Jakarta Walkable City : A Dream, Between Jakarta and Barcelona

Ita
Urban Reason
Published in
4 min readOct 22, 2018

“Reaching for the love that seems so far….”
- Westlife

Siapa yang tak kenal dengan Kota Jakarta? Ibu kota NKRI yang berkembang pesat hingga menjadi sebuah kota pusat perdagangan (ekonomi), pusat pemerintahan (politik), pusat pendidikan, hingga pusat aglomerasi “harapan” perantau mengejar mimpi. Kota yang penuh kenangan. Banyak penduduk indonesia yang berkeinginan menjadi bagian dari pergerakan ekonomi Kota Jakarta. Dampaknya adalah jumlah penduduk Kota Jakarta semakin bertambah hingga berdampak pada peningkatan kebutuhan penunjangnya. Salah satunya kebutuhan “Marga” yang dalam hal ini diwakili komoditi “jumlah kendaraan pribadi”.

Kendaraan pribadi seperti, sepeda motor (74,66 %) dan mobil (18,64 %) mendominasi jumlah kendaraan yang teregistrasi di Kota Jakarta (Statistik Transportasi Kota Jakarta, 2014). Tak heran jika berita kemacetan dan kesemerawutan lalu lintas berlalu lalang mewakili kota ini. Hal ini menunjukkan lebih banyak penduduk yang memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum atau (bahkan) berjalan kaki. Jakarta sepertinya telah berusaha mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi via bus Trans Jakarta. Bus transjakarta sendiri telah didesain untuk saling terintegrasi dengan kendaraan lain atau pusat-pusat kegiatan perkantoran, perdagangan dan jasa, pemerintahan, dll. Dalam websitenya, Transjakarta mempublikasikan Rute Transjakarta melewati stasiun-stasiun seperti St. Tebet, St. Manggarai, St. Pal merah (Pusat-Pusat Keramiaan). Hal ini dimaksudkan agar kendaraan pribadi berkurang dan penduduk kota jakarta dapat mengakses tempat tujuan mereka dengan “hanya” berjalan kaki. Namun apa yang terjadi?. Jakarta masih perlu berusaha menjadikan warganya percaya dengan Transjakarta agar aman, nyaman, dan tepat waktu untuk menarik massa berjalan kaki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Standford University, Indonesia menjadi negara dengan penduduk pejalan kaki perhari sebanyak 3.513 (Harian Kompas, 21/08/17). Hal ini sangat jauh jika dibandingkan dengan Hongkong yang memiliki jumlah pejalan kaki sebanyak 6.880 perhari. Bagaimana bisa berjalan kaki di Jakarta, jika masyarakatnya masih bergantung dengan kendaraan pribadi?.

Disisi lain timbul pertanyaan, “Mengapa penduduk kota Jakarta lebih memilih kendaraan pribadi dari pada berjalan kaki?”. Ya, mungkin mereka merasa “hawa” Kota Jakarta begitu panas, atau trotoar yang ada di renggut PKL, atau malah sedang malas berjalan kaki karena “terbiasa” berkendara?. Kemalasan berjalan kaki bisa jadi disebabkan oleh sarana prasarana yang tidak mendukung, keamanan yang kurang terjamin, hingga keterkaitan antar moda yang kurang. Secara teoritis, penduduk kota akan terdorong berjalan kaki jika syarat-syarat tertentu dapat dipenuhi (konsep walkable city). The vision of the Walk WA: A Walking Strategy for Western Australia (2007 –2020) mengatakan bahwa untuk dapat mendukung terciptanya suatu lingkungan yang walkable, perlu adanya akses yang mudah untuk menuju ruang terbuka dengan berjalan kaki, lingkungan yang memiliki nilai estetika, jaminan rasa aman dan nyaman ketika berjalan pada suatu lingkungan.

Coba anda bayangkan jika Jakarta benar-benar menjadi Walkable City. Berapa banyak energi yang bisa dihemat? Berapa banyak pengeluaran pengguna kendaraan yang dapat dikurangi? Seberapa besar kualitas udara menjadi baik? Seberapa banyak lahan dapat diefisienkan? Dan seberapa besar kemacetan yang dapat dikurangi?. Jika kita melihat beberapa negara maju yang memiliki masalah kemacetan dan populasi/densitas penduduk yang cukup tinggi. Maka salah satu pilihannya adalah…

