SoLotion #8

Kota Malas, Tentang Gaya Hidup Orang Kota

A. Zuhdi
Urban Reason
Published in
6 min readMar 16, 2018

--

ObeCity? Kota Gemuk?

A massive study with data from more than 400,000 Britons recently published in The Lancet found a close tie between obesity and suburbs.

“Residents health is highly likely to improve when sprawling suburbs are made more dense,”

Feargus O’Sullivan

Jika anda adalah angkatan 90-an yang suka nongkrong di depan TV setiap hari (khususnya pagi hari), tentunya anda tidak melewatkan program semi kartun ala Jalan Sesama atau Loney Tone feat Michael Jordan di salah satu channel swasta.

The “Lazy Town” merupakan sebuah Educational-Musical Show tentang sebuah kota yang diisi oleh anak-anak yang malas beraktifitas di luar rumah, gemar bermain vidio game, dan terlalu banyak mengkonsumsi permen beserta peranakannya. Perubahan terjadi ketika gadis berkostum pink datang. Stephani. Bersama Spartatus ia melancarkan kampanye bermain di luar ruangan, bergerak agar menghilangkan rasa malas untuk anak-anak Lazy Town. Program ini merupakan sebuah kampanye “anti-obesitas” angkatan awal di jagat pertelevisian dunia.

WHO mendefinisikan “Obesitas” sebagai kondisi dimana kelebihan berat badan akibat penimbunan lemak berlebih (dengan ambang batas IMT/U > 27 kg/m2). Sementara, “kegemukan” adalah kelebihan berat badan karena makan berlebih (dengan ambang batas IMT > 25 kg/m2). Jillian Michaels, seorang ahli metabolisme memberi penegasan atas penigkatan obesitas pada anak desebabkan oleh berkembangnya fake foods yang dibalut sexynya harga makanan saat ini. Selain itu, faktor lainnya adalah kurangnya aktifitas fisik. Seperti itulah yang terjadi di Lazy Town.

Data dan Riset

Dilansir telegraph, saat ini WHO tengah menggalakkan “Hari Obesitas Dunia” sebagai gerakan untuk mengkampanyekan masalah berat badan di planet ini. Setidaknya 603 juta dewasa dan 107 juta anak-anak menderita obesitas dari 7,5 miliar pupulasi dunia (9% penduduk dunia). Berdasarkan data CIA,s World Factbook negara dengan tingkat obesitas tertinggi adalah Samoa Amerika dimana 94% kegemukan dan 74,6% Obesitas. Hal ini disebabkan oleh perubahan pola makan setelah masa kolonialisasi barat disana. Contohnya dengan lebih memilih menggoreng ikan daripada memakannya mentah (atau dibakar langsung). Nauru, Cooks Islands, Tokelau, dan Tonga adalah deretan 5 teratas dalam list The Most obese places in the world. Secara kolektif negara-negara yang mengalami obesitas adalah negara maju dan/atau negara berkembang di kawasan Oceania dan Timur Tengah. Sementara untuk negara dengan kepemilikan “orang gemuk” paling sedikit didominasi oleh negara Asia dan Afrika (Ethiopia, Bangladesh, Nepal, Eritrea, dan Madagascar).

Sementara itu di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar Kemenkes 2013 dilansir kumparan menunjukkan, prevalensi (jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada satu periode tertentu di suatu wilayah) nasional tertinggi problem kegemukan terjadi pada anak kelompok anak usia 5–12 tahun (18,8 persen), disusul kelompok 13–15 tahun (10,8 persen), dan 16–18 tahun (7,3 persen). Jumlah itu naik 4 persen dalam tiga tahun terakhir. Pada range tertinggi usia 5–12 tahun, ditemukan kegemukan (10,8 persen) dan sangat gemuk atau obesitas (8,8 persen). Setidaknya 15 propinsi di Indonesia terindikasi gejala kegemukan. DKI Jakarta ialah Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Papua, Sumatera Selatan, Jambi, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali, Kalimantan Timur, Banten, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah. “Bahkan”, UNICEF mencatat Indonesia sebagai negara dengan prevalensi anak obesitas tertinggi di Asia Tenggara, yakni 12 persen. Sementara itu, riset University of Washington menunjukkan Indonesia menjadi satu dari tiga negara dengan peningkatan angka obesitas anak hingga “tiga kali” lipat dalam 30 tahun terakhir.

Malas, Obesitas, dan Perkotaan

Kondisi masyarakat dunia yang serba praktis pasca revolusi informatika menyediakan semua keperluan bisa diakses dengan bantuan ketukan jempol saja. Tergantikannya peran manusia oleh mesin dan bahkan Artificial Inteligent (AI) akan membawa perubahan signifikan di masyarakat kita. Beberapa tahun lagi mungkin robot ASIMO yang fenomenal dulu akan kelihatan kuno, tergantikan dengan robot pintar ala TARS (interstellar) ataupun Data (Star Trek). Bahkan film kartun bisu produksi pixar “Wall E” telah mensimulasikan kepada kita tentang datangnya dunia yang penuh akan orang-orang gemuk yang “tak melakukan apapun” (setidaknya tidak ada yang berarti). Hal ini diproyeksikan akan membawa “shifting” prilaku fisik di luar rumah yang semakin menurun. Segala kepraktisan menciptakan masyarakat yang “malas” bepergian tanpa kendaraan. Ditambah lagi dengan ketiadaan sarana pejalan kaki dan transportasi umum yang mumpuni semakin mendorong keengganan beraktifitas fisik di luar rumah. Hingga obesitas pun tak terelakkan.

