Breakthrough / Urbs, Tempus et Fabula
A City Without Old Building Is Like a Man Without Memory
Sebuah Perspektif
Pernahkah kalian merasa berada di dalam lintasan waktu di salah satu sudut kota? Seakan-akan kita terbawa kedalam suatu suasana yang sangat intim, kemudian terbawa ke dalam labirin lorong waktu yang panjang, lalu merasakan berbagai macam cerita yang telah terjadi.
The Question: Kok kita bisa ngerasain atmosfir-atmosfir kaya gitu ya?
Atmosfir-atmosfir itu (merasakan berbagai macam cerita) tercipta dari susunan lanskap bangunan/site dan dari tiap bentuk fasad bangunan, bentuk pintu, hingga jendela. Dalam ilmu arsitektur dan urban planning biasanya disebut dengan Citra Kota. Kevin Lynch (1960)[1], dalam bukunya The Image of City, mengamati bagaimana orang-orang membayangkan dan menggambarkan bentuk peta imajinasi mereka terhadap 3 kota berbeda di Amerika (US). Dari penelitian tersebut, Kevin Lynch mencoba memahami bagaimana manusia menangkap dan membayangkan sebuah kota. Hal tersebut menjadi dasar apa yang disebut sebagai Citra Kota, bahwa kemampuan/karakteristik dari suatu kawasan/kota, dapat dikenali/dibayangkan sebagai bentuk yang berbeda dari kawasan/kota yang lain.
Dalam bukunya, Kevin Lynch menyatakan bahwa ada 2 kualifikasi yang harus dipenuhi untuk mendapatkan Kawasan/kota yang berkesan, yaitu legibility dan imageability:
— Legibility (n)
‘The ease with which its parts can be recognised and can be organised into a coherent pattern’— Imagenability (n)
‘That quality in an object which gives it a high probability of evoking a strong image in’ the observer’
yang artinya, suatu kawasan/kota dapat dikenali/dibedakan dengan ciri/corak yang nyata. Serta dapat juga memacu bayangan/memori yang kuat akan tempat/Kawasan tersebut. Hubungan antara tempat dan memori itu tergambarkan dari film 5 Centimeters per Second [秒速5センチメートル], disaat Takaki-kun menunggu kereta lewat di perlintasan kereta berlatarkan bunga sakura yang berguguran dimana momen tersebut membangkitkan memori masa lalu akan janjinya dengan Akari.
Dari 2 kualifikasi itu udah keliatan kan ya, Citra Kota itu yang gimana. Bagian/kawasan di kota yang punya karakteristik berbeda dari yang lain sehingga dapat dikenali dan dibayangkan dengan mudah suasana dan bentuknya. Semakin kuat legibility dan imagenability faktor maka semakin mudah seseorang untuk mengingat dan membayangkan citra dari kota di dalam memori kognitif mereka. Kevin Lynch di bukunya juga menulis, aspek-aspek apa aja yang dapat membentuk legibility dan imageability dan dapat mempengaruhi alam bawah sadar kita untuk dengan mudah mengenali dan membayangkan kawasan/kota yang berkesan dalam aspek fisik. Aspek fisik itu terbagi jadi 5, yaitu:
- Paths: merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan untuk melakukan pergerakan secara umum. Biasanya berupa jalan setapak, jalan transit, jalan utama, lintasan kereta api, dan sungai;
- Edges: merupakan elemen linier yang tidak dipakai sebagai ‘Path’. Edge ini merupakan batasan antara 2 kawasan, sehingga menunjukkan batas dimana kawasan tersebut. Biasanya berupa batas sungai, tembok, jalan yang memisahkan 2 kawasan;
- Nodes: merupakan titik bertemunya pusat pertemuan antara kegiatan manusia dan dapat merubah arah kegiatan yang ada di dalam kawasan tersebut. Biasanya berupa stasiun, persimpangan, taman, pasar, dan kawasan dengan bermacam-macam kegiatan;
- District: satu area dimana terdapat keseragaman karakteristik, dimana karakteristiknya bisa berbagai macam jenis dan bentuk. Biasanya bisa suatu area dengan pola/corak bangunan tertentu, penggunaan lahan tertentu, kebudayaan tertentu;
- Landmark: merupakan titik referensi, dimana titik tersebut mudah diidentifikasi, memiliki bentuk yang jelas, kontras dengan latar belakang kawasan, dan biasanya ‘stick out like a sore thumb’ yang punya unique memorable. Landmark bisa berupa bangunan, patung/arca, pohon.
