Realita Tragis Pekerja Perempuan di Indonesia

Putii
uiwomeninbusiness
Published in
9 min readSep 30, 2020

Perdebatan panjang terkait pembatasan hak-hak perempuan memang sudah seharusnya ditinggalkan. Pemikiran bahwa perempuan tidak memiliki pilihan lain selain mengurus kehidupan rumah tangga sudah tak lagi relevan. Hak untuk secara bebas menentukan nasib sesuai kehendak sendiri adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia juga merupakan hak perempuan.

Saat ini, dinding pembatasan hak-hak perempuan itu perlahan mulai runtuh. Perempuan mulai memiliki kesempatan dan peluang yang sama dengan laki-laki termasuk dalam hal bekerja dan berkarir. Lantas, apakah keleluasaan perempuan untuk bekerja ini sudah diiringi dengan pemenuhan hak-hak perempuan lainnya?

Ironi Realita Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan

Wanita Masih Menjadi Korban di Tempat Kerja

Hidup sebagai pekerja wanita di Indonesia bukanlah perkara yang mudah. Hak-hak pekerja wanita masih banyak sekali yang tidak dipenuhi, baik pada pekerjaan formal, maupun pekerjaan informal. Tidak jarang wanita menjadi korban di tempat kerja. Hal ini tercermin dari maraknya kasus pelecehan perempuan, terutama pada buruh perempuan yang bekerja di sektor padat karya. 44% buruh perempuan di Indonesia mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja yang mana di antaranya 89,94% dalam bentuk pelecehan lisan, 87,98% pelecehan fisik, dan sekitar 70,65% berbentuk pelecehan isyarat. Ironisnya, 61,8% diantaranya adalah perempuan berusia di bawah 15 tahun yang pekerjaannya tidak dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan dan sering kali tidak diberi upah.

cr: freepik
Designed by Freepik, Racism illustration concept

Naasnya Nasib Buruh Wanita di Perkebunan Sawit

Koalisi Buruh Sawit mencatat setidaknya 60% dari total jumlah buruh perkebunan adalah buruh prekariat wanita. Buruh wanita yang bekerja pada perkebunan sawit tidak mendapatkan hak-hak permanen sebagai buruh. Mereka harus bekerja tanpa kepastian kerja, tidak ada dokumentasi perikatan kerja, dan upah minim. Tidak berhenti sampai di sana, perusahaan tidak menyediakan perlindungan dan edukasi kesehatan yang memadai. Tidak semua perkebunan sawit menyediakan alat pelindung diri yang memadai dan memberikan informasi tentang potensi dari dampak yang ditimbulkan dari zat kimia yang digunakan.

Kesenjangan Remunerasi Berdasarkan Gender

Designed by Freepik, Inequality between man and woman in payment

Berdasarkan data analisis yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020, pekerja wanita mendapatkan upah 23% lebih rendah dibandingkan rekan pria yang memiliki beban kerja yang sama. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tidak terlihat ada perubahan banyak dalam hal ini. Pada tahun 2010, pekerja wanita mendapatkan upah 23,64% lebih rendah dari rekan kerja pria. Hal ini dikarenakan pendapatan yang dihasilkan wanita yang bekerja hanya dianggap sebagai pendapatan tambahan dan bukan pemberi nafkah utama.

Menyelesaikan masalah kesenjangan pendapat berdasarkan gender tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendidikan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS, wanita lulusan universitas menghasilkan upah 31,9% lebih sedikit dibandingkan rekan kerja pria.

Kurangnya Perlindungan dan Jaminan Hak Pekerja Perempuan dalam Sektor Informal

Photo by Rahabi Khan on Unsplash

International Conference of Labour Statisticians (ICLS) mendefinisikan sektor informal sebagai unit produksi dalam usaha rumah tangga yang dimiliki oleh rumah tangga. Pekerja dalam sektor informal ini kebanyakan berstatus wirausaha/wiraswasta, buruh tidak tetap/tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Badan Pusat Statistik, pada tahun 2017, presentase perempuan berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor informal adalah 61,37%. Jumlah yang tinggi ini sayangnya tidak diiringi oleh pemenuhan hak pekerja perempuan sebagaimana diatur untuk perempuan yang bekerja di sektor formal. Pekerja sektor informal cenderung tidak mendapatkan aspek perlindungan hukum seperti uang pesangon, upah minimum, jaminan kesehatan dan sosial, dan sebagainya.

Minimnya Perlindungan Pekerja Perempuan dari Ancaman Kekerasan Seksual

Indonesia saat ini juga masih belum memiliki hukum yang dapat menjamin hak pekerja perempuan atas ancaman kekerasan seksual. Indonesia masih mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai dasar penyelesaian kasus kekerasan seksual. Sedangkan, dalam KUHP tersebut hanya diakui dua jenis kekerasan seksual, yaitu perkosaan dan pelecehan seksual sehingga jika terjadi kekerasan seksual di luar dua bentuk tersebut, upaya penyelesaian hukumnya akan sangat sulit dan cenderung dapat mereviktimisasi korban kekerasan seksual. Padahal menurut Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2019 terdapat sekitar 2.670 kasus kekerasan seksual di tempat kerja yang dilaporkan dan jenis yang paling sering terjadi adalah pelecehan seksual yang mana belum diatur dalam produk hukum manapun.

