Oh, ternyata! Mahasiswa tengah Fanatik dengan Permainan Klasik bernama Politik

Ulfa Setyaningtyas
Ulfa’s Journal
Published in
4 min readOct 19, 2019

“Suara mahasiswa lantang dibawa aksi, suara hati di bungkam sendiri”-setidaknya begitulah perumpamaan yang cocok untuk diri saya sendiri tiga tahun yang lalu. Dengan dalih membela rakyat di negeri ini-hiyaa hiyaa, saya turun ke jalan untuk beraksi (baca:berdemo).

Membawa embel-embel ‘aktivis mahasiswa’ dan organisasi saya yang tercinta, saya ikut menyuarakan atau setidaknya mendukung aksi mahasiswa yang mereka bilang ‘demi keadilan’, meski sebagian besarnya saya cuma ikut mendokumentasikan.

Tiga tahun lalu, saya ini termasuk rajin mengikuti khotbah-khotbah sesepuh aktivis kampus untuk sekedar mendengarkan quote-quote inspiratif tentang generasi muda yang (dianggap) sejati. Saya masih ingat, tiga tahun yang lalu, salah seorang dosen saya pernah bertanya “Mahasiswa sekarang itu tidur atau bagaimana?”.

Pertanyaan itu terus menerus melayang-layang di dalam pikiran saya, ketika saya mau tidur, bangun tidur, mau makan, bahkan ketika panggilan alam datang pun saya masih memikirkannya, apalagi saat-saat ketika saya mau berkencan-gini gini saya jomblo tapi tidak sendirian, ada me, myself, and I (baca: me time)- ya pokoknya pertanyaan itu tak habis-habis saya cerna.

Bukan karena saya tidak faham soal intisarinya, saya justru mempertanyakan suara hati saya sendiri-apa yang sebenarnya saya perjuangkan. Ucapan seorang dosen yang sepengetahuan saya juga seorang mantan aktivis mahasiswa yang pernah berjaya pada masanya- itu loh, masa-masa di mana upaya pelengseran Mbah Soeharto lagi gencar-gencarnya- menjadi teman baru dalam keseharian saya.

Saya mempertanyakan, “apakah kepekaan dan kepedulian seorang mahasiswa terhadap negerinya sendiri itu hanya diukur dengan tolak ukur rajin ikut demo atau tidak? Emang harus ya? Terus belum bisa dianggap aktivis kalau belum pernah ikut aksi?”. Pertanyaan-pertanyaan dangkal seperti itu kerap kali timbul tenggelam dalam pikiran saya yang tanpa itu saja sudah sangat kacau-hidup itu berat, nak. Jujur, tapi waktu itu saya belum bisa jujur, zaman sudah jauh sangat berubah.

Lalu seseorang yang lain berkata “Cobalah isi waktumu dengan sesuatu yang lebih produktif, perjuangan yang lebih terarah dan realistis, lalu kamu bisa melawan manusia-manusia tuna-hati dan tuna-nurani itu dengan cara yang lebih cerdas-orang itu adalah saya sendiri-hahaha-bukannya ber-’aksi’ itu berarti bodoh, karena kalau begitu saya termasuk golongan makhluk-makhluk bodoh itu dong.

Sudut pandang yang telah melekat menyatu identitas saya tidak serta merta roboh begitu saja. Terbukti, saya secara pasif terlibat dalam beberapa aksi demo, lagi-lagi akibat prinsip loyalitas tanpa batas dalam organisasi saya.

Tulisan ini bukan bermaksud mengajak kalian melupakan ‘aksi’, karena nyatanya hal itu penting. Terbukti, teman-teman yang dahulu berjuang secara totalitas dalam dunia keaktivis-an-nya, sekarang menjadi politisi-politisi muda yang handal-ngomongnya. Memang ada beberapa yang gagal kurang begitu beruntung. Jadi, aktivis itu tidak harus banyak ber-aksi kok, untuk menjadi generasi muda yang produktif tidak harus selalu berdemo kok untuk membela rakyatnya mengatasnamakan keadilan.

