Di Cap “Jaim” karena Menjadi Diri Sendiri
Pernah dengar kata “Jaim”? Yups, jaim alias jaga image dipersepsikan sebagai perilaku seseorang yang menyembunyikan identitas asli mereka dan mengharapkan orang lain akan berpersepsi bahwa mereka adalah tipikal yang tenang, kalem, berwibawa, karismatik serta misterius. Sederhananya untuk mempengaruhi persepsi orang lain terhadap diri mereka.
Dalam kondisi profesional demi menjaga kesopanan dan keberadaban, penting bagi kita untuk berlaku jaim. Selain itu, banyak sekali alasan mengapa orang lain hendak berlaku jaim atau menjaga citra. Namun, ternyata banyak sekali yang memahami jaim sebagai sebuah kelemahan bahwa seseorang itu tidak ingin menunjukkan dirinya yang sebenarnya karena diduga tidak sebaik yang berusaha ditunjukkan oleh orang tersebut. Nyatanya, tidak selalu begitu.
Citra baik seseorang juga tidak selalu terbentuk dari upaya jaim seseorang loh. Bisa jadi, kepribadian mereka memang seperti itu apa adanya sehingga tanpa berusaha pun ia telah membentuk citra diri yang diharapkan. Ketidakpercayaan kita terhadap orang lain akan membentuk persepsi bahwa seseorang itu pasti jaim, tidak terpikir dalam kepala kita bahwa mungkin saja seseorang tersebut memang berkepribadian asli seperti yang ia tunjukkan. Setiap orang memiliki karakter dan tipikal kepribadian yang berbeda-beda.
Banyak keadaan di mana lingkungan mengharapkan dan menuntut setiap orang untuk berperilaku sama seperti orang lain pada umumnya. Jika tidak, bersiaplah untuk disebut sok jaim. Hanya karena seseorang tidak memenuhi ekspektasi kriteria yang ada di dalam pikiran kita, kita terlalu mudah menjastifikasi orang lain munafik. Hal inilah yang membuat seseorang sulit menjadi berbeda dan berakhir dengan bejat bersama, tidak dalam semua kasus.
Contohnya begini, ketika saya dan beberapa kawan saya tengah menghadiri sebuah acara kampus yang menghadirkan seorang sosok senior yang cukup popular, seorang kawan saya mengajak kami untuk berfoto dengan seseorang tersebut, karena saya sedang ada urusan akhirnya saya meninggalkan mereka terlebih dahulu. Setelah saya menyelesaikan urusan saya, mereka memamerkan hasil foto mereka dengan senior tersebut, “Lu sih kebanyakan jaim, nyesel ntar tuh. Sana keburu pergi loh”. Ternyata ada salah satu kawan saya yang enggan ikut berfoto.
Menurut saya, meskipun ia sangat memperhatikan penampilan, sebenarnya ia memang tipe perempuan yang tergolong cuek dan hanya peduli dengan apa yang menurutnya menarik. Contoh lainnya adalah ketika kami menghadiri acara Open House korps jurusan kami di kampus. Acara terakhir biasanya diisi dengan kegiatan saling membaur dilengkapi dengan music jedak jeduk ala club malam. Sekali lagi mereka mengajak saya dan kawan saya itu untuk bergabung dengan kerumuan orang yang sedang menggila (menari gaya bebas ala dugem), namun saya lebih memilih menikmati minuman saya sambil mengamati, begitu pula kawan saya yang satu ini.
Sejujurnya, saya memang sedang tidak tertarik dan malas untuk bergabung di kerumuan. Mereka tiba-tiba bilang “Udah, nggak usah jaim-jaim, di sini anak-anak kita doang kok”, seraya pergi meninggalkan kami di sudut rooftop bangunan tersebut. Itu hanyalah beberapa contoh kecil yang barangkali tidak kita sadari. Kebenaran bahwa seseorang benar-benar malu atau pun memang tidak tertarik atau tidak menganggap hal itu penting seringkali langsung dijastifikasi sebagai bagian dari upaya jaim.
