Mengapa Kita Harus Menjadi Feminis

lunapelia
uiwomeninbusiness
Published in
9 min readSep 16, 2020

Mungkin kita merasa bahwa kondisi perempuan sudah baik-baik saja dengan meningkatnya jumlah CEO perempuan dan wanita karir, tetapi hal itu tidak dapat menutup mata dan telinga kita pada kenyataan pahit yang dialami golongan perempuan kelas pekerja dan golongan perempuan marjinal. Pencapaian individual sangat penting, tetapi melihat realita secara menyeluruh lebih penting. Kita harus ingat bahwa gerakan feminisme itu bersifat kolektif dan tumbuh dari rasa solidaritas dan persaudaraan.

Apa itu Feminisme?

Feminisme pada dasarnya adalah gerakan politik, budaya, dan ekonomi yang bertujuan untuk menegakkan persamaan hak dan perlindungan hukum bagi perempuan; sebuah gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan penindasan.

Gelombang pertama feminisme dimulai pada pertengahan abad ke-19, dengan tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft, Susan B. Anthony, dan Elizabeth Cady Stanton. Hal ini dipelopori oleh perempuan kulit putih yang sebagian besar dari AS dan Inggris, dan berfokus pada masalah hukum dan hak-hak perempuan seperti hak untuk voting.

Gelombang kedua dimulai pada 1960-an dan berfokus pada isu-isu seperti ketidakadilan publik dan privat, kekerasan dalam rumah tangga, hak untuk bekerja, dan hak reproduksi. Salah satu tokoh dari era ini adalah Betty Friedan, penulis buku ‘The Feminine Mystique”. Buku ini membahas bagaimana dunia seakan memberi ide dan bahwa perempuan akan dan harus menemukan fulfillment dalam mengurus rumah tangga . Friedan memperjuangkan gagasan lain yaitu perempuan yang sudah memperoleh pendidikan sampai tingkat tertentu tidak perlu mengurus rumah, terutama di kala pekerjaan rumah tangga dapat dilakukan dengan peralatan modern, teknonogi, atau bahkan mempekerjakan pembantu rumah tangga. Hingga saat ini, masih banyak kritik tentang buku Friedan, terutama fakta bahwa buku itu ditulis selama gerakan hak-hak sipil di AS, namun tidak menyebutkan perempuan kulit hitam atau kelas pekerja secara cukup.

Montikamoss, bell hooks, (CC BY-SA 4.0)

Hal ini memicu gelombang ketiga feminisme, dimana gerakan tersebut sebagian besar berfokus pada inklusivitas dan keragaman. Kali ini, banyak pertanyaan muncul tentang siapa yang diuntungkan oleh gerakan feminis. Gerakan pertama dan kedua tampak menguntungkan perempuan kulit putih yang memiliki privilese. Bell Hooks (ditulis bell hooks), sosok feminis interseksional, membahas masalah ini dalam bukunya yang berjudul “Ain’t I a Woman”. Judul itu sendiri adalah baris dari pidato terkenal yang dibacakan oleh Sojourner Truth, seorang abolisionis. hooks mengakui bahwa ras, sejarah politik, kelas, dan nilai ekonomi seorang perempuan adalah beberapa faktor yang membentuk nilainya, tetapi seseorang tidak dapat memisahkan satu atau lebih dari faktor-faktor ini ketika mempertimbangkan totalitas kehidupan dan kebebasannya.

Idolisme

Seiring meningkatnya popularitas dari gerakan feminisme, kita perlu memastikan bahwa kita benar-benar meresapi esensi dari feminisme, bukan menganut feminisme hanya semata-mata dikarenakan tokoh yang menyampaikannya. Idolisme dalam konteks feminisme terjadi ketika kita terlalu memuji seorang tokoh lebih dari hal yang diutarakannya. Ini terjadi pada era #GirlBoss (2013–2020) yang dipelopori oleh memoar Sophia Amoruso yang menceritakan jatuh bangun Amoruso dalam merintis bisnisnya, Nasty Gal. Sophia dan #Girlboss, bersama dengan warna merah muda yang menjadi ciri khasnya, menjadi ikon dan simbol untuk pemberdayaan perempuan dan kerja keras kaum milenial. Tagar #Girlboss terpampang di mana-mana seperti pada iklan, notebook, media sosial, dan kaos — yang ironisnya dibuat di negara-negara yang menetapkan upah rendah bagi pekerja perempuan. #Girlboss berkembang menjadi sebuah tren marketing dan sebuah kelompok yang identik dengan perempuan cisgender berkulit putih. Idealnya, #Girlboss menjadi sebuah gerakan inovatif dan inklusif yang membantu entrepreneur perempuan untuk berkembang. Namun, dibalik tampilan luar #Girlboss yang memikat, terdapat realitas yang memilukan tentang budaya bekerja yang terkesan eksklusif dan toxic. Amoruso bersama dengan ikon #Girlboss lainnya secara bertahap mundur dari posisi mereka sebagai CEO dan sistem #Girlboss-pun runtuh.

