Recycle

Shopping Daring Berkembang, Mal Menghilang, Apa Kabar Tata Ruang?

dari luring ke daring

Nurul Selen Azizah ASP
Urban Reason

--

Kentaro Toma via Unsplash

Online shopping makes everything so much easier — it’s a bad habit of mine
-Barbara Palvin

Di jaman now ini, jika bicara shopping pasti tak akan lepas dari kata daring — online. Generasi millenials yang malas gerak akan lebih suka dengan shopping dari atas kasur sambil mendengarkan lagu indie sembari scrolling menatap layar HP. Boom! ajaibnya barang yang dipesan akan muncul dibawa oleh kurir pengantar langsung ke rumah. Berbelanja daring memang terlalu menggiurkan untuk tidak dilakukan. Anda tak perlu pergi jauh-jauh, gunakan gawai, bayar dengan uang elektronik dan voila! barang sudah sampai.

Ronny Chieng, dalam salah satu acara komedi bertajuk “Asian Comedian Destroy America” mencoba mengkritisi prilaku yang sudah mewabah secara global ini dengan kalimat “Never leave your house. No item too trivial, no quantity too small to hand delivered into your house like an emperor. Anything!” Begitulah kenyataan yang menggelikan terjadi di tengah kita.

Jika anda memilih berbelanja offline, perlu adanya biaya tambahan untuk biaya transportasi, biaya parkir dan biaya tenaga. Saat ini bisnis ritel offline juga sedang dalam kondisi menurun dengan drastis. Buktinya, banyak bisnis ritel yang terpaksa untuk menutup gerai-gerai di kota-kota besar karena keuntungan yang didapat sudah tidak sebanding dengan biaya perawatan mal atau toko. Penyebab melemahnya ritel offline ini salah satunya disebabkan oleh terjadinya pergeseran pola konsumsi dari konvensional ke online (daring).

Minat masyarakat untuk berbelanja online sangat tinggi. Hal ini juga didukung oleh banyaknya situs-situs belanja online sebut saja shopee, lazada, zalora, dan tokopedia yang memberikan subsidi ongkir bagi konsumen. Bahkan tak sedikit yang membebaskan ongkos kirim. Pada aktivitas belanja online, harga barang yang tinggi bukanlah perkara yang merisaukan seperti halnya berbelanja di tempat konvensional. Harga barang yang tinggi justru akan mendorong pedagang memberi kebijakan gratis ongkir (ongkos kirim), lalu mempengaruhi sisi psikologis pembeli. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong dalam tirto.id menilai para pelaku di industri ritel sedang dihadapkan pada tantangan untuk bertransformasi guna bisa terus relevan dengan perkembangan zaman dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Singkat kata belanja online sudah menjadi trend bagi masyarakat Indonesia. GAK BELANJA ONLINE, CUPU KAMU.

Fenomena ini juga terjadi di Amerika, dalam laporan TIME, analis ritel, Jan Kniffen bahkan memprediksi lebih dari sepertiga mal di Amerika akan tutup pada tahun 2017. Dari 1.100 ritel, 400 di antaranya akan segera tutup dan dari sisa 700, hanya 250 yang akan bertahan dalam beberapa tahun ke depan. Banyaknya mal ini juga akan meninggalkan puluhan hektar bekas bangunan yang tak terpakai. Menurut Kate Taylor, reporter Business Insider, bangunan-bangunan bekas mal tak memiliki nilai tinggi. Lebih jelasnya lagi mal yang terlalu besar bukanlah sesuatu yang bakal dilirik pengelola mal baru.

Lalu apa yang selanjutnya terjadi?

Mal yang telah tutup tersebut akan meninggalkan bekas-bekas bangunan tak terpakai dan jika dibiarkan saja akan terbengkalai. Dilansir dari tribun news bahwa terdapat 31,9 Ha pusat perbelanjaan di Jakarta yang kosong akibat trend penutupan mal. Bayangkan berapa banyak hunian dan ruang terbuka hijau yang dapat dibangun diatas tanah bekas-bekas mal tersebut.

Cukup bukan untuk mengurangi dahaga masyarakat Jakarta akan kebutuhan Ruang terbuka hijau atau ruang sosial?

Di Jakarta sendiri yang menjadi kota dengan ruang publik sangat minim, mal dijadikan sebagai tempat yang didatangi setiap harinya dengan frekuensi yang ketat. Bahkan istilah ngemal sudah menjadi kata kerja sendiri. Bukan hanya soal belanja, mal-mal di Jakarta berfungsi sebagai ruang publik semu: tempat untuk bertemu teman dan keluarga, berjalan-jalan, makan atau bertemu rekan bisnis. Jika mal yang dijadikan sebagai ruang sosial semu menghilang akibat pola konsumsi masyarakat yang beralih maka ketersediaan ruang publik juga akan berkurang.

Lalu timbul sebuah pemikiran. Apakah perlu untuk mengurangi warna-warna ungu (perdagangan dan jasa) dalam tata ruang dan diganti dengan warna hijau (Ruang terbuka hijau) ataupun merah (pelayanan umum), bukankah tata ruang akan selalu berkembang dan perlu adanya relevansi? Bagaimana jika ketiga hal tersebut digabungkan?

Masalah ini dapat sedikit diselesaikan jika kita belajar dari Dubai, negara penghasil minyak yang tak kalah bersaing dalam bisnis ritelnya. Dubai menawarkan belanja di mal dengan pengalaman yang lain. Sebagai contoh, jika Anda suka jalan-jalan sepanjang pantai sambil berbelanja maka Dubai akan menonjolkan nuansa The Beach. Atau jika anda tertarik untuk berbelanja di distrik yang keren dan trendi Dubai akan menawarkan City Walk sebagai jawabannya. Area belanja yang ditawarkan juga terbuka yang ramping serta anda akan serasa berjalan di Kota London. Selain itu, Dubai juga menawarkan konsep perbelanjaan yang “ngemper” ala PKL tentunya dengan penataan yang rapi dan pengembangan tempat makan yang terhampar sepanjang Al Wasl Road, berdekatan dengan City Walk. Jalan kota penuh warna ini menampilkan toko-toko retail dan kafe yang bertempat di dalam kotak-kotak kargo yang telah dimodifikasi.

Perkembangan Kota yang dinamis memang perlu untuk ditangkap masyarakat agar setiap ruang yang ada dapat memberikan manfaat yang optimal. Shifting and no one left behind.

SoLotion #11

Editor : Sege

Referensi :

[1] Damianus Andreas dan Adi M Idhom. Kepala BKPM Thomas Lembong Akui Ada Pelemahan Industri Ritel.Tirto.id.
[2] Aulia Adam dan Maulida Sri Handayani.
Sakaratul Maut Industri Mal Amerika Serika.Tirto.id.
[3] Kate Lamb.
Di balik megahnya mal-mal Jakarta yang ber-AC.The guardian.
[4] Visit Dubai :
here

--

--

Nurul Selen Azizah ASP
Urban Reason

Bukan Penikmat Kopi tapi penikmat Sherlock | Hello I am ENTJ