Menyusuri Jejak Prof. KH. Abdul Kahar Muzakkir*

Nurcholis Art
Unisi Historia
Published in
7 min readJun 10, 2016

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Himmah (produk pers mahasiswa Universitas Islam Indonesia) No. 3 Thn XVIII Dzulqaidah 1404 H (Juli/Agustus 1984). Tujuan awal pemuatan tulisan ini di Medium karena pada 2016, saya sedang mencoba melakukan riset sederhana ketertarikan publik terhadap sejarah yang ada di UII. Hasil dari riset itu akan menjadi bahan pertimbangan untuk memasukkan rubrik sejarah UII di produk Himmah. Bahan tulisannya diambil dari produk-produk Himmah terdahulu. Mirip seperti rubrik — kalau saya tidak salah — sejarah di Harian Kompas dan Majalah Tempo.

ARAB memang bukan selalu Islam dan sudah pasti, Islam pula bukan Arab. Umat Islam, Indonesia khususnya, boleh saja kalang-kabut, jika seorang yang mempunyai wewenang cukup besar berujar, “Assalamualaikum adalah tradisi Arab, jadi sebagai bangsa Indonesia, kita tak perlu ikut-ikutan menggunakannya.” Malapetaka memang, dan itu saja belum cukup. Dia, sang pejabat, kemudian memang betul-betul melaksanakan niatnya, tak mengizinkan semua bawahannya, termasuk yang beragama Islam, mengucapkan salam yang merupakan ajaran Islam tersebut.

Bagi yang tak terlalu alim pun maklum, itu bukan tradisi Arab, melainkan tulen ajaran Islam. Besar kemungkinan pejabat tersebut pengetahuan agama (Islam)nya — boleh saja dia beragama Islam, tapi bisa jadi Islamnya “Islam lingkungan” — semrawut. Paling tidak sudah dibuktikan dengan “fatwa”nya itu. Suatu hal yang tak terpikirkan oleh kita.

Namun kita mau bilang apa jika seorang yang piawai dalam agama Islam pun pernah melarang salam itu digunakan. Beliau adalah Prof. KH. Abdul Kahar Muzakkir. Kiyai Haji ini, ketika masih mengajar di Mu’allimin (Kweek School) Muhammadiyah, memang pernah memerintahkan “doa selamat” ini tak diucapkan. Seperti yang dituturkan oleh H. Ya’cub Mahmud, salah seorang eks muridnya — kini wakil ketua Dewan Da’wah Islamiyah Kalimantan Barat — “saya malah pernah disuruh ke luar ketika masuk ke kelas sambil mengucapkan salam.” Alasan Kahar Muzakkir, menurut murid dan teman separtainya itu, salam yang disampaikan ketika sedang, mengajar misalnya, hanya merusakkan konsentrasi saja. “Oleh karena itu, kalau ada orang yang mengucapkan salam pada saat saat serupa, jangan dijawab,” demikian perintahnya ketika itu.

Berbeda dengan pejabat tadi, Kahar Muzakkir tidak sampai mengatakan bahwa salam merupakan tradisi Arab. Pelarangan memakainya pun bukan untuk semua situasi, tapi hanya pada saat-saat tertentu saja. Ringkasnya, salam tak boleh hilang, tentu saja, namun ia harus dipergunakan pada saat yang wajar.

Inilah, salah satu alasan, kenapa beliau mendapatkan banyak pujian di banyak kalangan. Beliau memang sering memikirkan sesuatu hal yang, nyaris, tak terlintaskan di benak kita. Untuk itu, banyak juga gelar yang diberikan kepadanya. Beliau, misalnya, oleh Suara Muhammadiyah dijuluki “Pemimpin Teladan”, yang artinya, idola seluruh masyarakat Islam Indonesia; atau warga Muhammadiyah paling tidak. Predikat “Pejuang Kemerdekaan” juga melekat di dirinya yang membuktikan, beliau tidak hanya melulu berpikir soal akhirat saja, ternyata. Gelar lainnya, Ustadz. Gelar tertinggi dalam bahasa Arab pada perguruan tinggi itu, menunjukkan bahwa sepak terjangnya, juga cukup menonjol dalam pemahaman pemikiran Islam.

Abdul

Yogyakarta, 1908. Pada tahun dan di kota inilah Kahar Muzakkir lahir. Namanya memang sering dikacaukan dengan pemimpin pemberontakkan Islam di Sulawesi Selatan pada masa ‘50-an, Kahar Muzakkar. J.D. Ledge misalnya, dalam Sukarno, A Political Biography telah membedakan dua Kahar pada naskah, tapi mengubahnya menjadi satu orang pada bagian indeks. Juga dalam Indonesia & Malay Students In Cairo in 1020’s, William R. Roff tak membedakan Kahar Muzakkir dan Kahar Muzakkar. Belakangan, Kahar Muzakkir mengubah namanya menjadi Abdul Kahar Muzakkir. Memang, namanya mirip dengan pemberontak yang sering kelihatan berada di hutan-hutan itu, namun sebagai alasan yang menyebabkan ditambahnya Abdul di depan nama aslinya, bukanlah itu. Menurut putranya yang kini juga sebagai dosen agama di UII, Rifki Abdul Kahar LML. Pertimbangan ayahnya adalah karena Abdul Kahar berarti hamba tuhan, sedangkan Kahar saja, artinya tuhan ……….