Jika seseorang memilih menjadi orang lain sebagai orang yang mereka anggap tidak ‘sok jaim’ dengan mengikuti perilaku dan ketertarikan mereka, pada akhirnya seseorang itu malah menjadi orang lain dengan topeng yang dipakai demi tetap eksis demi sebuah lingkaran pertemanan yang sempurna. Apakah kedengarannya egois? Itu tergantung sudut pandang orang yang menilainya. Bersikap idealis dengan menjadi diri sendiri bukan berarti egois selama hal itu tidak merugikan orang lain. Justru menuntut orang lain untuk bertingkah laku sama dengan apa yang kita yakini adalah perilaku yang egois.
Kita saja belum tentu jujur pada diri kita sendiri, namun dengan penuh rasa percaya diri kita mengatakan wajah baik yang ditunjukkan seseorang hanya sebatas topeng sempurna untuk menutupi kelemahan mereka dengan jaga image? Tidak menutup kemungkinan bahwa tanpa sadar prasangka kita dihasilkan dari sifat iri atau keinginan kita untuk memiliki kepribadian tersebut. Sungguh ironis sebenarnya pemikiran seperti ini. Perlu diingat bahwa versi menjadi diri sendiri setiap orang tidaklah selalu sama.
Saya memiliki seorang kawan-sebut saja namanya Bambang-yang dapat saya katakan seorang pekerja keras dan tulus, meskipun orang lain tidak memahami hal tersebut karena sebenarnya ia bukan tipikal yang mengumbar kisah perjuangannya untuk berharap orang lain memahaminya. Ia adalah tipe orang yang sangat memperhatikan penampilan dan ia puas dengan hal itu. Namun sayangnya, kebiasaan tersebut sering kali dicap untuk menarik perhatian orang lain atau bahasa gaulnya “caper”. Loh, kok kita GR?! Bisa jadi ia melakukan semuanya untuk dirinya sendiri sebagai bentuk rasa cintanya terhadap diri sendiri.
Sejauh yang saya pahami, kawan saya ini memang tipikal orang yang tenang dan cenderung menghindari hal-hal yang menurutnya tidak berguna, dan karena hal inilah ia seringkali dipandang sebelah mata di dalam kelompoknya hanya karena ia cenderung pemalu, tidak humoris, menahan diri, dan dianggap sok berwibawa. Meskipun ia sebenarnya ramah, ia bukan tipe orang yang akan mudah membuka diri kepada siapa saja, kecuali orang yang benar-benar ia percaya. Sayangnya, kehati-hatiannya dalam bersikap kerap kali berunjung dengan di cap jaim oleh orang lain di sekitarnya. Beruntungnya, sikap ketidakpeduliannya terhadap komentar-komentar tidak membangun membuat ia tak mudah tersinggung dan selalu selow.
Orang-orang seperti ini banyak hidup disekitar kita dengan serba salah. Ketika mereka berusaha untuk menjadi diri mereka sendiri, orang lain malah menyebut mereka sok jaim. Ketika ia menjadi orang lain menyesuaikan lingkungan, ia akan melihat diri mereka sendiri di dalam cermin terlihat jujur sekaligus munafik.
Mengapa kita begitu mudah menjastifikasi setiap orang tidak jujur dalam menjadi diri sendiri? Apakah karena istilah “Apa yang kita lihat belum tentu benar” sehingga kita perlahan-lahan mengeneralisir kepribadian seseorang yang berbeda di lingkungannya terlihat hanya sebagai bagian dari kepura-puraan? Sebegitu sempitkah pikiran kita sehingga sulit menerima bahwa setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda dan bisa saja seperti itu kebenarannya. Sulit memang memahami tipikal seperti ini, namun bukankah kita terlalu sok tahu di saat kita sebenarnya tidak mengetahui apapun? Apakah kita yakin kita tahu segalanya disaat ia saja tidak membuka diri kepada kita, yang berarti ia belum cukup percaya.
