Upaya (Me)Reformasi Sistem Kesehatan Nasional
Termasuk Pemerataannya di Indonesia Timur
“Jika Kita Mengalami Kecelakaan atau Melihat Seseorang Pingsan Dijalan. Apakah Nomor Puskesmas yang ada di Gmaps dapat dihubungi?”
Tercatat dalam 3 tahun terakhir, “Pandemi Covid-19” menjadi buzzword yang banyak diperbincangkan sejak kali pertama outbreak-nya terjadi di Kota Wuhan pada penghujung tahun 2019. Sebagai salah satu negara yang terdampak, pandemi seakan menjadi jarum pemicu pecahnya gelembung permasalahan pada layanan Kesehatan di Indonesia. Bersama dengan berbagai isu populer lainnya pada sektor kesehatan seperti stunting, vaksin, angka kematan ibu, hingga ketidakmerataan akses layanan kesehatan masyarakat. mahalnya biaya masuk fakultas kedokteran di tanah air, saat ini Indonesia terus melakukan upaya perbaikan pada sektor kesehatan guna menyelesaikan isu tersebut. Demikian, berbagai pihak terus mendiskusikan berbagai keluh kesah dan ide-ide kreatifnya, dari yang sangat strategis di meja rapat hingga usulan nyeleneh di warung kopi sambil ditemani indomie dan goreng dingin. Seluruh proses tersebut yang kemudian menjadi kesadaran kolektif dan berkembang menjadi cita-cita bersama untuk mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas secara merata.
Derajat Kesehatan Masyarakat
Pemerintah melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional dan Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN terus mengupayakan agar derajat kesehatan masyarakat dapat didorong dan dijamin pada tingkatan yang setinggi-tingginya. Berbagai pendekatan telah diupayakan untuk dapat mewujudkan cita mulia tersebut, salah satunya dengan menjadikan indikator kunci pada isu layanan kesehatan menjadi indikasi utama pembangunan pada Dokumen RPJMN 2020–2024. Contoh indikator kunci yang dimaksud pada level Prioritas Nasional (PN) terkait prevalensi stunting, malaria, HIV, tuberkulosis hingga indikator penunjang yang dapat mendorong performa layanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, dan pemenuhan obat. Keseriusan pemerintah dalam memperbaiki layanan kesehatan nasional juga tertuang dalam Major Project (MP) Reformasi Sistem Kesehatan Nasional yang diwujudkan melalui berbagai proyek prioritas di dalamnya.
Konsekuensi logis dari tercantumnya indikator tersebut adalah kewajiban pemerintah untuk dapat memenuhi targetnya, kegagalan pencapaian tentu akan mempengaruhi rapor nilai kinerja pemerintah. Ini senada dalam upaya mendorong political will berbagai pihak untuk bersama mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Belasan pertanyaan dapat disampaikan dan puluhan pembelaan dapat ditembakkan. Namun nyatanya, performa layanan kesehatan kita selama pandemi Covid-19 kemarin menjadi indikasi ketidaksempurnaan sistem layanan kesehatan yang telah terkubur dan menjadi kotak pandora mematikan pada situasi. Salah satu aspek yang paling disorot adalah lemahnya mekanisme tracing dan surveilans, kekosongan kerangka regulasi untuk isolasi wilayah pandemi, kelambatan distribusi obat dan vaksin, kesiapan layanan kesehatan dalam menghadapi ledakan pasien, kesiapan puskesmas sebagai garda terdepan layanan kesehatan yang menjangkau wilayah terpencil dan terluar, hingga ketepatan langkah taktis yang diambil oleh Pemerintah Pusat dalam menangani pandemic (termasuk langkah preventif yang diambil sejak terjadinya outbreak pada Desember 2019 dan langkah taktis penanganan sejak kasus pertama nasional ditemukan pada Maret 2020).