Abdul Kahar melalui pendidikannya di Sekolah Dasar Muhammadiyah Kota Gede, di mana ia besar dan wafat. Tanpa menyelesaikannya, tapi hanya sampai kelas dua, sekolahnya dilanjutkan di pesantren Mambaul Ulum di Solo. Kemudian setelah menyelesaikan lanjutannya di pesantren Jamsaren di Jawa Tengah, beliau pun segera pula tamat di Pesantren Tremas di Jawa Timur, tempat terakhir pendidikan formalnya di Indonesia. Badul Kahar agaknya belum puas terhadap ilmu yang didapatnya. Pada tahun 1925, beliau meninggalkan Indonesia menuju Kairo, dalam usia 16 tahun. Di Kairo ia memasuki Darul Ulum — sebuah fakultas baru pada Universitas Fuad (sekarang Kairo) — dan lulus dari Universitas ini pada tingkat lanjut dalam Hukum Islam, Ilmu Pendidikan, Bahasa Arab dan Yahudi; tahun 1936.

Pengalaman di Kairo.

Sementara orang barangkali akan beranggapan, masa yang dihabiskannya, 12 tahun, untuk menyelesaikan pendidikan “hanya” segitu, cukup boros. Tapi bagi beliau, yang tak mau begitu saja menerima keadaan, dan selalu bergairah memperjuangkan kebaikan nasib umatnya, suatu rentangan waktu yang lazim diatur dengan kaidah-kaidah tertentu; tak banyak artinya. Prof. Abdul Kahar ketika belajar di Kairo, memang kedapatan amat aktif pada hampir seluruh kegiatan kemahasiswaan. Beliau misalnya, pernah menjadi wakil bagi mahasiswa Jawah “istilah yang umum digunakan di Timur Tengah terhadap seluruh dunia Islam di Asia Tenggara.” Beliau juga yang ber ”kasak-kusuk” ketika Jamiyatul Syubban Muslimin (Organisasi Sosial Mahasiswa Indonesia di Kairo) didirikan. Organisasi inilah yang memiliki Jurnal Seruan Azhar, suatu sub organisasi yang kemudian menjadi media penting bagi penyebaran pesan pembaruan Islam dan penggalangan persatuan Islam dari Kario ke dunia Islam Asia Tenggara.

Pengalamannya yang juga mengesankan adalah ketika ikut membentuk “Perhimpunan Indonesia Raya” di Kairo, pada tahun 1933. di sini, untuk kesekian kalinya, beliau mendapat kehormatan ketika dipercayakan sebagai orang pertama, pemimpin organisasi yang ternyata satu jaringan dengan “Perhimpunan Indonesia” di Negeri Belanda, yang dimotori oleh Moh. Hatta itu. Belum cukup? Ini: Pada tahun-tahun sebelumnya, 1930-an, beliau juga banyak ditemui kerap “berkelana” ke berbagai pelosok Timur-Tengah untuk mengikuti perlbagai konperensi Islam tingkat dunia, mewakili baik mahasiswa Indonesia di Kairo, maupun masyarakat Islam di Indonesia. Beliau kemudian menjadi anggota tetap kongres Islam di Indonesia.

Keluarga Pejuang

Segera setelah kembali dari Kairo (1938), Prof. Abdul Kahar mulai mengajar di Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia memang kemudian bergabung dan amat aktif di Muhamamdiyah, yang menekankan perjuangannya di sektor pendidikan. Ia misalnya, sampai pecahnya perang dunia II, menduduki pimpinan pada Organisasi Pemuda dan Bagian Kesejahteraan Sosial pada organisasi tersebut. Hingga saat wafatnya pun beliau masih sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah, yang ini sudah dipegangnya berkali-kali — ia memang selalu terpilih — sejak 1946.

kendati demikian, pada tahun pertama kedatangannya di Indonesia itu pula, ia sebenarnya sudah mulai terjun ke dalam kancah politik Indonesia secara langsung. Ketika itu dia sedang menapaki umurnya ke-28, saat ia menyatakan dirinya bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII). Hebatnya, ia segera terpilih sebagai salah satu komisaris partai ini, hingga tahun 1941.

karirnya di bidang politik nasional memang tidak tanggung-tanggung. Ia contohnya, ketika masih pada pendudukan Jepang, berada di Departemen Agama. Di departemen ini beliau pernah menjabat sebagai wakil ketuanya. Abdul Kahar pernah pula menjabat sebagai Dewan Penasehat Pusat, yang kemudian membawanya berada di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, mewakili organisasi Islam. Dua bulan menjelang kemerdekaan, karirnya menjadi lengkap untuk dicatat sejarah. Ia menjadi subkomite pada badan yang disebut terakhir tadi, dan bersama 9 anggota inilah, termasuk Sukarno dan Hatta, ia ikut menandatangani “Piagam Jakarta”, Mukaddimah tidak resmi UUD ‘45.

