Mlaku-Mlaku / Wateria I

Tebet Eco Park — Fatamorgana di Jaksel

Bellatrix Indah Pratiwi
Urban Reason
Published in
6 min readJun 2, 2024

--

Infinity Link Bridge di Tebet Eco Park via Jakarta Smart City

Tahun 2024 masih berjalan tak lebih dari satu triwulan, namun telah banyak terjadi bencana di Indonesia. Data BNPB per 31 Maret 2024 menunjukkan telah terjadi 596 total bencana melanda Indonesia yang menimbulkan korban jiwa meninggal dunia, hilang, dan luka. Bahkan, telah terjadi arus pengungsi internal (internally displaced person) mencapai 3.022.752 jiwa.

Bencana hidrometeorologi, sebagaimana terdapat dalam data BNPB, mendominasi hingga 99,19% dari total bencana (bencana geologi 0,81%). Bencana banjir menjadi bencana dengan frekuensi terbanyak, bahkan totalnya mencapai 123 kejadian di Bulan Maret 2024.

Banjir sebagai Bencana Hidrometeorologi

Dilihat dari persebaran kejadian, banjir yang terjadi pada periode Maret memang terkonsentrasi di Pulau Jawa sebagai pulau dengan pusat populasi penduduk tertinggi di Indonesia. Namun begitu, berdasarkan pada Data BNPB dapat diketahui bencana banjir juga terjadi di luar Pulau Jawa, yang mayoritas dipicu oleh luapan air sungai akibat intensitas curah hujan yang tinggi.

Banjir (flood) dapat dibedakan atas banjir bandang, banjir luapan sungai, banjir genangan, dan banjir rob. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba tiba dengan debit yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai. Banjir rob adalah banjir yang disebabkan naiknya permukaan air laut pada saat pasang dan badai. Banjir luapan adalah banjir yang diakibatkan meluapnya aliran sungai akibat hujan ekstrim dan berkurangnya kapasitas sungai. Banjir genangan adalah banjir yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya saluran pembuangan air dalam menyerap air hujan yang turun pada suatu wilayah urban.

Macam bencana banjir yang telah disebutkan berkaitan dengan morfologi daerah aliran sungai meliputi wilayah hulu, tengah,hilir, dan muara.

Mirisnya banjir kini acap kali terjadi di daerah hulu yang morfologinya berbentuk perbukitan atau pegunungan. Banjir bandang dipicu oleh rusaknya ekosistem akibat tata guna lahan yang ekspansif dimana kawasan lindung yang menjadi fungsi resapan banyak yang dialihfungsikan menjadi kawasan budidaya yang dirasa memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Tidak seimbangnya ruang ekologi tersebut meningkatkan limpasan air permukaan yang langsung mengalir ke daerah hilir berakibat pada debit aliran sungai yang tinggi sejak di hulu.

Tak hanya itu, tingginya air yang mengalir seringkali memicu erosi yang menimbulkan sedimentasi pada aliran sungai yang merupakan jalannya air sehingga memperkecil kapasitas tampung. Kondisi ini bila disertai dengan tidak teraturnya daerah sempadan sungai yang seharusnya menjadi jalan air karena pembangunan bangunan liar maupun fungsi lain yang tidak sesuai, akan semakin terdegradasi dan semakin parah aliran sungainya dan menimbulkan banjir luapan utamanya pada daerah sekitar aliran sungai pada wilayah tengah maupun hilir.

Di kawasan perkotaan, terutama yang berada di dataran rendah, kurang optimalnya fungsi drainase akan mengakibatkan tersumbatnya saluran drainase dan bila ditambah dengan curah hujan tinggi, tentu akan memicu banjir genangan. Di kota besar, masalah sampah rumah tangga pada saluran drainase menjadi pemicu utama. Terakhir, banjir rob adalah banjir yang terjadi di kawasan hilir. Banjir ini disebabkan baik tingginya air sungai yang bermuara ataupun tingginya permukaan laut akibat pasang dan faktor slow onset disaster, seperti penurunan muka tanah serta kenaikan muka air laut akibat climate change sehingga muka air laut lebih tinggi daripada daratan.

Tidak hanya banjir, bencana hidrometeorologi lain dalam perubahan iklim seperti kekeringan perlu diantisipasi dampaknya dengan upaya preventif. Kemarau parah yang melanda Tahun 2023 berakibat pada kelangkaan air baku dan gagal panen. Apalagi, hidrometeorologi Indonesia tidak lepas dari pengaruh El Nino dan La Nina. Kondisi tersebut berkaitan dengan siklon tropis yang merupakan efek dari pemanasan global di laut.

Untuk itu, intervensi yang dapat menyelesaikan baik masalah banjir maupun antisipasi kekeringan menjadi penting. Selaras dengan pencapaian SDG tujuan ke 11 “Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan”

Manifesting Nature based Solution melalui Pembangunan Taman Kota.

Kejadian bencana banjir yang ada dapat menjadi refleksi balik bagi penduduk kota dalam menyediakan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru. Dalam kebijakan tata ruang, UU No 26 Tahun 2007, telah diatur bahwa setidaknya suatu kota memiliki Ruang Terbuka Hijau sebesar 30% (20% RTH publik dan 10% RTH private) dari luas wilayahnya. RTH memiliki banyak fungsi, mulai dari sosial sampai ekologis yang pastinya ekonomis.