Tech Crunch, Sophia Amoruso, (CC BY 2.0)

Kita sering lupa bahwa tokoh-tokoh ini juga manusia — seperti kita — yang melakukan kesalahan. Alih-alih menempatkan kepercayaan kita pada tokoh-tokoh tertentu yang mencampurkan kapitalisme dengan keadilan sosial, kita harus lebih menekankan pada gagasan-gagasan — yang seyogianya bebas dari agenda pribadi — dan fokus pada perubahan struktural yang akan meningkatkan kehidupan sehari-hari perempuan dan kelompok marjinal lainnya.

Kebutuhan Feminisme di Indonesia

Untuk mencapai tujuan utama feminisme, kita harus secara lantang menyuarakan hambatan yang telah mendarah daging dan menghalangi perempuan untuk mencapai kesetaraan dengan laki-laki. Seringkali, kita lupa bertanya pada diri sendiri “Untuk tipe perempuan manakah yang haknya kita perjuangkan? Apakah untuk perempuan berada yang sudah mapan dan berpenghasilan stabil? Apakah untuk perempuan yang hidup dengan $ 1,90 sehari dan sekeras apapun mereka bekerja, mereka akan selalu terjebak dalam kemiskinan? ” Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, persentase kesenjangan penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta huruf masih cukup tinggi, terutama di pedesaan. Data menunjukkan bahwa pria 5% lebih melek huruf dibandingkan perempuan. Kesenjangan ini merupakan efek samping dari kemiskinan yang membatasi perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan paling dasar yang dibutuhkan untuk mencapai kesetaraan dengan laki-laki. Masih banyak realita pahit yang dihadapi perempuan-perempuan Indonesia sehari-hari, seperti:

  1. Tingkat Pernikahan Anak yang Mencengangkan
Peter van der Sluijs, Group of children in Indonesia, (CC BY-SA 3.0)

Pada tahun 2018 diperkirakan terdapat 1.220.900 perempuan usia 20–24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun dan menjadikan Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi. Anak-anak yang berasal dari keluarga kurang berada, di pedesaan, dan berpendidikan rendah lebih rentan terhadap pernikahan anak.

Wabah virus corona diprediksi akan menempatkan empat juta anak perempuan di seluruh dunia pada risiko perkawinan anak dikarenakan kondisi kemiskinan yang semakin parah.

Wanita yang hamil di bawah usia 17 tahun lebih cenderung mengalami komplikasi medis, baik untuk ibu, maupun anaknya. Selain itu, perkawinan anak juga dapat mengakibatkan kematian ibu dan bayi, kelahiran prematur, bayi kurang gizi, penyakit menular seksual, depresi setelah melahirkan karena kurang siap secara mental dan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengungkapkan bahwa provinsi dengan persentase pernikahan anak yang tinggi secara bersamaan menunjukkan prevalensi terhadap kasus stunting yang tinggi (gangguan pertumbuhan akibat gizi buruk). Tingginya angka stunting yang mengkhawatirkan di Indonesia, mendesak semua pemangku kepentingan untuk mengambil tindakan dalam meminimalkan atau bahkan menghapus perkawinan anak yang selama puluhan tahun telah melemahkan perempuan.

2. Pertumbuhan Pesat Kasus GBV Terutama Saat Wabah Corona

Kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence/GBV) adalah kekerasan yang ditargetkan pada seseorang karena jenis kelamin orang tersebut. Contoh GBV adalah kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kerugian ekonomi, atau perlakuan apapun yang memunculkan penderitaan bagi seseorang dengan jenis kelamin tertentu. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, 1 dari 3 perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam hidupnya yang dilakukan oleh pasangan atau seseorang yang mereka kenal. Kasus-kasus ini berakar dari pembagian kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Bagi sebagian dari kita, regulasi work from home dapat menjadi kesempatan untuk memaksimalkan waktu dengan keluarga, namun bagi beberapa perempuan, pembatasan ini telah meningkatkan risiko GBV karena mereka berada di satu tempat dengan pelaku kekerasan. Hingga Juli 2020, terdapat 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kontribusi tertinggi berasal dari kekerasan fisik (5.548 kasus), diikuti oleh kekerasan psikologis (2.123 kasus), kekerasan seksual (4.898 kasus), kerugian ekonomi (1.528 kasus), dan kekerasan terhadap pekerja migran dan human trafficking (610 kasus).