Agaknya, bukanlah suatu hal yang kebetulan jika ia memiliki latar belakang yang demikian. Beliau memang berasal dari semaian bibit unggul, dari orang-orang yang amat tegar. Kakek Abdul Kahar misalnya, Kiyai Hasan Busyari, adalah pemimpin lokal Tarekat Syattariyah. Pada awal-awal abad 19, sang kakek ini, bersama-sama Pangeran Diponegoro ikut pula dalam pemberontakan (1825–1830) yang dikemudian hari amat terkenal itu. Jabatannya ketika itu? Komandan Gerilya Daerah! Memang, akhirnya beliau tertangkap. Bersama pangeran dan pengikut-pengikutnya, beliau diasingkan di Tondano, Sulawesi Utara, di Tempat akhirnya ia wafat.

Ayahandanya, Kiyai Haji Muzakkir, ternyata bukan pula orang yang tak patut diperhitungkan. Beliau yang segenerasi dengan pendiri Muhammadiyah, KH. Achmad Dahlan, memang ikut pula dalam suka-duka saat mulai menata organisasi tersebut. Dan sebenarnya, Achmad Dahlan sendiri tidak lain tidak bukan merupakan pamanda Abdul Kahar. Pendiri Muhammadiyah itu adalah suami dari adik perempuan isteri Haji Muzakkir (bibi dari gadis ibu), kendati perkawinan itu tak berlangsung lama.

Pendiri UII

kendati pada masa perjuangan melawan Belanda Abdul Kahar menjadi penasihat agama pada perang sabil di Yogyakarta, dan di bidang politik nasional aktif pula di Masyumi, tapi setelah masa kolonial perhatian pokoknya, agaknya, lebih ditujukan kepada usaha memajukan pendidikan (tinggi) Islam. Abdul Kahar misalnya, amat besar andilnya dalam pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI), ketika menjelang berakhirnya masa pendudukan Jepang. Ia pula yang akhirnya bersama Moh. Hatta memimpin lembaga pendidikan ini.

Ketika itu Hatta sebagai direktur Badan Usahanya, dan ia sendiri merupakan rektor pertamanya. Pada tahun 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta. Yang kemudian berganti nama menjadi Unviersitas Islam Indonesia (UII), tepatnya pada tanggal 10 Maret 1948. Selain itu, beliau juga pernah ikut berpartisipasi mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta, yang sekarang dikenal sebagai IAIN Sunan Kalijaga itu. Bagi UII, ia mempunyai arti amat penting. Selain memang ia sendiri termasuk pendirinya, Prof. Abdul Kahar Muzakkir merupakan orang pertama dan terlama yang pernah memegang jabatan rektor.

Jabatan itu dipegangnya selama tak kurang dari 12 tahun (1948–1960). itu pun setelah beberapa kali terpilih — dan akan dipilih lagi pada awal ‘60-an itu — ia minta agar jabatan rektor tersebut diserahkan kepada orang lain dan beliau sendiri, turun “hanya” menjadi dekan Fakultas Hukum, smapai akhir hidupnya.

Beliau wafat pada 2 Desember 1973 karena serangan jantung, dalam usia 65 tahun. Semasa hidupnya, beliau juga dikenal amat sederhana. “Saya sulit percaya pada penampilannya yang bersahaja, ketika pertama kali melihat Prof. Abdul dikenal sebagai pembaru Islam terkemuka ini,” ujar seorang intelektual Jepang, Dr. Mitsuo Nakamura, yang pernah mengadakan penelitian di Kota Gede. Diceritakannya, Abdul Kahar memang memiliki scooter, alat transportasi hasil pemberian salah seorang muridnya, namun itu tak pernah dipakainya. Ia misalnya, lebih senang bersepeda atau menggunakan andong jika pergi mengajar ke UII, yang berjarak 5 sampai 6 kilometer dari rumahnya di Kota Gede itu. Dengan mengenakan pakaian sederhana, baju putih tanpa dasi, setelan tua, sepasa sandal dan selalu menggunakan peci, ia dengan bijaksana membalas setiap “salam” dari orang yang ia jumpai di sepanjang jalan. Ketika wafatnya, belum pernah terjadi di Kota Gede, sampai saat ini, pelayat yang begitu melimpah ketika mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, kendati tak seorang pun pejabat pemerintah yang kelihatan hadir di sana.

*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Himmah No. 3 Thn XVIII Dzulqaidah 1404 H

--

--