DIA… Alasan dibalik Indomaret dan Alfamart

Nurul Selen Azizah ASP
Urban Reason
Published in
4 min readJun 22, 2018

Quick Fact #7

“Kalau kamu jadi indomaret aku rela kok jadi alfamart biar kita selalu deket~”

Keberadaan minimarket sudah tidak dapat lagi dihindari pesonanya. Minimarket memungkinkan masyarakat untuk membeli kebutuhan sehari hari dari pangan sampai sandang, ya memang sejauh ini minimarket belum bisa memuaskan konsumen dalam bidang papan. Keberadaan minimarket yang dapat menjangkau pelosok pelosok Kecamatan ini menjadikannya sebagai primadona ritel di desa desa. Saya akan menyebut minimarket sebagai ‘mall desa’ saya pikir tidak berlebihan mengingat kelengkapan produk yang ditawarkan. Membahas soal minimarket pasti tak luput dari indomaret dan alfamart, saya yakin pembaca disini sudah merasakan bagaimana sensasi berbelanja di kedua minimarket tersebut.

Tapi lebih dari itu, apakah pembaca menyadari jika letak kedua minimarket itu selalu berdekatan, entah berseberangan atau bersebelahan.

Dan yang paling menarik adalah tidak ada salah satu dari keduanya yang mau mengalah untuk pindah lokasi.

Bukankah jika letaknya berdekatan akan membuat persaingan diantara keduanya?

Ternyata secara jelas fenomena ini dijabarkan oleh Harold Hotelling (1895–1973) yang dikenal dengan teori Hotelling. Teori ini menjelaskan bahwa produsen dalam memilih lokasi industri akan berperilaku untuk menguasai market area seluas-luasnya yang dipengaruhi oleh perilaku konsumen dan keputusan berlokasi produsen lainnya. Teori ini muncul sebagai kelemahan teori lokasi yang mengasumsikan bahwa karakter demand dalam suatu ruang (space) adalah seragam serta teori ini sebagai pengembangan dari konsep “least-cost location” dengan mempertimbangkan “ketergantungan lokasi”. Ada dua kondisi yang dijabarkan dalam teori ini, kondisi pertama adalah kondisi dimana perubahan persentase jumlah barang dan jasa lebih kecil daripada perubahan persentase harga (inelastic demand). Pada kondisi ini dijelaskan apabila ritel A pertama kali memasuki pasar lalu disusul oleh industri B yang berkompetisi satu sama lain. Kondisi kedua dijelaskan bahwa kedua ritel berkolusi untuk memonopoli pasar yaitu pada kondisi elastic demand.

Untuk lebih jelasnya dapat dianalogikan seperti ini:

Sebut saja ada dua mamang penjual angsle di suatu lapangan (anggap lapangan memanjang dari utara ke selatan). Mamang penjual angsle pertama selanjutnya akan kita misalkan sebagai angsle A sedangkan mamang penjual angsle kedua kita misalkan sebagai angsle B.

Angsle A berjualan terlebih dahulu di lapangan anggap saja belum ada pesaing angsle lainnya. Lalu dimanakah si mamang akan menempatkan gerobak angselnya?

Untuk memperluas pangsa pasar angsle A berjualan tepat ditengah tengah lapangan, hal ini karena angsle A akan mendapatkan konsumen dari sisi utara dan selatan lapangan. Masuk akal bukan?

Lalu keesokan harinya penjual angsle lain datang yaitu angsle B. Dengan kondisi barang yang dijual sama persis dengan angsle A yaitu angsle. Hal ini akan memicu kedua pebisnis angsle untuk membagi wilayah pasarnya menjadi setengah setengah dan masing masing penjual berlokasi pada ¼ lapangan. Kondisi ini menjadikan konsumen pada bagian selatan lapangan akan memilih membeli angsle pada A dan konsumen pada bagian utara lapangan akan memilih membeli angsle pada B. Hal ini karena konsumen akan memilih lokasi industri yang dekat dengan keberadaannya.

Lalu bagaimana jika keesokan harinya lokasi angsle B berada di tengah lapangan?

Maka salah satu dari keduanya pasti akan ada yang pangsa pasarnya lebih tinggi dan lebih kecil. Apabila angsle A memutuskan untuk berlokasi di quartil selatan lapangan maka angsle A hanya mendapatkan 25% konsumen dari total lapangan, lalu angsle B mendapatkan 75% dari konsumen total. Maka pangsa pasar angsle B akan lebih luas dari angsle A. Hal ini akan menimbulkan persaingan antar keduanya sehingga angsle A dan B akan berebut lokasi. Untuk mencapai titik equilibrium maka angsle A dan angsle B harus berlokasi tepat di tengah-tengah lapangan dan saling bersebrangan atau bersebelahan. Hal ini adalah titik paling optimum agar kedua pebisnis mendapatkan pasar yang imbang. Lalu selanjutnya angsle A ini harus menciptakan inovasi penjualan agar konsumen yang berada pada jangkauan angsle B dapat berpindah menjadi konsumen angsle A. Inovasi ini dapa inovasi produk yang unik atau penyediaan promo-promo menarik. Yah seperti angsle rasa milo mungkin?

Ilustrasi di atas juga berlaku pada minimarket indomaret dan alfamart, untuk membidik pangsa pasar yang luas maka kedua minimarket ini rela untuk saling berdekatan atau berhadapan. Memang dalam ilmu kapitalis bisnis apabila kompetitor letaknya jauh dari lokasi bisnis anda akan diharapkan membuka peluang besar bagi suatu bisnis agar keuntungan yang didapat semakin besar serta pasar yang didapatkan juga lebih luas, ya karena persaingannya minim. Namun berbeda halnya pada kasus kedua minimarket ini yang berakhir untuk saling “dekat” agar semakin mendapatkan keuntungan yang lebih lagi. Selain alasan mengenai bidikan pangsa pasar tersebut, kedua minimarket ini juga saling bersaing untuk menunjukkan eksistensi masing-masing yah hitung-hitung sebagai bentuk branding. Pasar ritel yang sangat besar juga menjadikan kedua minimarket ini tidak takut untuk saling berbagi ruang sehingga keduanya mengandalkan inovasi seperti promo produk dengan pengurangan harga, hadiah-hadiah dan lain sebagainya. Toh nyatanya keduanya tetap bisa hidup rukun bukan?

Jadi lebih memilih belanja dimana? Terserah anda sih karena ini bukan endorse

#UrbanReason #AlfamartdanIndomaret #Minimarket

(sp/hol)

Referensi :

1. Diktat Analisis Lokasi Keruangan, Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, 2012

2. http://yea-indonesia.com/2013/08/15/5-alasan-mengapa-indomaret-dan-alfamart-selalu-berdekatan/

3. https://www.youtube.com/watch?v=jILgxeNBK_8

--

--

Nurul Selen Azizah ASP
Urban Reason

Bukan Penikmat Kopi tapi penikmat Sherlock | Hello I am ENTJ