Kehilangan Tidak Selalu Tentang Orang Lain

Ulfa Setyaningtyas
Ulfa’s Journal
Published in
3 min readJun 21, 2021
Photo by Marcelo Chagas from Pexels

Beberapa waktu ini, banyak hal yang membuat saya mulai berpikir bahwa di sekitar kita ternyata masih banyak orang yang melihat depresi sebagai sebuah kesempitan berpikir seseorang. Bahkan, seseorang yang mencoba untuk mencari bantuan psikolog atau psikiater dianggap sebelah mata hanya karena mereka tidak mampu menanggung masalah mereka sediri.

Meskipun stress dan depresi bisa saja berawal dari satu hal yang sama dan kelihatannya serupa, namun keduaya memiliki perbedaan mendasar. Stress merupakan gangguan mental yang dipicu oleh adanya tekanan atau ancaman berupa perasaan kegagalan individu. Depresi bisa saja berawal dari stress berat atau berkepanjangan, bahkan dalam beberapa kasus depresi dapat terjadi tanpa melewati siklus stress berat.

Depresi ini adalah fase dimana seseorang merasa mengalami masa-masa kritis hingga ke titik terendah hidup mereka. Mereka juga akan kehilangan tujuan dan semangat hidup, merasa tidak ada jalan keluar sama sekali, tidak ada bagian di dunia ini yang membuat mereka merasa aman, tidak ada seorang pun yang dapat mereka percaya, serta rasa terpuruk dan kejenuhan yang teramat sangat dalam.

Bayangkan betapa sulitnya mereka untuk bertahan dalam situasi di seperti ini, kemudian orang lain mulai menyalahkan kesalahan pola pikir mereka. Tidakkah kita berpikir bahwa apa yang mereka takutkan adalah penghakiman? Perlu dipahami bahwa apa yang menurut kita tidak penting dan tidak seberapa, bisa menjadi hal yang sangat berharga bagi orang lain.

Kehilangan tidak selalu tentang orang lain, kehilangan diri sendiri adalah bentuk kehilangan yang paling menyedihkan. Berbicara tentang depresi, sesungguhnya banyak orang yang belum memahami kesulitan ini. Sebagaian besar orang justru menyalahkan bahkan menganggap mereka ini tidak berpikir terbuka dan mental mereka tidak cukup kuat untuk menghadapi dunia. Kalau begini, lalu siapa yang berpikiran terlalu sempit?

Yang lebih miris lagi adalah sebagian orang bahkan mulai membawa-bawa pembenaran agama. Misalnya, dengan mengatakan bahwa seseorang itu tidak cukup dekat Tuhan dan sebagainya. Alih-alih membuat mereka percaya bahwa selalu ada orang lain yang dapat mereka percaya dan tulus, tak sedikit yang mulai berkhotbah masalah pembenaran agama dan hubungan mereka dengan Tuhannya.

Memang benar bahwa barangkali pola pikir seperti itu bertujuan baik untuk menyadarkan orang tersebut, namun dalam kasus depresi, perkataan semacam itu tidak menyelesaikan masalah. Tawarkanlah rasa aman dan rasa percaya bahwa mereka tidak sendirian di dunia ini. Mengapa tidak memulai membuat hubungan diri kita sendiri lebih baik dengan mereka daripada membahas mengenai hubungan mereka dengan hal lain yang belum tentu kita pahami?

Terkadang kita merasa bahwa kita tahu segalanya, namun sebenarnya kita tidak memahami apapun dan tidak ingin mencoba untuk memahami karena kita merasa benar berjalan dengan keyakinan yang kita buat sendiri bahwa apa yang kita yakini adalah yang benar hanya karena orang lain melihat diri mereka lemah dan salah.

Abad ini, angka kematian akibat depresi di dunia semakin tinggi mengingat mobilitas kerja dan sumber tekanan di zaman modern semakin besar pula. Kita semakin sibuk dengan dunia kita sendiri dan membuang perhatian-perhatian yang dirasa tidak diperlukan karena berpikir begitulah sebaiknya dan semestinya dunia berjalan. Kita tidak hanya perang teknologi dan pengetahuan, hari ini, kita perang moralitas.

Sudah saya ikuti berbagai perdebatan mengenai moralitas dalam berbagai forum diskusi langsung maupun tertulis, namun sebenarnya apa yang sejatinya disebut moralitas apabila esensinya saja masih selalu diperdebatkan? Setiap sisi memiliki perspektifnya masing-masing. Namun, saya yakin kita semua akan sepakat bahwa moralitas yang dikatakan menempati urutan tertinggi di masyarakat nyatanya seringkali menjadi alasan untuk menghakimi satu sama lain.

Saya juga beberapa kali menghadapi orang-orang yang mengaku bekerja di bidang psikologi, tak banyak jawaban dari mereka yang berhasil memuaskan saya. Dari sini saya dapat memahami, bahkan untuk seseorang yang menghabiskan pendidikannya untuk memahami ilmu psikologi dan perilaku manusia tidak menjamin seseorang itu akan dapat sepenuhnya mengerti diri mereka sendiri karena tertutupi oleh keyakinan bahwa mereka lebih memahami perilaku manusia lebih dari orang awam yang kelihatannya tidak memahami apapun.

Bukan kemudian saya skeptis terhadap profesional. Saya percaya, satu atau dua pengalaman tidak bisa digeneralisir. Saya berharap kedepannya, hal-hal semacam ini tidak lagi dianggap sepele. Terlebih, sebagai seorang keluarga, sahabat, rekan dan kawan.

--

--