti UGM” di bagian pencarian. Kalau mau mendengarkan, mungkin mau sambil membenamkan wajah di bantal atau bawa sesuatu untuk mengelap air mata.

Penulis: Herdina Primasanti

--

--

UGMtoday
UGMtoday

Portal informasi gamatizen yang dikemas secara baru, berbeda, dan kekinian. Sama aku aja~ #ugmtoday #gamatizen