Selain dari 5 elemen fisik tersebut, legibility dan imageability bisa terbentuk juga dari hal-hal non fisik seperti aktivitas kehidupan berkota yang sudah menjadi kebiasaan berulang yang telah terpatri di kawasan tersebut. Kebiasaan berulang tersebut menjadi memori bersama masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Memori ini sangat erat hubungannya dengan pengalaman kolektif. Menurut Lynch juga, memori itu mengikat sekelompok orang secara bersama-sama. Ia mengisi kembali kesamaan mereka dengan mengacu pada ruang fisik dan kejadian sebelumnya yang seringkali merupakan momen pendirian dari identitas kolektif (Citra Kota). Menurut Maurice Halbwachs yang kemudian dikutip oleh Mark Crinson di bukunya Urban Memory [2].
‘Memori sangat erat hubungannya dengan pengalaman kolektif. Menurutnya memori itu mengikat sekelompok orang bersama sama, mengisi kembali kesamaan mereka dengan mengacu pada ruang fisik dan kejadian sebelumnya, yang seringkali merupakan momen pendirian dari identitas kolektif itu’
Dari apa yang ditulis Crinson, terdapat keterhubungan antara place dan memory, yakni memori kolektif dapat muncul di sebuah tempat yang didasari kejadian apa sebelumnya disana dan juga subjeknya adalah orang-orang yang mempunyai kesamaan akan kejadian dan tempat tersebut. Kesamaan tadi akan membuat sebuah citra bersama yang kemudian akan mempengaruhi dan merubah Citra Kota. Hubungan itu tidak terjadi dalam satu arah, hubungan tersebut terjadi secara dua arah, yang mana bukan hanya kawasan yang terpengaruh oleh kelompok orang. Tapi kelompok orang tadi yang juga akan beradaptasi terhadap kawasannya.
Dari penjelasan di atas udah kebayang belum Citra Kota? kalo masih belum terbayang kalian pernah denger lagu:
‘Rek ayo rek mlaku mlaku ning Tunjungan,
Ayo rame-rame bebarengan’
Itu tadi sepenggal lirik dari lagu Rek Ayo Rek ciptaan dari Alm. Is Haryanto yang dipopulerkan oleh Alm. Didi Kempot. Lagu itu bercerita tentang Jl. Tunjungan yang pada masa jayanya yang menjadi pusat kesibukan di Surabaya.
Namun pada periode tahun 2000-an, pamor Jl. Tunjungan kalah populernya dengan pusat perbelanjaan modern karena bergesernya kebiasaan berbelanja masyarakat yang awalnya window shopping di jalan menjadi window shopping di pusat perbelanjaan. Hingga akhirnya pada tahun 2015 [3], mulai bangkit kembali melalui gerakan bersama antara masyarakat dan pemerintah berupa perbaikan infrastruktur dan mulai menyuntikan aktivitas di kawasan Jl. Tunjungan. Kini, area Tunjungan masih lekat sebagai pusat niaga di siang hari namun berkembang menjadi tempat ‘nongkrong’ pada malam hari. Fenomena itu bisa kita rasakan jika berjalan-jalan atau sekedar shopping/makan di kawasan Jalan Tunjungan pada malam hari. Merasakan vibes ’60-an yang ramai dengan hingar-bingar lampu warna-warni sambil melihat-lihat restoran bergayakan Retro dengan kaca lebar dan gemerlap lampu neon merah-biru memenuhi pandangan.
Dengan kembali hidupnya kawasan Tunjungan dari mati suri selama beberapa tahun. Generasi yang lahir di tahun 2000-an bisa merasakan ramainya tunjungan yang diceritakan kembali dari lagu ‘Rek Ayo Rek’. Bukan hanya romantisme kawasan Tunjungan menjadi pusat kesibukan kembali, namun Citra Kawasan yang dapat menaikan taraf ekonomi bagi masyarakat Surabaya dan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan Tunjungan.
