Studentifikasi : Gentrifikasi Pelajar,
Potret Fenomena Hunian Sekitar Kampus

A. Zuhdi
Urban Reason
Published in
8 min readSep 23, 2018

Tulisan ini adalah Rangkuman dari Tugas Akhir: Pola Studentification Pada Kawasan Sekitar Kampus ITS Sukolilo. Big Thanks to Mba Grace Damaris yang menjadi “Alibi” saya menjadikannya judul pemutus gelar Mahasiswa di Kampus Perjuangan.

Keputih, 2018

Kawasan urban adalah kawasan dengan penciri kekotaan yang dominan, salah satunya dengan kegiatan utama non-pertanian. Kawasan urban dapat berubah seiring berjalannya waktu baik dari segi fisik, ekonomi, sosial, hingga budayanya. Masuknya penduduk desa ke kota merupakan efek dari tidak meratanya kesejahteraan umum. Urbanisasi bukan satu-satunya proses yang terjadi dalam era perpindahan massal manusia.

Sejak zaman masuknya peradaban proto dan deutro melayu ke daratan indonesia, telah menunjukkan bahwa manusia selalu mencari ruang baru untuk ditempati seiring bertambahnya jumlah masyarakatnya. Transmigrasi contohnya, Pulau Jawa yang sudah overload mengakibatkan persediaan pasokan makanan yang tidak mumpuni sehingga dibutuhkan pengurangan jumlah manusia di pusat kepadatan untuk membuka tanah baru agar bisa digarap. Belakangan, faktor politik dan keamanan ikut andil dalam menentukan perpindahan masyarakat dari suatu wilayah ke wilayah lainnya. Pertumbuhan imigran dan pencari suaka dari negara timur tengah ke eropa merupakan isu strategis yang akan menjadi bom waktu jika tidak diantisipasi sedari dini.

Pada tahun 2035, jumlah penduduk kota akan mencapai 66,6 % dari populasi penduduk Indonesia (BPS, 2014). di era urban ini, kawasan-kawasan pusat kegiatan tentu menjadi daya tarik sendiri hingga modal masuk untuk menguasainya (ruang). Sehingga terjadilah gentrifikasi. Penduduk pusat kota tidak mampu lagi membayarkan pajak atas kenaikan harga tanahnya sehingga tersudut dan mencari hunian di area luar kota. Persis seperti orang Betawi yang harus pindah ke Bekasi karena kuatnya pengaruh modal dalam memagari lahan di pusat kota. Jakarta pun kini bukan lagi kota orang-orang betawi, tapi kota tempat semua macam orang berkumpul dari berbagai latar belakang. The Capitol.

Gentrifikasi: Fenomena Mutasi Penduduk Daerah Aglomerasi

Gentrifikasi secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah proses tergantikannya penduduk berpenghasilan rendah dengan penduduk yang berpenghasilan lebih tinggi pada suatu kawasan (Prayoga 2013). Kondisi ini tepat digambarkan oleh maestro musik Indonesia, Iwan Fals, dalam tembang berjudul Ujung Aspal Pondok Gede (1985). Lagu ini menceritakan Iwan sebagai seorang anak yang harus berpisah dengan teman-teman kampungnya karena akan digantikan oleh sebuah proyek real estate yang megah. Apa yang dialami Iwan adalah wujud dari “tergentrifikasi”, dengan subjek yang “mengentrifikasi” adalah masyarakat yang akan menempati bangunan baru kelak. Pengaruh modal besar perannya dalam menggeser masyarakat asli yang tidak mampu lagi mengusahakan tanahnya. Gentrifikasi sering dipandang sebagai proses perubahan kawasan perkotaan (urban change) yang diakibatkan oleh perubahan nilai kawasan baik secara ekonomi maupun fisik.

Pada awalnya, gentrifikasi dipahami sebagai bentuk rehabilitasi dan revitalisasi perumahan oleh kaum ekonomi menengah di sekitar pusat kota (Sabri et al. 2008). Hingga pada tahun 1980, gentrifikasi berkembang menjadi proses yang lebih luas mencakup keruangan, sosial dan restrukturisasi ekonomi yang diwujudkan dalam konsep pengembangan waterfront city. (Ergun dalam Sabri et all, 2008). Berdasarkan pendapat Lees dalam Sabri et all (2008), Gentrifikasi berkembang dengan menangkap perubahan temporal dan spasial yang membuat terjadinya mutasi (pergantian: masuk-keluar).Turunan dari mutasi gentrifikasi ini melingkupi gejala perumahan yang meluas ke wilayah luar pusat kota oleh middle-class yang terdesak dari pusat kota, pengembangan new-build (mempertanyakan sejarah pembentukan lingkungan yang tergentrifikasi), dan super-gentrifikasi (mempertanyakan asumsi dalam tahapan model akhir gentrifikasi). Konsep gentrifikasi juga berkembang dari dari masa ke masa, salah satunya berkembang menjadi: Studentifikasi.