Transformasi Sektor Kesehatan Nasional
Buku Putih Reformasi Sistem Kesehatan Nasional (2022) yang diterbitkan oleh Kementerian PPN/Bappenas merupakan salah satu langkah taktis quick win sebagai respons atas terjadinya pandemi Covid-19. Disisi lain, dokumen ini dapat menjadi rujukan critical path untuk meningkatkan kapasitas sistem kesehatan nasional yang kuat dalam jangka menengah dan panjang guna menciptakan sistem kesehatan nasional yang resilien dan mengantisipasi terjadinya pandemi penyakit di masa mendatang (disease of tomorrow).
Bentuk trasformasi yang ditawarkan mencakup 8 area perubahan pada sektor layanan kesehatan. Dari 8 area tersebut, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) merupakan salah satu poin yang cukup krusial dan perannya dapat menjadi critical path untuk mewujudkan pengendalian penyakit melalui tracing dan surveilans serta penguatan ketahanan kesehatan berbasis masyarakat yang dapat menyentuh level keluarga, seperti klinik dan puskesmas.
Peran Penting Puskesmas
Alih-alih secara kaku menempatkan puskesmas sebatas layanan kesehatan dasar universal, puskesmas memiliki peran yang lebih dinamis mengikuti konteks spasial dan kondisi lingkungan berdirinya sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dapat menjangkau wilayah paling terpencil dan terluar. Sebagai contoh, bagi kita yang terbiasa hidup di lingkungan urban, keberadaan puskesmas seringkali hanya dianggap sebagai formalitas perpanjangan tangan birokrasi untuk dapat melakukan klaim BPJS pada fasilitas kesehatan yang diinginkan. Walaupun sebenarnya terdapat alasan fundamental yaitu untuk mengembalikan peran puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama dan men-desentralisasi-kan sebaran pasien dari rumah sakit pilihan dengan memperhatikan zona layanan puskesmas.
Namun, lain cerita untuk mereka yang berada pada wilayah kabupaten pedalaman di Provinsi NTT atau penduduk yang berada di tengah perkebunan sawit di Provinsi Jambi. Di mata mereka yang membutuhkan waktu lebih dari 90 menit untuk mengakses kota terdekat dengan rumah sakit kelas A, puskesmas sama pentingnya seperti rumah ibadah, mulai dari kegiatan posyandu, penyaluran obat-obatan rutin untuk penderita TB, konsultasi ibu hamil, hingga prevalensi stunting dilakukan dengan mengandalkan puskesmas sebagai titik kumpul dan pusat aktivitasnya. Sayangnya, tenaga kesehatan yang bertugas seringkali lebih memilih untuk bermukim di perkotaan yang cukup jauh dengan puskesmas tempat bertugas sehingga praktik jam efektif layanan puskesmas menjadi lebih terbatas dan masyarakat tidak memiliki opsi berobat darurat pada kondisi kritis. Masalah ini terindikasi dari belum tercapainya upaya pemenuhan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, hingga Q3 2021 baru 56,4% FKTP dan 88,4% Rumah Sakit yang terakreditasi dan masih ada 4,97% puskesmas tanpa dokter.
Kondisi Indonesia Timur
Penulis sepakat dengan premis bahwa pemenuhan layanan dasar di Kawasan Indonesia Timur cenderung lebih menantang, terdapat berbagai faktor kunci yang mempengaruhi situasi ini seperti masih tertinggalnya kualitas dan sebaran infrastruktur, rendahnya IPM, tingginya kasus stunting (yang berkaitan dengan kemiskinan dan angka gizi bayi) dan angka kematian ibu yang mengindikasikan rendahnya derajat tingkat kesehatan masyarakat setempat dan korelasinya dengan kemiskinan ekstrim yang menjadi penyebab sekaligus memperparah situasi tersebut. Informasi ini relevan dengan rilis data oleh Kementerian Kesehatan tentang Prevalensi Stunting berdasarkan Provinsi di Indonesia yang menempatkan 4 provinsi di Kawasan Indonesia Timur (NTT, Papua, NTB, dan Papua Barat) kedalam 6 provinsi dengan tingkat stunting tertinggi di Indonesia.
Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya ketersediaan jumlah tenaga kesehatan yang berasal dari Kawasan Indonesia Timur dan minat tenaga kesehatan untuk mengabdi di Kawasan Indonesia Timur. Sehingga jangan heran jika dapat ditemui puskesmas yang tidak memiliki dokter jaga pada jam operasional. Terlebih jika terdapat undangan rapat di Ibukota yang mewajibkan kepala puskesmas untuk hadir, padahal tidak jarang kepala puskesmas tersebut adalah dokter tunggal pada unit puskesmas yang dipimpinnya.
Permasalahan lain terkait kesehatan masyarakat juga tak terlepas dari persoalan gender. Pada salah satu provinsi di Kawasan Indonesia Timur dapat ditemui budaya patriarki yang dominan. Sangat dominan hingga pihak perempuan tidak memiliki kuasa untuk menentukan kebutuhan layanan kesehatan atas dirinya sendiri. Salah satu bentuk dari budaya tersebut yang pernah penulis dengar dari narasumber adalah …
Seorang Wanita Hamil yang Perlu Menunggu Hasil Rapat Keluarga Besar Hanya untuk Menentukan Apakah perlu dibawa berobat atau tidak, perlu lahir cesar atau tetap dipaksa normal.
Kondisi ini mempengaruhi jumlah angka kematian ibu dan bayi pada provinsi tersebut serta secara tidak langsung berpotensi menyebabkan masalah lainnya. Tidak heran, pada 6 provinsi di Kawasan Indonesia Timur, seluruhnya memiliki angka kematian ibu hingga di atas 250 jiwa pada tahun 2020 (BPS,2021). Secara keseluruhan, Angka Kematian Ibu (AKI) masih berada pada kisaran 305/100.000 kelahiran hidup dan belum mencapai target RPJMN 2020–2024 sebesar 183/100.000 kelahiran hidup. Padahal, salah satu agenda utama SDGs adalah menurunkan angka kematian ibu. Sebagai catatan, Angka kematian Ibu di Kawasan Indonesia Timur mencapai 489/100.000 Kelahiran hidup. Jauh dibawah rata-rata nasional yang hanya 305/100.000 Kelahiran Hidup (BPS,2015). Jika kondisi tersebut marak terjadi, tidak heran apabila isu kematian Ibu dan Bayi menjadi menjadi masalah berkepanjangan di wilayah tersebut.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 oleh Kementerian Kesehatan, angka stunting mengalami penurunan dari 24.4% di 2021 menjadi 21.6% di 2022, dengan Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Sumatera Selatan menjadi tiga provinsi dengan penurunan stunting paling besar. Namun, NTT menjadi provinsi paling tinggi angka stunting se-Indonesia. Dan di saat seluruh provinsi mengalami penurunan, Provinsi Papua, NTT, Papua Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Timur mengalami kenaikan. Dengan demikian, Indonesia perlu mengejar penurunan 3.8% per tahun untuk mencapai target 14% di Tahun 2024.
Best Practice
- Belgia
Belgia merupakan salah satu negara di Eropa dengankualitas layanan kesehatan yang sangat baik (pada beberapa sumber diklaim bahwa lebih baik dari mayoritas negara eropa lainnya). Salah satu indikatornya adalah terjaganya rasio 3,1 dokter per 1000 penduduk, tingginya angka harapan hidup usia di atas 67 tahun di Belgia yang mencapai 16,5% pada tahun 2018 dan diperkirakan meningkat menjadi 22,9% di tahun 2070 dengan tingkat pertumbuhan penduduk terjaga pada 0,5%. Selain itu 99% penduduk di Belgia dapat mengakses fasilitas kesehatan dengan catatan 1% sisanya hanya terkendala oleh masalah administratif untuk dapat mengakses fasilitas kesehatan. Secara umum, sistem layanan kesehatan yang berjalan di Belgia relatif sama dengan yang saat ini sedang diprogram oleh Pemerintah melalui Reformasi Sistem Kesehatan Nasional dan Reformasi Sistem Perlindungan Sosial. Belgia menerapkan konsep layanan sektor kesehatan yang dikelola oleh pemerintah dan swasta, namun untuk mengakses seluruh layanan kesehatan tersebut, masyarakat harus mengikuti asuransi wajib terlebih dahulu (termasuk pekerja asing) sehingga seluruh masyarakat yang ingin mengakses layanan kesehatan di Belgia dapat menikmati subsidi dari asuransi tersebut.