Sadarkah bahwa kita cenderung menuntut orang lain untuk berperilaku sama dalam suatu kelompok demi sebuah sinergi? Kita secara tidak langsung justru telah memaksakan orang-orang dengan kepribadian berbeda untuk menjadi orang lain yang berkepribadian sama dengan kita. Kitalah yang memberikan topeng kepada mereka, jika mereka tidak mengenakannya, kita tetap akan menganggapnya mengenakan topeng. Jadi, siapa yang sebenarnya mencari perhatian? Mereka atau malah kita yang tanpa sadar memaksakan membuat citra yang berbeda tidak lebih menarik dari citra yang kita tunjukkan dan jujur menurut versi kita? Oh, really?
Perlu dipahami bahwa kita hidup di tengah masyarakat yang heterogen dan tipikal manusia yang jelas sangat heterogen. Tidak setiap orang yang terlihat misterius, tenang, berwibawa, terlihat serius, sulit dicapai, tidak konyol, tidak humoris, dan cenderung berbeda adalah orang yang ‘sok jaim’. Ada juga tipe orang yang sulit membuka diri terhadap orang lain namun bukan berarti pula mereka sok jaim, bisa jadi karena ia merasa belum menerima seseorang itu sepenuhnya, ia bersikap jujur dengan sikap tidak terbuka tadi. Ia menunjukkannya dan itu adalah bagian dari menjadi diri sendiri versi mereka.
Mengapa kita mengharapkan orang lain memiliki versi yang sama dalam setiap hal? Awas, generalisasi bisa menjadi sebuah pemikiran yang berbahaya. Kita harus mengakui bahwa citra tidak selalu terbentuk dari hasil berpura-pura.
Untuk kamu yang sering kali dianggap sok jaim padahal itulah diri kamu yang sesungguhnya, teruslah menjadi diri sendiri karena hal itulah yang membedakan kamu dengan orang lain, bahwa tidak semua orang harus mengikuti ekspektasi orang lain dengan mengubah identitas diri menjadi kepalsuan yang dianggap orang lain sebagai sebuah kebenaran yang asli.
Akan ada banyak orang yang menganggap kamu nggak asik dan sok-sok’an, tapi ada banyak orang juga kok yang bisa memahami ketulusan kamu dalam menghargai diri sendiri dan orang lain. Kehidupan itu tidak rumit, cara berpikir kitalah yang membuatnya tampak rumit. Kita terlalu banyak menuntut orang lain memahami diri kita namun kita sendiri terkadang lupa bahwa kita pun tidak terlalu tertarik untuk memahami orang lain.
Saya pun bukan orang yang sempurna atau yang ingin memahami semua orang, namun disekitar saya terlalu banyak hal yang sukar saya pahami. Maka dari itu, di lingkaran mana pun kita berada, perlu kita mengingatkan diri kita sendiri bahwa setiap orang bukanlah orang yang sama. Tidak setiap orang pula yang kita lihat tidak menampakkan celah kelemahannya adalah sisi yang sengaja ingin mereka tunjukkan dengan tujuan menjaga persepsi orang lain.
Sebenarnya tulisan ini dibuat sebagai cara saya mengekspresikan kekesalan saya dengan satu stereotipe tentang topik tersebut yang tentu saja bercermin dari pengalaman pribadi saya sendiri. Tidak hanya itu, namun juga karena kekaguman saya terhadap seseorang yang saya pikir memiliki cukup banyak sisi kemiripan dengan saya. Banyak orang menilai ia sebagai sosok yang dianggap jaim di banyak situasi, meskipun tak banyak yang menyadari bahwa sikap tersebut barangkali justru karena ia benar-benar tidak tertarik untuk menarik perhatian. Saya suka bagaimana ia tidak menjadikan dirinya sebagai orang lain hanya untuk memenuhi tuntutan sosial di lingkungannya sekalipun justru sering memancing pemikiran yang kurang menyenangkan dari orang-orang di sekitarnya.