Studentifikasi: Gentrifikasi Bentuk Baru, Dari Kelompok Pelajar

Istilah “Studentification” pertama kali dikenalkan oleh Smith (2002). Smith melakukan serangkaian penelitian dengan mengobservasi pengaruh kenaikan jumlah pelajar (mahasiswa) pada pembentukan hunian di Leeds, Inggris. Kenaikan jumlah pelajar ini bermula dari dikeluarkannya regulasi terkait ketenagakerjaan Kerajaan Inggris. Negeri Ratu Elizabeth ini ingin meningkatkan partisipasi kelompok umur 18–24 tahun masyarakatnya sebesar 50% di Perguruan Tinggi. Target ini berlaku untuk tahun 2010 (Joanna 2010).

Munculnya regulasi tenaga kerja menyebabkan naiknya permintaan akomodasi bagi pelajar di setiap perguruan tinggi di Kerajan Inggris. Sehingga pihak institusi terkait mau tidak mau harus menyediakan kembutuhan pendukung pelajar yang akan datang. Masyarakat sekitar kampus pun mendapatkan efek domino dari kebijakan ini. Sehingga pada akhirnya institusi dan masyarakat sekitar bersama-sama menyediakan kebutuhan pendukung pelajar. Namun faktanya, tidak semua institusi perguruan tinggi mampu mengejar pembangunan infrastruktur pendukung dengan cepat dan efisien. Ketidakmampuan institusi ini memunculkan sektor informal khususnya bagi penyediaan hunian pelajar. Sehingga masyarakat sekitar secara tidak langsung tumbuh sebagai safety belt atas kebutuhan calon pelajar ini. Mirip seperti bagaimana masyarakat Inggris menjemput 300.000 pasukan mereka di Dunkirk dengan bantuan swadaya masyarakatnya.

Studentifikasi merupakan bentuk baru dari proses masuknya gentrifier (pelaku yang mengentrifikasi). Gentrifier menyerbu area tertentu suatu kawasan perkotaan. Khususnya pada kawasan dimana Universitas/Perguruan Tinggi yang populer berlokasi disana (Sabri et al. 2008). Gejala ini yang disebut Smith sebagai Studentification/studentifikasi. Proses yang sama diadopsi dari fenomena yang terjadi kawasan pendidikan tinggi di Inggris dan Amerika (Smith dalam Sabri dkk 2004).

Studentifikasi sebagai sebuah gejala memiiliki 3 (tiga) fase perwujudan, yaitu: Fase 1, Kondisi awal dimana perguruan tinggi muncul pertama kali sebagai daya penarik pelajar untuk tinggal disekitar kampus. Masyarakat menyewakan kamar yang tidak terpakai sebagai akomodasi tambahan. Pelajar cenderung beradaptasi dengan masyarakat lokal dan berbaur. Fase 2, Perluasan kawasan penyokong dengan semakin bertambahnya pelajar maupun masyarakat pendatang yang melihat adanya kesempatan ekonomi. Pengaruh kelompok pelajar mulai dirasakan dan masyarakat mulai mengalami displacement. Fase 3, Masuknya investasi properti secara masif yang terwujud dalam terbukanya kawasan baru yang semula tegalan atau persawahan. Sehingga baik pelajar maupun warga mengalami kesulitan akses pada hunian yang terjangkau.

Tendensi Studentifikasi Pada Kawasan Sekitar Kampus ITS Sukolilo

Berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Unit Pengembangan (UP) Kertajaya tahun 2008–2018, Kawasan Sekitar ITS merupakan kawasan strategis dengan wujud ruang cluster pendidikan yang diarahkan untuk kegiatan utama pendidikan dan perdagangan-jasa. UP. Kertajaya merupakan kawasan Surabaya Timur yang melingkupi Kecamatan Sukolilo dimana Kampus Utama ITS berada. ITS Surabaya merupakan perguruan tinggi yang berdiri pada tanggal 10 Nopember 1957. Namun Kampus ITS baru belokasi di Kec. Sukolilo pada tahun 1982 (Prospektus.its.ac.id). Sementara itu, berdasarkan Peringkat Perguruan Tinggi Non-Politeknik di Indonesia oleh Kemenristekdikti ITS berada pada posisi 5 (lima) (Ristekdikti.go.id). Hal ini menunjukkan ITS sebagai salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia yang memiliki daya tarik cukup besar untuk mendatangkan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia ke dalam kawasan.

