Tentang Rasa Aman, di Kota,

A. Zuhdi
Urban Reason
Published in
5 min readAug 11, 2018

Kaum Marjinal Jalanan

Alert!: Bukan Tulisan Berat, kerna yang nulis beratnya minimalis, 47 cm aja. Enjoy!

Berjalan Kaki dari Film Full Time Wife Escapist

(Sekali lagi) Maslow membantu saya menerjemahkan fenomena alam dengan meminjam istilah yang telah beliau pilih. Dalam Teori Hirarki Kebutuhan, Rasa Aman (safety) berada pada jenjang kedua dibawah kasih sayang (love/belongings) dan di atas kebutuhan fisiologi (sandang-papan-pangan). Artinya seorang manusia versi Maslow tidak butuh kasih sayang sebelum ia mendapatkan rasa aman!

“Mencari pasangan juga demikian, karena yang terbaik akan kalah dengan yang selalu ada — — menemani kita dan memberikan rasa aman, hingga cinta itu tumbuh” — Oudi

Pemerintah daerah tentu bersyukur, karena bidang “Pertahan-Keamanan” menjadi tanggungjawab pemerintahan pusat. Polisi RI secara hirarki terpisah dari pemkot/pemda secara kewenangan dan tata kerja, bahkan ABRI memiliki independensi tingkat tinggi yang seringkali mampu “mengintimidasi” pemegang kebijakan di daerah/kota terkait. hingga kota merasa harus memenuhi apa yang mereka inginkan. (Manja-ada band rings~)

Minggu lalu, viral-lah kisah pejalan kaki yang “merundung” pengguna sepeda motor yang mencoba lewat trotoar dengan frontalnya di Jalan Jatiwaringin, Jakarta Timur. aksi ini mendapat dukungan besar dari Netizen Yang Maha Kuasa dalam #trotoaruntukpejalankaki. Entah sejak kapan semangat berjalan kaki di trotor mulai muncul bak hal yang sudah kita amalkan sehari-hari (common things) hehe. yang pasti teman-teman saya dikampus masih memilih menjadi Rider daripda GT Man. eh… Riders or Bikers.

Koalisi Pejalan Kaki — Selengkapnya https://twitter.com/trotoarian/status/1026773546998018048

Sejatinya berjalan kaki (apalagi) di trotoar adalah barang baru bagi kebudayaan warga kota Republik Indonesia. saya tidak seutuhnya menyalahkan ibu yang nyolot (pada vidio viral) yang merasa benar karena menggunkaan trotoar pada saat jam padat. Bahkan salah satu rekan saya di kampus ada yang mempertimbangkan hal tersebut sebagai pilihan yang sebenarnya “boleh saja” dilakukan pada saat peak hour. Why Not?. Namun, yang meragukan adaah dukungan para netizen yang menghujat namun sejatinya juga melakukan hal yang sama dalam situasi seperti si ibu. So, we are the same, ar’nt we? wkwk. Tetiba saja berjalan kaki menjadi barang tersier (mewah) yang patut di umbar di media sekelas igstory-snapgram. sejujurnya instagram adalah media pamer yang efektf. trust me, it works.

Sebuah Expresimen: Menguji Rasa Aman

Komunitas Sepeda Surabaya di sisi Taman Bungkul: Parkir Sepeda oleh Oudi

Saat saya memulai expresimen menggunakan sepeda listrik (Migo E-bike) dalam “Pencarian Kebahagiaan” pribadi, banyak pertimbangan yang saya lakukan. Termasuk menanyakan “Apakah aman menggunakan sepeda untuk berjalan2 di Kota?”. Pertanyaan yang sama akan muncul di benak para perawan jalan kaki tentunya. Jam 5:14 saya order migo dari stasion terdekat. Perjalanan dari kosan ke station Migo ini tidak disponsori Trotoar Keren seperti Jalan Jatiwaringin JKT. Tiba di station, basa-basi sedikit dengan petugas, pasang helm kuning (helm project wkwk) lalu “cay” menuju Taman Bungkul.

Tentang Merdeka Berjalan Kaki— Selengkapnya https://timeline.line.me/post/_dVYDtcDZjy2QTbLkjgrXbyjQvDBh9uh1kLo94Qw/1152448516608047524

Perjalanan menuju Bungkul bukanlah pilihan paling “Aman”. setidaknya bagi teman sejawat saya. Dalam perjalanan, tidak ada namanya “mendahulukan pejalan kaki ataupun sepeda onthel” dalam tata krama jalanan. Seringkali saya merasa guilty hingga “mambana” dengan mengangkat tangan sebelum melintas, karena berjalan seperti ini akan menghambat para penguasa jalan, yaitu kendaraan bermotor. i still didn’t find the reason to use bike instead of my sentimental feelings.

