Chapter 8

Yolanda Febriani
Unconditionally
Published in
4 min readJul 27, 2016

Agony

“Aku punya sesuatu untukmu.” Stefan mengambil sesuatu dari kantong celana nya.

It was a necklace.

Kalung itu berwarna emas dengan liontin hati. Bagian tengah dari liontin nya bisa diputar dan tertulis nama ku dan stefan disana.

“This is beautiful. Thank you.” kata ku sebelum mencium pipi nya.

“Nothing as beautiful as you. Oh iya, sudah waktunya kamu minum obat. Sebentar, aku ambilkan minumnya.”

“Tidak apa-apa, aku bisa ambil sendiri. Aku ke dapur dulu. Kamu tunggu saja disini.” Aku mengambil obat kemudian menuju ke dapur.

Saat aku di dapur, aku dengar handphone Stefan berbunyi.

“Siapa yang menelpon? Aunt Brenda?” tanya ku saat kembali dari dapur.

“Dosen ku. Ia bilang bimbingan untuk skripsi ku di majukan jadi lusa karena ia harus ke luar kota. Seharusnya bimbinganku selanjutnya minggu depan.” kata Stefan.

“Yasudah, mau bagaimana lagi? Anggap saja skripsi mu akan jadi lebih cepat selesai.” kata ku.

“Aku jadi harus pulang besok.” kata nya sambil mengelus pipi ku lembut.

“Aku akan datang ke sana saat libur nanti. Sekitar 2 minggu lagi. Dan kita masih bisa video call. Okay?”

“But I don’t want to leave you.”

Ia memelukku erat.

Satu kata sedari tadi muncul di benak ku.

Stay

Tapi aku tahan ego itu. Untuk kebaikannya.

“Mom, aku pulang.”

Stefan ikut mengantar ku sampai di depan pintu rumah. Kemudian Mom keluar dari dapur.

“Ayo Stefan ikut makan malam bersama, Sebentar lagi makanannya siap.” kata Mom

“Tapi.. “ kata Stefan.

“Biasanya kamu tidak pernah malu. Ayo masuk.” kata ku sambil meraih tangannya.

Aku membantu Mom di dapur dan Stefan menunggu di ruang keluarga.

“Dimana Rachel?” tanya Stefan.

“Dikamarnya. Seperti biasa.” kata Mom.

“Rachel!” teriak ku.

“Ada apa Fleu? Tidak perlu berteriak seperti itu pun aku bisa dengar.” jawab Rachel.

“Makan malam sudah siap tuan putri.” kata ku menyindirnya.

Dia tidak menjawab lagi. Sepertinya dia sudah tau aku kesal dengannya. Ia kemudian pergi ke ruang keluarga mengobrol dengan Stefan. Tidak lama kemudian Dad pulang dan kami makan malam bersama.

“That looks new.” kata Mom sambil menunjuk kalung yang kupakai. Mom selalu jadi orang yang paling jeli dalam keluarga ku.

“Ya, Aunt Rosalie. Kalung itu pemberian dari ku.” kata Stefan. “I love her.” tambahnya lagi.

Mom dan Dad saling bertukar pandangan. Kemudian akhirnya Dad berkata, “Kami senang kalian berdua bersama. Lucu juga setelah sekian lama kalian berdua baru menyadarinya.”

“Maksud Dad?” kata ku.

“Kami sudah dewasa dan lebih berpengalaman. Kami berdua sudah menyadarinya dari dulu Fleu.” kata Dad.

“Tapi tidak apa-apa, yang penting sekarang kalian berdua bahagia. Kami ikut senang mendengarnya.” kata Mom.

“Selamat ya! Tolong bantu aku beritahu Fleurette jangan marah-marah terus denganku.” kata Rachel ke Stefan.

“Hey! Aku disini dan aku punya telinga. Aku bisa mendengarnya.” kata ku.

“Sudah, Rachel kan hanya bercanda.” kata Stefan.

“High five!” kata Rachel ke Stefan lagi.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

“Oh iya, besok aku mau mengantar Stefan ke bandara bersama Aunt Brenda. Boleh kan?” kata ku ke Mom dan Dad.

“Bukan kah Stefan baru datang? Cepat sekali sudah harus kembali.” kata Mom.

“Iya Aunt Rosalie, ada bimbingan skripsi yang tidak bisa ditunda.” jawab Stefan.