Dunia menghadapi triple planetary crisis: climate change, pollution, dan biodiversity losses. Adanya taman kota dapat menjawab sekaligus ketiga masalah tersebut. Selanjutnya, penting untuk memadukan RTH hijau dengan RTH biru, sebab penanganan banjir yang dikendalikan melalui pembangunan infrastruktur abu abu berupa bendungan, tanggul, polder, dan drainase, dirasa kurang optimal. Selain itu fungsi utamanya yaitu dalam menciptakan zero run off dan meningkatkan air yang meresap dalam tanah.

Saat ini, mayoritas taman yang dibangun memiliki multifungsi tidak hanya sebagai sarana sosial, namun juga sebagai green infrastructure berperan menjadi pengendali banjir. Kombinasi antara green dan blue sangat melekat, sehingga tak heran sering ditemui konsep taman di daerah waterfront seperti sungai, pantai, laut, dan waduk/danau.

Contoh nyata taman dengan kombinasi antara green dan blue tersebut dapat ditemui di Ecopark Tebet.

Urbanears, mlaku-mlaku kali ini akan mengajak kalian ke tempat tempat seru yang bisa jadi opsi menghabiskan waktu weekend kalian, yaitu EcoPark Tebet. Jangan khawatir, taman ini aksesibel dijangkau dengan transportasi publik, yaitu LRT Cikoko, Stasiun KRL Cawang, Halte Tebet Eco Park II, dan feeder Jak Lingo. Selain itu, Ecopark Tebet juga telah mendapati beberapa penghargaan seperti:

  1. Design of the year di President’s Design Award 2023 Singapura.
  2. Gold award pada Singapore Landscape Architecture Awards 2022.

Tebet ecopark memiliki luasan 7,3 ha, terdiri dari Taman Tebet Selatan dan Taman Tebet Utara. Konsep yang diusung adalah harmonisasi antara fungsi ekologi, sosial, edukasi, dan rekreasi. Ecopark memiliki fungsi ekologi yaitu sebagai hunian burung dan binatang endemik seperti tupai tinggal serta berperan dalam reduksi banjir. Taman ini terbagi atas delapan zona meliputi:

  1. Infinity link bridge: menyambungkan taman utara dan selatan yang sebelumnya dipisahkan oleh Jalan Tebet Timur.
  2. Community garden: Zona yang didesain untuk masyarakat sekitar maupun wadah bagi komunitas lokal untuk beraktivitas/bercocok tanam, serta untuk kegiatan edukasi berkebun bagi anak anak sekolah maupun umum
  3. Children playgroup: Terdiri dari beberapa zona permainan yang didesain dengan memanfaatkan kondisi tapak.
  4. Community lawn: Community lawn mengakomodasi kegiatan publik yang lebih intim dan berkelompok kelompok dan memanfaatkan area eksisting terbuka yang dikelilingi pohon bunga kupu kupu (Bauhinia purpurea)
  5. Forest buffer: Zona yang lebih tenang dimana pengunjung dapat berjalan di bawah rindangnya pohon dan menikmati alam sekitar
  6. Plaza: Fasilitas publik yang berperan sebagai landmark area utara Taman Tebet
  7. Thematic garden: Zona yang terletak di bawah infinity link bridge dan terletak di sebelah aliran sungai. Taman ini diperuntukkan untuk instalasi seni oleh seniman lokal dan dijadikan spot area berfoto.
  8. Wetland boardwalk: Adalah lahan genangan air yang menjadi aset ekologis penting. Zona ini adalah sebuah sistem natural yang didesain untuk pengendalian banjir dan meningkatkan kualitas air dengan menggunakan tanaman tanaman yang mendukung pemurnian air.

Lebih dari sebuah taman. Tebet Ecopark adalah ekosistem dimana alam dan manusia saling berinteraksi dan saling melindungi dalam sebuah harmoni. Fungsi taman penting apalagi dilihat kondisi kota banyak yang berada di hilir dan merupakan muara sungai. Pembangunan yang match dengan alam perlu diutamakan sejalan dengan tujuan dari pembangunan Ecopark Tebet yang difungsikan sebagai kolam retensi (penampung air hujan) sebagai pengendali banjir di musim hujan. Selain itu, karena letaknya di kawasan tengah, maka amatlah penting memperbanyak ruang resapan agar air yang mengalir dari hulu (Bogor) run off nya tidak mengalir begitu saja. Melainkan dapat dimanfaatkan melalui groundwater replenishment pada taman, sebagai cadangan saat musim kemarau datang.

Secara kuantitas, baik terlalu banyak maupun sedikit air dapat memicu bencana. Manajemen pengelolaan air secara hulu — tengah — hilir merupakan suatu aksi yang harus dilakukan secara secara lintas batas dan kepentingan. Apalagi isu ini sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim yang makin ekstrem terjadi. Bijak dalam menggunakan dan mengelola air akan menentukan kehidupan di masa mendatang.

Save water, save life!

Penulis: Bellatrix Indah Pratiwi
Editor: A. Zuhdi

Referensi:

  1. BNPB (2024). Info Bencana Vol. 5 №3, Maret 2024. Jakarta. Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan.
  2. Teresa Simorangkir (2022). Menjelajah Tebet Eco Park yang Baru. Jakarta Smart City.
  3. https://tebetecopark.id/ diakses 27 Mei 2024 pada tanggal 09.30 WIB.

--

--