Masuknya mahasiswa pada suatu kawasan menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan lahan di kawasan Sekitar Kampus ITS (Zahra, 2014). Dalam penelitian tersebut perubahan lahan mengalami pertambahan signifikan. Unit kavling tumbuh 72% pada interval tahun 1996–2014. Pada tahun 1996 berjumlah 10.767 unit menjadi 18.472 unit pada tahun 2014 yang didominasi penggunaan pondokan (hunian) dan perdagangan jasa. Bagi penduduk asli yang menetap, hal ini memberikan desakan (ekonomi dan sosial) untuk beradaptasi atau memilih berpindah ke daerah lain (karena tidak mampu beradaptasi). Sehingga gejala studentifikasi pada prinsipnya akan membawa perubahan proporsi penggunaan lahan yang didominasi oleh mahasiswa dan kegiatan akomodasi bagi mahasiswa.

Masuknya kelas mahasiswa di kawasan sekitar ITS membawa lonjakan permintaan hunian untuk kelas mahasiswa. Jumlah Mahasiswa yang diterima di ITS pada tahun 2017 saja berjumlah 1.059 jalur SNMPTN, 1.366 jalur SBMPTN, dan 1026 jalur PKM, dengan total 3.451 Mahasiswa (Website ITS Online). Para mahasiswa akan berdomisili di area kampus (on campus) dan di luar kampus (off campus). Daerah on campus adalah daerah asrama (purposed-built) yang diperuntukkan bagi mahasiswa tingkat pertama dan Perumahan Dosen (Perumdos). Sementara untuk mahasiswa off campus tersebar di kelurahan di sekitar ITS. Hal ini menunjukan besarnya okupansi mahasiswa pada kawasan Sekitar ITS itu sendiri.

Data demografi kawasan Sekitar ITS yang terdiri dari lima kelurahan terdekat ITS (Keputih, Gebang Putih, Mulyorejo, Kejawan Keputih Tambak, dan Kalisari) menunjukkan setidaknya pada tahun 2013 jumlah penduduk Kawasan Sekitar ITS berjumlah 59.077 jiwa. Pada tahun 2015 meningkat 7% menjadi 63.482 jiwa (Sukolio dan Mulyorejo Dalam Angka, 2014–2016). Hal ini mengindikasikan pertumbuhan yang cukup tinggi di kawasan ini. Sementara untuk komposisi penduduk pindah dan datang menunjukkan angka 925 jiwa dan 1.611 jiwa pada tahun 2013. Pada tahun 2015, jumlah penduduk pindah naik 45% menjadi 1.345 jiwa. Sementara penduduk datang naik 26% menjadi 2.037 jiwa. Hal ini menunjukkan perpindahan penduduk yang lebih besar daripada penduduk yang masuk ke kawasan Sekitar ITS dari penduduk yang teregistrasi di Dinas Pencatatan Sipil Surabaya. Secara tidak langsung dapat disimpulkan terjadi indikasi tergesernya masyarakat pada kawasan Sekitar ITS.

Dengan kondisi yang telah dijelaskan di atas, akan membawa perubahan pada masyarakat dan kawasan Sekitar ITS yang mengindikasikan terjadinya gejala studentifikasi. Pada kasus Harga Sewa Bangunan (HSB) data menunjukan pada tahun 2014 rata-rata harga sewa rumah masih diharga Rp 300.000–500.000, — untuk fasilitas standard (kasur, lemari, dan meja belajar). Namun tahun 2017 telah menyentuh angka Rp 600.000 -1 juta untuk fasilitas standar mahasiswa (Aplikasi Mami Kos, 2017). Dari segi fisik, perubahan kepadatan bangunan dan pelebaran jalan utama operasional juga terjadi di kawasan Sekitar ITS. Hal ini memperkuat indikasi terjadinya studentifikasi pada Kawasan Sekitar ITS.

Pola Studentifikasi Pada Kawasan Sekitar Kampus ITS Sukolilo

Studentification pada kawasan sekitar kampus ITS terbilang unik. Kawasan sekitar ITS adalah kawasan cepat tumbuh yang diisi warga asli surabaya yang dulu berprofesi sebagai petani serabutan. Seiring bergantinya tahun mereka mengalami perubahan pekerjaan dan beradaptasi dengan gelombang masuknya mahasiswa. Gelombang besar terjadi pada tahun medio 1980an saat ITS keputih (1982) diresmikan dan Kampus Hang Tuah menyusul 6 tahun berselang.