Kamu bisa melakukan sesuatu dengan caramu sendiri, kecuali jika kamu tertarik menjadi seorang politisi, soal itu kembali ke pilihan masing-masing. Mereka (para politisi itu) banyak lahir dan berkembang dari aktivis yang rajin menyuarakan aksi dan senang bernegosiasi (baca:berdebat). Yup, tapi ingat, menjadi aktivis tidak harus selalu anarkis- hiyaa hiyaa satu lagu quotes dari saya.

Hal lain yang saya pelajari dari rajin membudakkan diri di dalam sebuah organisasi adalah permainan politik kampus yang saya rasa sebagai panggung replika mini dari aslinya cukup kenthir juga ya. Bagaimana tidak, sistem mengajarkan mahasiswa untuk sedikit berkorupsi, sedikit bermain manipulasi, dan membuat kehidupan kampus semakin terpolarisasi (keberpihakan mahasiswa). Tapi, seperti itulah politik, manis-manis bengis.

Dulu saya sempat mendapat bisikan-bisikan iblis dan malaikat untuk bergabung dengan ajakan saudara-saudara saya ke dalam organisasi pergerakan mereka. Saya menyebutnya organisasi Laskah Merah dan Laskar Hijau. Mereka ini biasanya menjadi pelopor yang memiliki pengaruh luar biasa bagi anggotanya dan jalannya politik kampus secara keseluruhan.

Saya pribadi tidak ingin terdikte dengan doktrin manapun sehingga saya lebih memilih untuk bersikap netral terhadap kedua organisasi pergerakan terbesar di kampus saya tersebut. Tapi, apa iya kita bisa benar-benar bersikap netral? Kenyataannya tidak semudah itu, Ferguso. Alasannya banyak, godaannya apalagi. Terbukti ketika pemilu raya kampus saya terpaksa harus berpihak di salah satu organisasi pergerakan itu.

Perlu diketahui bahwa laskar hijau adalah bagian dari masa lalu (organisasi) saya dan laskar merah adalah bagian dari masa depan saya (tapi kayaknya jodoh saya tidak berasal dari zaman ini). Masalah adalah: saya belum bisa move on dari doi yang berasal dari masa lalu saya (baca: itu benar tapi saya bercanda). Saya memihak si doi karena memang kualifikasi si doi ini saya anggap sangat mumpuni.

Alhasil, saya berpihak pada laskar hijau dan tentu saja mengecewakan laskar merah-ya untung-untung tidak dianggap pengkhianat-lah wong saya bukan bagian dari mereka kok, hanya saja karena mereka adalah petinggi di balik partai berkuasa yang menyetir organisasi saya ketika itu. Jadi, yang perlu kita garis bawahi di sini adalah ketika kita sudah memutuskan untuk masuk dan terlanjur terjerat dalam suatu rantai politik, kenetralan bukan lagi sesuatu bisa kita temukan.

Organisasi-organisasi kampus disetir oleh orang-orang yang tentunya merupakan hamba setia dari organisasi raksasa dibelakangnya yang menyamarkan diri menjadi organisasi independen ‘katanya’, atau memang, yang kemudian mencari dominasi via organisasi yang disebut eksekutif atau legislatif kampus itu. Contoh kecil dari panggung politik yang sesungguhnya. Kalau saya bilang, polos polos jenaka penuh dosa. Hahaa

Saya percaya, setiap orang memiliki sisi idealistiknya masing-masing dan tidak selalu sama, sama seperti perspektif, sama seperti setiap orang memiliki pilihan dan cara mereka sendiri. Inti yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa cara setiap orang untuk mencapai tujuan yang sama tidak selalu sama. Lakukan apa yang memang kita yakini benar adanya, pahami esensi dari setiap perjuangan kita karena kita tidak harus mengikuti cara orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.

Begitulah cerita saya, mantan mahasiswa FISIPOL (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) yang tidak terlalu tertarik dengan permainan klasik bernama politik yang mungkin di titik tertentu dapat menjadikan seseorang fanatik.

--

--