“Oh, sayang sekali. Iya, tentu boleh Fleu.” kata Mom.

Stefan pulang setengah jam kemudian. Setelah aku selesai mandi aku membalas pesan dari Stefan.

Besok aku akan jemput ke rumah mu jam 9 pagi.

Berat rasanya membayangkan hari esok.

Okay. I’ll see you tomorrow. Good night.

Ia membalas lagi,

I’ll see you in my dream. Good night.

Kami sudah tiba di bandara sejak satu jam yang lalu. Stefan sudah memberi tahu Aunt Brenda tentang hubungan kami berdua dan ia sangat senang mendengarnya. Ia bahkan memfoto kami berdua dari handphone nya.

“Serasi sekali. Aku benar-benar senang kalian bersama, sayang.” kata Aunt Brenda sambil memeluk ku.

“Aku juga.” kata ku pelan.

“Pesawatku boarding 15 menit lagi. Aku harus pergi.” kata Stefan.

Aunt Brenda kemudian memeluk Stefan, mata nya berkaca-kaca. Stefan anaknya satu-satunya dan ia cukup jarang pulang. Pasti ia kesepian.

“Take care, my son. I love you.” kata Aunt Brenda

Stefan lalu memeluk ku. Ingin rasanya aku tidak melepas pelukannya.

“I’ll take care of your Mom. I’ll see you soon.” kata ku pada akhirnya.

“Thank you. Take care of yourself while I’m gone. Okay? I’ll see you soon. I love you so much.” Ia mencium dahi ku sebelum akhirnya pergi.

Aku diantar pulang oleh Aunt Brenda. Ia sempat mengobrol sebentar dengan Mom sebelum Mom pergi ke toko kue. Aku mengecek jam. 45 menit lagi pesawat Stefan akan landing. Aku menyalakan tv sambil menunggu waktu.

Kebetulan channel yang pertama muncul adalah channel berita. Aku tidak menggantinya karena sudah lama aku tidak menonton berita. Tidak terasa, sebentar lagi pemilihan presiden baru akan dilaksanakan. Banyak berita tentang kedua kandidat yang belum aku ketahui. Nanti aku akan cari di internet. Aku harus menjadi masayarakat yang kritis, bukan?

Berita kemudian berganti.

1 menit setelahnya begitu menyakitkan.

Menurut berita, sebuah pesawat hilang kontak dengan pihak bandara sejak setengah jam yang lalu.

Tangisku pecah. Tidak ada siapa-siapa dirumah. Aku menangis dan menangis. Kemudian aku menelpon Mom.

“Mom. Bisakah Mom pulang sekarang?” kataku di telepon. Masih menangis.

“Ada apa Fleu? Kamu sakit lagi?” tanya Mom.

“Just come home, please. .” kata ku kemudian menutup telepon.

“Fleurette!” Mom sudah ada di depan pintu.

Aku membuka pintu. Mata ku sembab. Air mata ku mengalir kembali saat melihat Mom. Aku tidak berkata apa-apa. Aku meraih tangan Mom. Berita di televisi belum berganti karena masih terus ditayangkan perkembangannya. Disitu tertulis:

Pesawat menuju Massachusetts.

Mom mengerti. Ia memelukku.

“Aunt Brenda.” kata ku. “Aku harus mengabari Aunt Brenda. Mom, tolong antarkan aku ke rumah Stefan.” kata ku lagi.

Mom juga tidak akan mengizinkan ku menyetir dalam kondisi seperti ini. Kami berdua pergi ke rumah Aunt Brenda bersama-sama.

Sesampainya kami di sana, Aunt Brenda masih baik-baik saja. Ia belum menyalakan televisi nya.

“Ada apa Fleu? Apa kamu habis menangis?“ tanya Aunt Brenda.

Aku hampir menangis lagi.

“Stefan.” jawabku.

“Ini tentang Stefan.” Mom melanjutkan.

“Pesawatnya. Pesawat yang ditumpangi Stefan hilang kontak dengan pihak bandara.” kata Mom lagi.

Aunt Brenda terpaku. “Darimana.." ujarnya.

Ia menyalakan televisi dan mengganti channel nya. Ia berhenti mengganti pada channel berita dengan sebuah tag line: Kecelakaan Pesawat.

--

--

Yolanda Febriani
Unconditionally

She falls in love with words so deeply that somehow she drowns in the beauty of them