Namun hasil peneiltian di Amerika dan Britania menunjukkan tingkat obesitas justru lebih tinggi di daerah rural daripada urban. University of Kansas menemukan di Amerika, 39,6% penduduk desa dewasa mengalami obesitas. Dibanding penduduk dewasa kota yang hanya 33.4% mengalami obesitas. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara diet dan isolasi masyarakat di perdesaan. Sementara di Britania, obesitas di ibukota London menyentuh angka 46,5% dibandingkan dengan kota lainnya seperti Rotterham yang mencapai 76,2% di daerah yang lebih jarang penduduk. Penelitian yang di publikasikan journal The Lancet juga menunjukkan tingkat obesitas lebih rendah di kawasan hunian yang padat (berkerumun). Hal ini menunjukkan kemudahan akses pada transportasi dan kepadatan kota yang tinggi (Hunian padat) memicu aktifitas fisik di negara yang notabene maju dimana sarana pejalan kaki menjadi urat nadi pergerakan manusianya. Berbeda dengan Amerika dan Britania, di negara berkembang seperti Indonesia berdasarkan data riset Kemenkes RI menunjukkan obesitas lebih berkembang di daerah urban daripada rural dimana 9.1 % berada di perkotaan dan 7,1 % di kawasan perdesaan Indonesia. Hal ini menunjukkan kota-kota di Indonesia yang masih belum tersentuh fasilitas mobilitas yang mumpuni akan “rentan” terkena obesitas.

ObeCity? So What’s the matter?

Dalam dunia kesehatan obesitas jelas akan meningkatkan resiko penyakit-penyakit serius seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung, asthma, hingga arthritis. Namun, jika dilihat dengan kaca mata “kota” beserta elemen pemebentuknya obesitas membawa pengaruh yang cukup signifikan (khususnya dalam skala besar) baik secara langsung maupun tidak. Obesitas akan berakibat pada penambahan biaya transportasi. Salah satunya adalah bahan bakar. Akan dibutuhkan lebih banyak energi untuk memindahkan orang gemuk dibanding orang yang tidak. Hal ini dapat dianalogikan seperti memesan makanan paket besar, yang tentunya, memerlukan wadah yang lebih besar, bahan makanan yang lebih banyak, hingga tenaga yang lebih besar untuk menghidangkannya kepada anda. Bahkan, Jacobson dan Knight telah melakukan perhitungan menggunkan model matematika untuk memperkirakan konsumsi bahan bakar tahunan tambahan dengan perjalanan penumpang non-komersial di AS yang dikaitkan dengan kelebihan berat badan dan obesitas menjadi sekitar satu miliar gal (galon). Mereka juga memperkirakan bahwa sekitar 39 juta tambahan bahan bakar (senilai $ 105 juta dengan harga berlaku) dibutuhkan setiap tahun di sektor ini untuk setiap bobot rata-rata penumpang.

Selain menambah pemakaian energi, obesitas juga dapat menyebabkan perubahan luas dimensi ruang yang digunakan sehari-hari seperti pintu masuk, kamar, toilet, hingga kendaraan. Kendaraan yang biasanya bisa mengangkut 6 orang harus diisi hanya 3 orang saja. Pada kendaraan berskala besar apalagi, jika satu gerbong kereta komuter biasanya diisi oleh 50 orang maka ketika orang berbadan besar masuk akan mengurangi ruang bagi orang lain. Bahkan, obesitas juga akan berimplikasi pada urban facilities footprint dan ecological footprint jika bertambah terus jumlahnya. Dampak tersebut belum diakumulasi dengan dampak dari perubahan prilaku hingga perubahan ekonominya. Pada prisnsipnya obesitas akan memberikan perubahan yang signifikan apabila tidak dikendalikan.

Sehingga sentuhan ahli perkotaan hendaknya menambahkan pandangan dari “medical-subject” seperti obesitas dalam mengestimasikan dan memproyeksikan kota-kota khususnya didaerah terdampak. Bukan tentang membuat sistem yang bisa menampung orang-orang gemuk. Tapi tentang sistem untuk “memaksa” orang gemuk berjuang untuk “minimal” beraktifitas fisik atau “memaksa” mereka untuk beraktifitas fisik itu sendiri. Pendekatan compact city/kota kopak dengan kepadatan yang manusiawi atas akan membantu hal tersebut terwujud. Karena dengan tinggal berkerumun akan memicu aktifitas berjalan. Konsep Walkable Street atau street for all juga bisa dijadikan solusi untuk menekan obesitas agar orang-orang nyaman berpergian on feet. Selain itu, pendekatan transportasi berbasis transit juga akan mendorong berkurangnya obesitas dengan mendorong orang untuk berjalan kaki.

(sp/cp)

Referensi:

[1] http://www.telegraph.co.uk/travel/maps-and-graphics/the-most-obese-fattest-countries-in-the-world/

[2] https://kumparan.com/anggi-kusumadewi/segawat-apa-angka-obesitas-pada-anak-indonesia

[3] https://www.citylab.com/life/2017/10/obesity-housing-density-suburbs-research/542433/?utm_source=SFTwitter

[4] http://www.independent.co.uk/life-style/health-and-families/worlds-fattest-places-2122787.html

[5] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3047996/

[6] https://psmag.com/news/subway-really-is-the-key-to-healthy-living

--

--