Baca juga tulisan tentang Jalan Tunjungan oleh Ananta Tama Krisetya berjudul Street as Public Space: Undertaking Tunjungan Street in Surabaya to Become a Public Space.
Pasar Gedhe, Kota Solo
Kalo masih belum terbayang, pernahkah anda merasakan rasa penasaran untuk menjelajahi suatu tempat dikarenakan excitement yang tak terbendung yang muncul dari atmosfir tempat tesebut. Kalau nggak pernah, penulis pernah kok merasakan itu. Rasa itu muncul ketika penulis mengunjungi Pasar Gede Harjonagoro di Kota Surakarta atau lebih dikenal sebagai Kota Solo. Pasar Gede berdiri dari lahan milik seorang Tionghoa yang dibeli oleh Sunan dan selesai dibangun pada tahun 1930. Pasar Gede ditujukan sebagai pasar induk untuk berbelanja kebutuhan pokok dan kuliner di kawasan tersebut. Karena sebelumnya, bangunan Pasar Gede di kawasan tersebut sudah menjadi pusat niaga etnis Tionghoa yang ada di Kota Solo [4].
Dalam perkembangannya, Pasar Gede pernah terbakar selama 2 kali. Pertama terjadi ketika agresi militer Belanda pada tahun 1947 dan yang kedua disebabkan oleh amukan masa pendukung partai banteng yang kalah pada pemilu tahun 1999. Setelah renovasi tahun 2001, Pasar Gede hidup kembali dengan komoditas yang dijual di dalamnya lebih bervariasi. Pasar sisi barat yang terpisah dari bangunan utama digunakan sebagai pasar untuk menjual ikan. Sementar pasar utamanya masih digunakan untuk berjualan barang kebutuhan pokok dan kuliner. Akibat keberagaman komoditas yang dijual di Pasar Gede berdampak baik bagi Kota Solo tersebut, karena Pasar Gede menjadi pusat kesibukan untuk berbelanja hobi dan kebutuhan pokok.
Tahun 2013 Pemerintah Kota Solo dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun 2011–2031 ingin menjadikan Kawasan Pasar Gede sebagai salah satu Tourist Attraction di Kota Solo dengan cara merevitaliasasi kawasan cagar budaya sebagai pusat kegiatan pariwisata, sejarah, budaya, dan perdagangan. Dalam prakteknya, Pemerintah Kota Solo memindahkan penjual ikan hias dari Pasar Gede sisi Barat ke Pasar Depok di kawasan Balekambang, dan menjadikan Pasar Gede sisi barat sebagai tempat berjualan oleh-oleh dan kuliner. Setelah itu, dilakukan revitalisasi kawasan Pasar Gede termasuk bangunannya yang dimulai tahun 2015 hingga 2016.
Namun upaya revitalisasi kawasan tersebut tidak membuahkan hasil secara instan. Walaupun kawasan dan bangunan sudah menjadi lebih baik, tetapi orang-orang masih enggan untuk menghabiskan waktu di bangunan Pasar Gede sisi Barat lantai 2, yang seharusnya menjadi pusat kuliner. Terasa kontradiksi yang sangat kental ketika kita mengunjungi Pasar Gede, dimana sisi Timur terasa lebih hidup sedangkan di sisi Barat terasa mati pasca revitalisasi.
Padahal, pasca revitalisasi, masing-masing bangunan di Pasar Gede memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi pusat kegiatan pariwisata, sejarah, budaya, dan perdagangan. Potensi tadi yaitu berupa sudah kuatnya Citra Kota kawasan Pasar Gede sebagai pusat niaga,dan sebagai kawasan bersejarah yang masih relevan di Kota Solo. Kemudian, dengan perbaikan trotoar — dikembalikan fungsi trotoar sebagai area pejalan kaki bukan sebagai area berjualan — berhasil meng-enhance ruang pandang kita menjadi lebih luas, kita bisa melihat suasana jalan dan keramaian di Pasar Gede dari arah balkon bangunan sisi barat Pasar., begitupula sebaliknya. Kita bisa melihat keindahan bangunan Pasar Gede pasca revitalisasi secara utuh hanya dengan berjalan kaki.