Sesampainya di Bungkul, Ujian Rasa Aman II adalah bagaimana cara memarkir Migo sewaan saya di Bungkul hingga saya bisa menikmati suasana Taman tanpa gusar si Migo akan hilang. akhirnya pilihan jatuh pada memarkir di station terdekat karena jukir yang tersedia tidak memberi kesan “silakan parkir disini, aman kok” pada sistem persepsi saya.

1–2 jam menikmati aktifitas masyarakat di Bungkul, saya menemukan banyak celah dalam pendidikan Tata Kota yang saya tuntut, utamanya dalam hal aplikasi ilmu. Saya tidak bisa semena-mena melarang mas-mas disebelah buat berhenti merokok dan menceramahi dengan materi Sustainable Development atau SDG’s, karena they need ciggarates. Hingga hal ini membangun rasa tidak aman pada opa-oma-cucu yang sedang duduk di depan saya. Ujian Rasa Aman III, tentang sektor2 yang tidak aman saat melakukan pemilihan tempat duduk di taman. idealnya memang Taman telah didesain sedemikian rupa agar rasa aman menjadi salah satu asosiasi dari keberadaan taman itu sendiri. Namun bagi formasi opa-oma-cucu tadi tidak aman berada duduk di dekat sekumpulan pemuda yang merokok. No Offense.

Puas dengan mengira-ngira kehidupan orang lain di Bungkul saya terinspirasi untuk menjajal Transportasi baru Surabaya. Pertanyaan yang muncul pada periode ini adalah “Apakah saya bisa pulang dengan selamat hingga ke kosan?” dan saya memilih Suroboyo Bus, bayar dengan sampah atau petugas menggratiskan layanannya. and i choose the second one. Hanya saja rute yang tersedia belum menawarkan perjalanan Barat ke Timur, hanya Utara-Selatan secara ulak-alik. Akhirnya saya memutuskan turun di Jalan Rajawali (JMP dan Kawasan Heritage).

Hotel Arcadia — Ibis Hotel Jalan Rajawali: Surabaya dan Kenangannya oleh Oudi

Kawasan Rajawali merupakan koridor rasa Eropa, berdekatan dengan Kya-Kya rasa Tionghoa dan Pegirian yang berasa Arab. landmark utama mereka adalah Jembatan Merah Plaza. Masih tetang rasa aman, terasa lumayan pada kawasan ini. Saya melihat wisatawan asing turun dari ojek disini. Bersepeda di kawasan heritage Surabaya patut saya rekomendasikan sebagai travel experience yang cukup okesip. Namun, jujurly masih saja ada wangi air seni saat melewati pedestrian disini ditambah lagi dengan gelagat bapak-bapak yang entah kenapa duduk2 pada siku-siku gedung sambil memperhatikan gerak-gerik saya. but, no problem. i’m just an insecure one.

Hingga akhirnya memilih Migo ketimbang Gojek untuk mengantar saya pulang kembali ke kosan tercintah.

Akhir Kata — Defensible Space

Apa yang saya uji dari perjalanan di atas adalah tentang konsep Defensible Space yang dicetuskan oleh Papa Newman (1972). konsep ini sejatinya digunakan untuk menangkal kriminalitas pada kawasan. Namun berlaku jua bagi kawasan bernama “Jalanan”. Pejalan kaki dan Pen-gowes Sepeda adalah mereka yang terdiskriminasi di jalanan selama ini. Saking marjinalnya mereka (masih) belum diberikan fasilitas yang mumpuni. Bersyukur Surabaya memiliki trotoar seluas parkir 1,5 mobil yang masih terlihat baru (karena belum terpakai). Salah satu faktor penting dalam “mengajak” masyarakat membudayakan pergantian moda adalah dengan menghadirkan “keamanan” di jalanan. sehingga jalanan yang aman bagi semua penggunanya adalah perwujudan dari Defensible Space itu sendiri:

“a residential environment whose physical characteristics — building layout and site plan — function to allow inhabitants themselves to become key agents in ensuring their security.”

Maka telah menjadi hak dan kewajiban warga kota untuk memberi kesempatan kepada “Jalanan” menjadi aman bagi semua orang. Semua orang menjadi agen perubahan dalam mewujudkannya, No need to wait goverment applying all of our demand. Just Start Making Impact!

Sedang Berjalan Kaki oleh Oudi

“Beribu-ribu orang bilang ia cinta anak-cucu mereka kelak, namun belum berani merusak kebiasaan buruk yang akan ber-impact pada mereka jua”.

--

--