Kittisak Jirasittichai / EyeEm, Midsection Of Man Harassing Woman Sitting Against Window At Home, (Creative #1134727108)

Menurut WHO, peningkatan risiko kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh stres, hilangnya pendapatan, terbatasnya kontak sosial dengan individu atau lembaga perlindungan, dan penurunan akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang operasionalnya menjadi terbatas akibat COVID-19. Kasus-kasus ini harus menjadi seruan bagi pemerintah untuk melindungi hak-hak perempuan dengan mulai menempatkan RUU Pelecehan Seksual sebagai salah satu prioritas utama mereka. Namun untuk sampai ke arah sana, jalan yang harus ditempuh untuk menempatkan kembali RUU PKS di meja perundingan masih panjang dan berliku. Terlebih, dengan semua penghalang sistemik yang masih membayangi.

3. Kurangnya Pendidikan Seksual yang Memadai

Satu-satunya hal yang diajarkan secara formal di sekolah hanya sebatas anatomi manusia serta penyakit menular seksual. Pengertian penting lainnya seperti seks suka sama suka, perlindungan kontrasepsi, bentuk hubungan seksual, termasuk hal-hal yang tidak diajarkan, dan oleh karena itu siswa dibiarkan sendiri untuk mempelajari topik-topik ini seiring bertambahnya usia. Tidak jarang para remaja ini, terutama mereka yang memiliki akses ke teknologi, ‘belajar’ dari teman atau internet.

Pusat Penelitian Kependudukan Indonesia berpendapat bahwa tidak adanya pendidikan seksual dalam kurikulum nasional bermula dari kekhawatiran bahwa pengajaran ini akan mempromosikan seks pranikah pada siswa, meskipun penelitian tahun 2016 dari Kelompok Ahli Pendidikan Seksualitas Eropa menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas tidak mendorong anak untuk melakukan hubungan seksual, namun dapat memberikan informasi yang lengkap tentang masalah seksualitas sehingga anak memahami dan mampu mengambil keputusan yang lebih bijak dalam menjalani hidupnya. Selain itu, argumen populer lainnya yang menentang hal ini adalah anggapan bahwa seks masih tabu untuk dibicarakan, bahkan di dalam rumah. Perwakilan dari The Johns Hopkins Center for Communication Program menyebutkan bahwa banyak keluarga, meskipun mampu dan terpelajar, memandang ‘pendidikan seks’ yang sudah disediakan di sekolah sudah memadai, dan keengganan untuk mengajar lebih banyak karena tidak nyaman ditanyakan pertanyaan sulit, kebingungan bagaimana mendekati topik tersebut, dan ketakutan dianggap mempromosikan seks bebas, sebagai alasan mengapa hal itu tidak dibahas dalam lingkungan rumah.

Kematian ibu dan bayi, bayi prematur, stunting pada anak, dan pernikahan dini yang telah disebutkan di atas, yang bersumber dari kurangnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi seksual, karena tidak adanya pendidikan seksual, seharusnya cukup untuk mengakhiri perang generasi dan sistemik ini terhadap pendidikan seksual dan hubungan seksual itu sendiri.

Peter Dazeley, School nurse giving sex education, (Creative #602936025)

4. Period Poverty yang Marak

Sebuah terminologi yang relatif baru, period poverty mengacu pada masalah global yang mempengaruhi perempuan yang tidak memiliki akses terhadap produk sanitasi yang aman dan higienis, dan / atau yang tidak dapat menghadapi menstruasi dengan semestinya, terkadang karena stigma dan sanksi komunitas.