Hingga tahun 2018 potensi Gedhe Pasar Gede belum teroptimalkan. Sampai pada tahun 2019 masuknya tenant — tenant unik yang berhasil mengendus potensi-potensi tersebut. Potensi tadi menarik generasi muda untuk mau nongkrong di pasar dan sekaligus mematahkan stigma pasar sebagai kawasan yang kumuh dan hanya digunakan sebagai tempat perdagangan.
Contohnya, ada salah satu tenant yang menjual menu makanan Western yang identik dengan suasana yang Classy namun dijajakan di pasar tradisional dan berhasil melakukan Juxtaposition — ‘the act or an instance of placing two or more things side by side often to compare or contrast or to create an interesting effect’. Hal ini menjadi satu pengalaman baru di Pasar Gedhe yang menarik orang untuk datang ke “Pasar.” Dengan hadirnya tenant-tenant tersebut berhasil menstimulasi perkembangan Pasar Gede menjadi ramai hingga saat ini. Sehingga jika kita berkunjung ke kawasan Pasar Gede hari ini, kita bisa melihat orang-orang yang sedang makan di balkon dan di kios pinggir jalan yang kemudian memicu rasa penasaran kita untuk mencoba berbagai ragam kuliner yang ada di sana. Mulai dari kuliner legendaris seperti dawet, lenjongan dan babi pincuk, hingga makanan yang ada di belahan bumi bagian barat yang dapat dinikmati di bangunan Pasar Gede sisi Barat.
Pasar Gede adalah sebuah contoh keberhasilan bagaimana Pemerintah dan Masyarakat berkolaborasi dalam menjaga dan memaksimalkan Citra Kota suatu kawasan yang dapat menunjang kegiatan ekonomi kawasan tersebut.
Menemukan Jatidiri Kota
Membangun Citra Kota juga bisa sebagai alat untuk membentuk Identitas suatu Kota/Kawasan. Dapat pula menambah nilai jual kawasan. Citra Kota juga dapat menjadi alat untuk melestarikan warisan budaya (heritage) kita supaya tidak hilang termakan jaman, right?
Jaman selalu berubah, civilization keep improving, tapi kita gak boleh dong lupa dengan sejarah yang kita punya. Citra Kota kadang-kadang bisa tumbuh tanpa direncanakan, berakar dari kebudayaan dan interaksi antara manusia yang ada di dalam kawasannya, ataupun bisa dibuat dengan rekayasa spasial. Untuk Citra Kota yang tumbuh dari perjalanan waktu yang panjang, hal tersebut dapat dikatakan menjadi IDENTITAS KOTA, tapi topik itu kita bahas dilain waktu~
Gimana? Merasakan atmosfir-atmosfir yang berbeda ketika kita bermain ke tiap-tiap sudut kota itu asik bukan? Coba kita tengok kembali di kota kita masing-masing apakah ada spot-spot tertentu yang memberikan perasaan yang menggugah dalam diri kita?
Nah waktunya kita mulai kembali menjelajahi lebih dalam kota tempat kita tinggal, siapa tau kita bisa menemukan tempat dengan atmosfir yang unik dan semakin membuat kita lebih mencintai kota kita berada saat ini bukan? Sekali lagi itu pentingnya kita membangun Citra Kota di dalam Kota/Kawasan, sehingga kita bisa membangun rasa memiliki dan rasa penasaran kepada orang-orang yang tinggal di kota/kawasan tersebut. Cause the experiences of those feelings makes life more lively and colorful no?
Written by: Cornelius Catra - Irfan Al Mujaddidi
Editor : Sege
Reference:
[1] Kevin Lynch (1960) “The Image of City”
[2] Mark Crinson (2005) “Urban Memory: History and Amnesia in the Modern City”
[3] (https://swa.co.id/swa/trends/marketing/tunjungan-art-2015-cara-risma-hidupkan-jalan-tunjungan)
[4] (https://keadilan.net/pasar-gede-kota-solo-dibangun-arsitek-belanda-diresmikan-pakubowono-x-begini-sejarahnya/)
[5] ‘Manchester Urban Design LAB (2020) ‘MUD-Lab Toolkit: Legibility Analysis’
[6] https://travel.indozone.id/news/951271143/suasana-malam-hari-di-jalan-tunjungan-surabaya-syahdu-banget-serasa-di-era-oma-opa