Sebenarnya, saat ini Indonesia memiliki satu rancangan undang-undang terkait penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS). RUU PKS ini secara komprehensif dan secara khusus membahas apa itu kekerasan seksual, jenis-jenis kekerasan seksual, tindakan apa saja yang digolongkan sebagai kekerasan seksual, relasi kuasa, bahkan penanganan dan perlindungan korban dalam kasus kekerasan seksual. Melihat urgensi dari tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi, termasuk di tempat kerja, sudah semestinya RUU ini disahkan sebagai hukum positif. Namun, setelah lebih dari 5 tahun ditunda pengesahannya, pada tahun 2020 ini, RUU PKS kembali ditarik dari Prolegnas 2020 atas dasar sulitnya pembahasan dari isi RUU tersebut.

Hak Perempuan dalam Instrumen Hukum Internasional

Designed by Freepik, Detener el concepto de violencia de género vector gratuito

Di dunia internasional, terdapat berbagai instrumen hukum yang mengatur mengenai hak pekerja wanita di tempat kerja. Hak wanita di tempat kerja dijamin oleh hukum internasional yang diatur dalam:

  1. International Covenant on ESCR (ICESCR) dan General Comment №23 of 2016 yang memberikan lebih banyak detail tentang hak-hak perempuan di tempat kerja, seperti upah yang setara untuk pekerjaan yang bernilai sama, cuti melahirkan, dan lain-lain.
  2. Relevant ILO Conventions:

Konvensi ini menerima, membahas, dan memutuskan mengenai prinsip pemberian remunerasi yang setara untuk pekerja wanita dan pria.

Konvensi ILO yang diadakan di Jenewa menerima usulan tertentu yang berkenaan dengan diskriminasi di bidang pekerjaan dan jabatan. Konvensi ini berbasis pada Deklarasi Philadelphia yang menegaskan bahwa semua manusia, terlepas dari ras, keyakinan atau jenis kelamin, memiliki hak untuk mengejar kesejahteraan materi dan perkembangan spiritual mereka dalam kondisi kebebasan dan martabat, keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama, dan diskriminasi merupakan pelanggaran hak yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Dalam pembukaannya, konvensi ILO yang diadakan pada tahun 1981 ini membahas dan memutuskan untuk menerima proposal mengenai kesempatan yang sama dan perlakuan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan: pekerja dengan tanggung jawab keluarga.

Konvensi ILO yang diadakan di Jenewa pada tahun 2000 ini membahas mengenai keadaan pekerja perempuan dan kebutuhan untuk memberikan perlindungan atas kehamilan yang menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Hak Pekerja Perempuan dalam Hukum Positif Indonesia

Di Indonesia sendiri sebenarnya hak pekerja wanita telah diatur dalam beberapa produk hukum positif, misalnya UU №13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, seorang pekerja wanita berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum dan sesudah melahirkan anak sesuai dengan perhitungan dokter kandungan atau bidan. Dalam halnya seorang pekerja wanita yang hamil mengalami keguguran, berdasarkan Pasal 82 ayat (2), ia juga berhak mengajukan cuti selama 1,5 bulan sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Perlu digarisbawahi, selama seorang pekerja wanita mengambil cuti sesuai ketentuan Pasal 82 tersebut, ia tetap berhak mendapat upah penuh. Selain itu, pasca melahirkan seorang pekerja wanita juga memiliki hak untuk menyusui anak dalam waktu kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 83.

Designed by Freepik, Asian woman having painful stomatch ache during working

Hak wanita selanjutnya yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan adalah hak cuti haid. Dalam Pasal 81 ayat (1) disebutkan “Pekerja/buruh wanita yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”. Permasalahan terletak pada ayat 2 Pasal tersebut yang menyebutkan bahwa pelaksanaan ketentuan akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hal ini mengakibatkan adanya kemungkinan perusahaan untuk menutupi atau justru mempersulit syarat untuk mendapatkan hak cuti haid tersebut.

Kemudian buramnya definisi “merasakan sakit” dalam Pasal 81 ayat (1) juga menjadi hambatan pekerja wanita dalam mendapatkan haknya. Memang dikenal sebuah istilah dalam ilmu kedokteran yaitu dismenore atau rasa sakit dan kram perut yang disebabkan saat sedang haid atau menstruasi. Jika definisi “merasakan sakit” dalam Pasal 81 ayat 1 merujuk kepada dismenore, maka akan diperlukan pengaturan lebih lanjut apakah dalam pengajuan cuti dibutuhkan sebuah keterangan dari dokter atau tidak. Lantas, jika dalam pengajuan cuti tetap memerlukan surat keterangan dokter, tidak ada perbedaan signifikan antara cuti haid dan cuti sakit pada umumnya.