Photo by Alexander Sergienko on Unsplash

Di Indonesia, fenomena ini masih banyak terjadi, terutama di daerah terpencil dan berpenghasilan rendah. Selama menstruasi mereka, perempuan dilarang menghadiri upacara budaya dan agama, dan dijauhi komunitas sekitarnya. Menurut laporan tahun 2015 dari Burnet Institute tentang manajemen sanitasi menstruasi di Indonesia, praktik seperti tidak mengganti pembalut tiap dua jam masih dilakukan oleh 46% partisipan. Kesalahpahaman umum seperti pembuangan pembalut dengan cara dibakar akan menimbulkan masalah kesehatan dan larangan mencuci rambut saat menstruasi masih diyakini di daerah rural. Dalam hal tantangan yang dihadapi selama menstruasi selain dari aspek fisik, laporan tersebut menyebutkan beberapa poin antara lain, rasa malu dan rasa takut bocor atau ‘tembus’, kesulitan mengakses perlengkapan menstruasi karena mahalnya biaya atau tidak tersedia di sekolah, dan kesulitan dalam mengatur menstruasi di sekolah karena fasilitas yang tidak lengkap dan stigma sosial yang negatif.

Semua masalah ini menunjukkan rendahnya pemahaman, terutama dari masyarakat, tentang proses yang sangat alami dan berulang yang dihadapi setiap perempuan. Terlepas dari frekuensi dan keadaannya yang lumrah, siklus menstruasi masih diselimuti stigma negatif yang cukup kuat untuk benar-benar menghalangi anak perempuan melakukan aktivitas sehari-hari dari sekadar mengganti pembalut hingga bersekolah. Betapa banyak kesempatan untuk belajar dan tumbuh atau bahkan hadir di masyarakat mereka sendiri untuk perempuan yang direnggut hanya karena mereka sedang menstruasi. Angka-angka ini serta stigma yang akan masih terjadi dan kepercayaan yang sudah ketinggalan zaman perlu diluruskan dengan, tetapi tidak terbatas pada, fasilitas sekolah yang lebih baik bersama dengan pendidikan kesehatan seksual untuk siswa.

Kesimpulan

Photo by Valentina Conde on Unsplash

Feminisme adalah gerakan kolektif yang diperkuat melalui solidaritas dan persaudaraan. Gerakan ini bertujuan untuk melawan ketidakadilan yang dihadapi oleh segala golongan perempuan termasuk golongan perempuan marjinal dan tertindas lainnya. Meski niatnya mulia, gerakan ini tidak bebas dari kritik. Persoalan idolisme, terutama kasus #GirlBoss dan Sophia Amoruso yang lebih menekankan pada tokoh-tokoh yang terkait dengan gerakan, bukan sepenuhnya ide yang diperjuangkan. Selain idolisme, gerakan feminis juga dikritik terkait kelompok mana yang paling diuntungkan. Wanita kulit putih dengan privilese telah diuntungkan terutama selama gelombang pertama dan kedua feminisme. Baru pada gelombang ketiga, dengan menekankan pada inklusivitas dan keberagaman, gerakan tersebut mulai bergerak ke masalah ras, kelas, dan pendapatan.

Feminisme harus menjadi senjata untuk melawan ketidakadilan yang dihadapi oleh perempuan dari berbagai macam golongan. Pada nyatanya, masih banyak perempuan Indonesia yang kurang terwakili dan permasalahannya harus segera diselesaikan. Beban yang mereka hadapi sehari-hari berakar kuat dari kemiskinan, ketidaktahuan, keraguan, stigma, nilai-nilai agama, dan bias gender. Kita membutuhkan feminisme yang bergerak secara kolektif yang mendorong semua perempuan yang memiliki kekuasaan, kemampuan, otoritas, dan hak istimewa untuk berpartisipasi. Solidaritas dan persaudaraan juga penting agar kita dapat melihat realita melalui kacamata perempuan yang kurang berada.

Pada dasarnya, perempuan yang mampu secara sosial dan ekonomi memiliki kemampuan untuk membuat pilihan. Hal ini sangat kontras dengan nasib golongan perempuan marjinal yang tidak punya akses layaknya perempuan mandiri dan berada; mereka terjebak dan tidak berdaya.

Sementara kita mencoba untuk mendapatkan kebebasan dan otonomi untuk kita sendiri, jangan lupa untuk membayangkan diri kita yang hidup dalam kebenaran ironis ini, dan pikirkan apa yang dapat kita lakukan untuk mendukung perempuan-perempuan yang tidak seberuntung kita. Ingat, tidak ada moralitas tanpa empati (memandang orang lain sebagai diri Anda sendiri dan berusaha meringankan beban mereka).

Ditulis oleh Sashi A. dan Syifa.

Klik di sini untuk membaca versi Bahasa Inggris.

--

--