Kota dan Kemiskinan

Apakah Perjalanan Perkembangan Kota - Kota Membawa Kemiskinan Itu Sendiri?

A. Zuhdi
Urban Reason
4 min readMay 21, 2018

--

Urban Reason x Rumah Akar

Pada Kamis, 10 Mei 2018 Tim Redaksi Urban Reason berkesempatan mengikuti diskusi bersama Komunitas Rumah Akar di Perpustakaan Kata Masa, Surabaya. Berikut ulasan diskusinya.

Perkembangan Kota ala Mumford dan Kemsikinan

Setidaknya pencetus Teori Urbanic Humanism, Lewis Mumford, menjelaskan perkembangan kota-kota dalam 6 (enam) tahapan:

  1. Eopolis, tahap awal dimana pembentukan kota dimulai, ditunjukkan dengan munculnya perkampungan dan aktivitas utama pemanfaatan SDA.
  2. Polis, tahap dimana munculnya pasar sebagai pusat ekonomi.
  3. Metropolis, tahap dimana terjadi penampakan struktur ruang kota. kota sudah menjangkit daerah sekitarnya dalam bentuk kota satelit.
  4. Megapolis, adalah kota dimana manusianya hanya berorientasi pada materi. Birokrasi buruk dan standarisasi produk yang dipentingkan menjadi ciri tahap ini.
  5. Tiranopolis, tahap awal kehancuran kota. Perdagangan menurun secara signifikan.
  6. Nekropolis, tahap yang dikenal sebagai the city of dead. Ketika kota secara total telah hancur. Dalam diskusi ini akan dibahas perkembangan kota utamanya pada tahap Polis, Metropolis, dan Megalopolis.

Kemiskinan itu apa?

Miskin menurut World Bank adalah ketika seseorang memiliki pendapatan di bawah $1 setiap harinya. Berdasarkan pendapat Suryawati (2004), kemiskinan terbagi menjadi 4 jenis: pertama, Miskin Absolut, dimana seseorang tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar sandang, papan, pangan. Kedua, Miskin Relatif, yaitu kemiskinan karena tidak terjangkau oleh kebijakan atau implementasi program yang tidak mencapai “grass-root”. Ketiga, Miskin Kultural, kondisi ketika seseorang secara sikap tenggelam dalam sifat-sifat kontra produktif. Dan keempat, Miskin Struktural (paling beken, karena sempat saat Kang Didi, Komika SUCI 7, muncul di Televisi), yaitu kondisi kemiskinan yang dikarenakan tidak mendapatkan akses langsung atau terbatasi aksesnya kepada kebutuhan dasar. Jenis keempat ini sering disebut juga “Kaum Marjinal”.

Fenomena 1: Urbanisasi dan Aglomerasi

Urbanisasi merupakan sebuah proses perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pengertian yang terpatri sejak masih belajar IPS di SD. Sementara aglomerasi diartikan sebagai konsentrasi atau terkumpulnya masyarakat/penduduk pada kawasan tertentu. Ketika urbanisasi terjadi maka ia akan menuju pada pusat aglomerasi. Singkatnya begitu. Maka setidaknya 68% Penduduk Indonesia akan Jadi ‘Orang Kota’ di tahun 2025, dan 28% di antaranya akan tinggal di tempat yang tidak layak huni a.k.a. TIDAK terakomodasi dengan baik (karena harus berebut ruang). Hal ini dapat terjadi karena percepatan pertambahan penduduk tidak linier dengan Pertumbuhan pembangunannya.