“Barcelona” de citi. Kota ini dulunya memiliki masalah kemacetan dan lalu lintas. Pada tahun 2009, Barcelona memiliki tingkat kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas sebesar 3,500 ribu jiwa (scielosp.org). Kota ini mengatasi masalah tersebut dengan cara membuat program “Pla de Mobilitat Urbana de Barcelona PMU 2013–2018.” Program ini membentuk beberapa superblok yang memiliki mix use landuse dengan tujuan besar penambahan pedestarian. superblok dibagi menjadi beberapa kawasan dengan kecepatan akses dan jenis kendaraan berbeda. Dalam satu superblok hanya dapat diakses dengan kecepatan 10 Km/jam, kecepatan ini setara dengan kecepatan lari manusia, sehingga kawasan ini akan lebih efektif jika dijangkau dengan bersepeda atau berjalan kaki walau bisa juga diakses dengan mobil pribadi. Dalam superblok tersebut disediakan pula parkir undergroud. Lalu bagaimana kota ini menarik masyarakatnya agar lebih memilih bersepeda atau berjalan kaki dari pada menggunakan mobil?.

Pedestrian di Barcelona juga berfungsi sebagai plaza. Plaza disini adalah tempat berkumpul masyarakat di ruang terbuka, bukan plaza berupa pusat perbelanjaan seperti yang ada di Jakarta. Banyak aktifitas yang dapat dilakukan di pedestarian dan plaza tersebut, seperti pertunjukan akrobatik, kegiatan sosial, dan di samping kanan kirinya dapat digunakan sebagai pasar/tempat perbelanjaan. Jakarta tentu bisa diarahkan untuk memiliki superblok karena di Jakarta sendiri banyak blok-blok komersial dan terpisah antara satu dan yang lain. Dengan adanya superblok Jakarta tentu dapat membantu menjawab masalah densitas, minimnya RTH, Pedestarian, mengurangi polusi udara, pulusi suara, dll. Di Barcelona, keberadaan superblok dapat meningkatkan luas pedestarian yang semula hanya 45% menjadi 74%, 42% polusi Nitrogen Oxide dapat direduksi, menurunkan polusi suara yang tadinya 66,5 dBA menjadi 61 dBA. Dengan demikian orang akan “mau” untuk berjalan kaki. Lalu Bagaimana agar dengan Kota Jakarta bisa demikian?.

Jakarta telah memiliki MRT, Kereta Komuter line, beberapa blok komersial, dan angkutan lainnya, namun Jakarta memiliki kekurangan yakni udara yang panas. Hal ini tentu membuat malas berjalan kaki, sebuah studi menyebutkan bahwa seseorang mau berjalan kaki paling lama 20 menit. Jakarta harusnya mampu “membujuk” masyarakatnya untuk berkendaraan umum dan berjalan kaki dengan cara memperbaiki pedestarian, mengintegrasikan antar moda angkutan, memperbanyak parkir didekat stasiun atau terminal angkutan umum (Pendekatan TOD), memperbaiki kondisi angkutan umum, mengelola superblok yang ada dengan baik, membuat kebijakan lalu lintas, dll. Perbaikan pedestarian dapat dilakukan dengan perluasan pedestarian, penanaman pohon-pohon sebagai peneduh pedestarian, pembebasan pedestarian dari PKL, dan masih banyak solusi lainnya. Dengan demikian pohon-pohon tersebut dapat mengurangi panasnya udara di sepanjang jalur pedestarian.

Akhir kata.
Berjalan kaki di Jakarta merupakan tantangan tersendiri, tak ubahnya dalam mencari penambal lubang di dalam hati. “An empty street, an empty house, A hole inside my heart. I’m all alone, the rooms are getting smaller.” Semakin lama kita “tidak” berjalan kaki, semakin kecil ruang “hak penggunaan” fisik pedestrian bagi pejalan kaki. Di telan Kuda Besi dan dipakai parkir Si Badak Besi. CMIIW~

(ur/blue)

[1] http://jakarta.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Statistik-Transportasi-DKI-Jakarta-2015.pdf, diakses pada 2 September 2017
[2] http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01211-AR%20Bab2001.pdf, diakses pada 2 September 2017
[3] http://properti.kompas.com/read/2017/08/21/174736021/kota-tak-ramah-pejalan-kaki-itu-bernama-jakarta-, diakses pada 2 September 2017
[4] http://transjakarta.co.id/peta-rute/, diakses pada 12 September 2017
[5] https://www.youtube.com/watch?v=ZORzsubQA_M&t=6s , diakses pada 12 September 2017

--

--

Ita
Urban Reason

Interest in Disaster, Urban and Regional Planning Management