Masalah dan Potensi Implikasi Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Sebagaimana permasalahan yang sudah dijelaskan di atas, dapat dilihat bahwa diaturnya hak-hak pekerja perempuan dalam hukum positif saja tidak cukup menjamin bahwa hak-hak tersebut akan terpenuhi. Ironisnya, keadaan ini diperparah dengan adanya rencana pengesahan RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menggunakan sistem Omnibus Law. Omnibus Law sendiri merupakan metode pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansinya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu produk hukum. Sehingga jika Omnibus Law Ciptaker ini disahkan, maka beberapa undang-undang akan tergantikan, salah satu di antaranya adalah UU Ketenagakerjaan. Masalah dari diubahnya UU Ketenagakerjaan melalui RUU Ciptaker ini adalah hilangnya pengaturan hak-hak pekerja perempuan yang sudah dijelaskan sebelumnya (hak cuti hamil, hak cuti melahirkan, dan hak cuti haid). Jika dengan pengaturan sedemikian rupa saja hak-hak tersebut belum dapat sepenuhnya terpenuhi, apa lagi jika pengaturannya dihilangkan?

Ketahui dan Perjuangkan Hakmu sebagai Pekerja Perempuan

Memperjuangkan kembali hak yang seharusnya diterima tentunya tidak mudah. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan kembali hak kamu, antara lain:

  1. Terbuka dengan pendapatan yang kamu hasilkan — Bicarakan secara terbuka remunerasi kamu dengan rekan pria kamu, terutama dengan mereka yang memiliki peran dan beban kerja yang sama dengan kamu.
  2. Minta tempat kamu bekerja untuk mempublikasikan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) — Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) berisi hak-hak yang akan kamu dapatkan jika kamu bekerja di tempat tersebut. Pastikan hal-hak yang akan anda dapatkan sudah sesuai dengan standar dalam hukum nasional di Indonesia.
  3. Bergabung dalam serikat pekerja. Bergabung dengan serikat pekerja akan sangat membantu untuk bernegosiasi — Hal ini dikarenakan serikat pekerja memiliki kekuatan untuk mengadakan pertemuan bipartit dan tripartit, yaitu pertemuan untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan. Kamu akan memiliki daya tawar yang lebih besar di mata perusahaan. Selalu ingat bahwa kamu dan rekan serikat pekerja memiliki hak untuk berdialog dengan perusahaan (bipartit). Jika tidak tercapai kesepakatan, kamu bisa menempuh jalur selanjutnya, yakni forum tripartit yang terdiri dari kamu, serikat pekerja, dan perusahaan.

Kesimpulan

Designed by Freepik, Manager push woman with big hand metaphor of gender issues and discrimination position

Di era modern seperti sekarang, perempuan yang bekerja tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang aneh. Sayangnya, perkembangan zaman tidak diiringi dengan berkembangnya jaminan atas pemenuhan hak pekerja perempuan. Pekerja perempuan sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak layak dan perempuan pekerja masih belum memperoleh hak-haknya. Tidak berhenti di sana, pekerja perempuan Indonesia sering kali mendapatkan berbagai bentuk pelecehan di tempat kerja. Banyak pekerja perempuan di Indonesia yang mengaku mendapatkan pelecehan dalam bentuk lisan, fisik, dan isyarat. Ironisnya, dengan semakin maraknya kasus pelecehan di tempat kerja, Indonesia masih belum juga memiliki hukum yang dapat menjamin hak pekerja perempuan atas ancaman kekerasan seksual. Hal ini membuat perempuan terus dihantui oleh rasa takut.

Di Indonesia, pelanggaran hak acap kali dirasakan oleh pekerja perempuan. Dari tidak terlaksananya hak atas konsekuensi biologis yang dialaminya (seperti menstruasi, hamil, dan melahirkan) hingga mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan rekan kerja laki-laki yang memiliki peran yang sama. Meskipun hukum nasional sudah mengatur, namun dalam prakteknya hak-hak tersebut jarang didapatkan oleh pekerja perempuan. Hal ini membuat pekerja perempuan terus merasakan perasaan tidak aman karena tidak adanya hukum yang dapat melindunginya.

Sebagai perempuan, pun sebagai kawan puan, kenyataan akan ketidakadilan atas pemenuhan hak-hak tersebut tidak dapat dibiarkan. Kondisi ideal bernama kesetaraan dan kesejahteraan bagi pekerja perempuan itu hanya fatamorgana. Kita butuh sebuah kesadaran kolektif dimana kita secara kolektif memperjuangkan apa yang sudah selayaknya didapatkan. Sesungguhnya, tak akan pernah ada perubahan tanpa keresahan, kekhawatiran seorang perempuan atas pemenuhan hak dirinya sendiri dan hak-hak para perempuan lainnya. Selama hukum di negara sendiri belum bisa kita andalkan, kitalah yang bertanggung jawab atas diri kita sendiri dan juga perempuan-perempuan lainnya yang bernasib sama dengan kita.

Ditulis oleh Putii dan Gracia S.

Klik di sini untuk membaca versi Bahasa Inggris.

--

--