Faktor yang paling dominan sebagai penciri studentifikasi pada kawasan sekitar ITS adalah Interaksi Antara Mahasiswa dan Masyarakat, Indekos sebagai Investasi, dan Harga Jual Tanah. Sementara faktor yang kurang bisa dijelaskan sebagai penciri studentifikasi di kawasan sekitar ITS adalah Kelengkapan Fasilitas Lingkungan dan Bauran Mahasiswa dan Masyarakat. Ketiga penciri dominan merupakan bagian dari dimensi sosial dan ekonomi dari Studentifikasi itu sendiri. Masuknya mahasiswa memberikan interaksi yang lebih sering namun tidak berkualitas. Karena bauran berada di taraf yang rendah. Namun “ketidakharmonisan” tersebut ditutupi oleh dimensi ekonomi yang diwakili bertambahnya penghasilan warga oleh indekos dan potensi harga jual tanah yang menjanjikan walaupun fasilitas pendukung masih belum mumpuni. Sehingga studentifikasi pada kawasan menunjukkan titik pertemuan (ekuilibrium) yang unik berupa hubungan simbiosis mutualisme antara masyarakat asli dan pendatang (mahasiswa/pelajar). Simbiosis ini berada pada posisi win win solution.

Cara lain melihat pengaruh fenomena studentifikasi adalah dengan melihat dampak dari studentifikasi pada kawasan dan masyarakat asli yang terdampak. Dampak paling signifikan terjadi pada Penawaran Hunian untuk mahasiswa. Dampak ini didukung oleh dampak ekonomi lainnya yang juga lebih dominan dari dampak pada dimensi lain. Sehingga studentifikasi kawasan menunjukkan terjadinya pertambahan akomodasi secara sadar oleh masyarakat asli yang melihat ini sebagai kesempatan ekonomi. Sementara menyusul ekonomi, dimensi sosial dan fisik ikut menjadi yang signifikan berdampak pada kawasan. Di dimensi sosial Kriminalitas muncul sebagai dampak yang paling dirasakan masyarakat. Hal ini menunjukkan pesatnya kemajuan kawasan memberikan kontribusi pada meningkatnya kriminalitas kawasan.

Studentifikasi pada kawasan sekitar ITS merupakan studentifikasi Fase 2 yang diitunjukkan dengan (1) Perluasan kawasan penyokong dengan semakin bertambahnya pelajar maupun masyarakat pendatang yang melihat adanya kesempatan ekonomi. Hal ini terlihat dari dampak maupun faktor yang signifikan menunjukkan dimensi ekonomi menjadi yang terdepan. Dilihat dari penawaran hunian yang tinggi, investasi dengan indekos, dan harga jual tanah yang meningkat. Sehingga indikator ini tercapai. Sementara (2) Pengaruh kelompok pelajar mulai dirasakan dan masyarakat mulai mengalami displacement. Terlihat dari dimensi sosial yang signifikan, yaitu interaksi yang meningkat namun bauran tidak tinggi, serta kriminalitas yang ikut naik. Pelajar pendatang dirasakan dampaknya namun belum sampai pada taraf “menggantikan” (displacement. Namun mengacu pada pendapat Prof. Silas (2018) bahwa gentrifikasi pada taraf yang paling kecil adalah “tergesernya” masyarakat asli baik dari segi aktifitas, kesempatan mendapatkan barang dan jasa, hingga perebutan sumber daya menunjukkan studentifikasi yang terjadi berada pada displacement pada tahap awal. Sehingga indikator ini tercapai walau tidak sepenuhnya. Pada akhirnya, pola yang terjadi terkait Studentifikasi di kawasan sekitar ITS adalah studentifikasi yang ditunjukkan oleh dimensi ekonomi dan sosial yang terjadi dalam fase ke-2.

Studentifikasi dilihat sebagai fenomena bisa diibaratkan sebagai “pisau bermata dua”. Ia memiliki sisi positif dan negatif sekaligus. Namun jika dipulangkan kepada kawasan yang terindikasi gejala ini tentu memiliki konfigurasi khas kawasan yang bersangkutan (dalam hal ini, kawasan Sekitar ITS). Pada tulisan ini terlihat jelas bahwa studentifikasi masih berada di satu tahap sebelum modal skala besar masuk (fase 3) untuk memperebutkan ruang-ruang yang ada di sekitar kampus. Apabila modal besar masuk, masyarakat harus mampu mengupayakan hak mereka untuk tetap berada di tempat mereka dibesarkan. Sehingga perlu adanya penguatan kolektifitas masyarakat agar dapat beradaptasi dengan perubahan besar yang akan datang kemudian. Penelitian gentrifikasi oleh Azka Nurmedha (2017) menunjukkan bahwa modal sosial sangat penting sebagai penentu tindakan kolektif masyarakat dalam mengantisipasi gelombang gentrifikasi.

Sekian.
Terima Kasih :)

--

--