Fenomena 2: Gentrifikasi dan Konurbasi

Gentrifikasi dapat diartikan sebagai fenomena tergeser/tergantikannya masyarakat berpenghasilan lebih rendah oleh masyarakat berpenghasilan yang lebih tinggi karena terjadi pembangunan atau konsentrasi tertentu (Mall, Jalan, atau pusat kegiatan/pasar lainnya) pada suatu kawasan. Kondisi ini mengakibatkan perpindahan penduduk yang tidak mampu menahan desakan modal di tengah kota sehingga mereka harus bergeser ke daerah luar kota. Tergesernya masyarakat ke daerah luar membentuk kawasan yang berciri kota. Daerah inilah yang dimaksud dengan daerah konurbasi atau daerah luar administrasi kota yang masih terpengaruh ciri-ciri perkotaan intinya. Hal ini yang disebut Mumford sebagai fase Metropolis. Sehingga gentrifikasi dapat dikaitkan sebagai salah satu fenomena pembentuk konurbasi itu sendiri.

Baca juga: How Gentrification Should Really be Seen in Public

Marjinal Tidak Selalu Miskin

Jika merujuk jenis kemiskinan oleh Suryawati di atas maka perkembangan kota itu sendiri pada hakikatnya bertujuan untuk kepentingan bersama sebagai umat manusia yang mendiami kawasan tertentu atau dalam bahasa kerennya “kemaslahatan bersama.” Perkembangan kota sebagai sistem buatan manusia memang tidak pernah sempurna dan akan menghasilkan residu sistem yang berdampak pada orang-orang “tak terjangkau” atau masyarakat marjinal. Kemudian pertanyannya “Siapa yang akan mengakomodasi Orang Marjinal ini? Untuk segala kebutuhan hidup mereka?”

Ialah “Sektor Informal Kota” yang menjadi pahlawan kesiangan. Sederhananya, sektor informal adalah Pedagang Kaki Lima (PKL) dipinggir jalan atau sekitar trotoar, Pembantu Rumah Tangga (PRT) perumahan elite, Pejuang Rombeng, dan bahkan “Mitra” Ojol. Sektor informal sendiri dapat didefinisikan sebagai segala macam kegiatan yang “Unregistered, Unorganized, and Unregulated.” Sehingga mereka mampu menjadi safety-belt bagi masyarakat yang secara realita hitung-hitungan tidak masuk dalam jangkauan pelayanan perkotaan.

Orang marjinal juga merujuk pada mereka yang tinggal pada kawasan slum and squatter entah karena keadaan kumuh tak tersentuh infrastruktur maupun memang mendirikan rumah pada area yang tidak secara legal dimiliki. Hal ini menunjukkan orang marjinal sebagai kelompok masyarakat yang tidak selalu berada di bawah garis kemiskinan. Tak jarang pekerja sektor informal PKL Nasi Goreng misalnya memiliki banyak cabang gerobak di penjuru kota. Mereka tidak miskin, tapi tak terjangkau pelayanan fasilitas dari kota itu sendiri. Sehingga pada akhirnya Perkembangan kota tidak dapat memicu pada kemiskinan secara langsung. Namun pada beberapa sektor, mereka yang tidak terjangkau pelayanan tertentu, memiliki kecenderungan untuk membawa kemiskinan.

Arahan Perkembangan Kota Dunia

Melalui Agenda Global 2030 yang tertuang dalam Sustainable Development Goal’s (SDG’s), poin pertama berbunyi “No Poverty, End Poverty in all its form everywhere”. Maka sudah begitu nyata dan diakui dunia bahwa kemiskinan adalah musuh bersama kita, warga dunia. Sementara dalam proses penerjemahan guideline ini ke dalam ruang lingkup yang lebih kecil dari Global Guideline, Regional, National, hingga Local adalah masalah tersendiri bagi kota-kota dunia. Sehingga wajar apabila implementasinya bervariasi di masing-masing daerah. Apalagi Indonesia.

Presentasi Diskusi Dapat Dilihat di:

https://intip.in/urdiscuss

Referensi:

[1] Lewis Mumford — History of Cities
[2] Suryawati — Jenis-Jenis Kemiskinan
[3] BPS Jatim — Tingkat Kemsikinan (GKN)
[4] https://sustainabledevelopment.un.org/sdg1

--

--