Namun demikian, terdapat beberapa tantangan untuk menerapkan sistem layanan kesehatan Belgia tersebut di Indonesia, seperti perbedaan kondisi geografis antara Indonesia (negara kepulauan) dan Belgia (negara benua). Kemudian seluruh layanan kesehatan tersebut mensyaratkan asuransi dengan potongan wajib hingga 7% dari pendapatan warga negara.
Terlepas dari hal tersebut, terdapat area of improvement yang masih tersedia untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, seperti pemenuhan jumlah dan pemerataan tenaga kesehatan serta infrastruktur penunjangnya (puskesmas), regulasi tenaga kesehatan (dokter, perawat, koas, dll) yang lebih modern, layak pendapatan, berorientasi pelayanan, serta modernisasi bidang keahlian.
2. Jepang
Sebagai negara dengan tingkat ekonomi terbesar ketiga di dunia, Jepang memiliki ekspektasi yang relatif tinggi dalam standar hidup, kesehatan, dan tingkat pembangunan. Pada sektor kesehatan, negara ini telah berhasil membuat terobosan universal sejak sistem asuransi kesehatan didirikan pada tahun 1961. Catatan keberhasilan layanan kesehatan di Jepang antara lain, rendahnya angka kematian akibat kecelakaan, keberhasilan penanganan TB dan Pandemi Covid-19, tingginya angka harapan hidup yang mencapai 79 tahun untuk pria dan 86 tahun untuk wanita (yang kemudian menyebabkan masalah ageing population), seluruh catatan keberhasilan tersebut tidak terlepas dari penerapan universal insurance coverage.
Secara umum, bentuk penerapan layanan kesehatan di Jepang mirip dengan yang telah diterapkan di Belgia dengan penekanan terhadap aspek pemanfaatan teknologi, optimalisasi partisipasi publik, hingga evaluasi berkala terhadap informasi yang diterima dari layanan aduan pasien. Selain itu, bentuk terobosan lainnya yang telah diterapkan oleh Jepang dalam layanan kesehatan adalah dengan menyusun “map health care demand” sejak tahun 2008 yang memberikan peta jalan dan gambaran kebutuhan spesifik layanan kesehatan di Jepang.
Kembali ke Indonesia
Hari ini, Indonesia telah berada pada jalur yang tepat dalam upaya pengembangan layanan kesehatan dengan memadukan layanan pemerintah dan swasta, menetapkan mandatory spending sektor kesehatan di Provinsi dan Kabupaten/Kota sebesar 10 persen APBD, serta memanfaatkan BPJS sebagai asuransi kesehatan universal di Indonesia. Namun, terdapt berbagai area of improvement yang dapat terus diupayakan untuk memperbaiki sistem kesehatan nasional, seperti menyusun peta kebutuhan layanan kesehatan nasional, evaluasi berkala keluhan masyarakat, dan reorientasi tenaga kesehatan serta penataan kembali sistem penempatan serta pembayarannya.
Namun, terdapat catatan khusus untuk pemenuhan layanan kesehatan di Indonesia Timur yang masih terkendala kebutuhan layanan dasar seperti infrastruktur jalan, air, dan listrik. Perlu strategi khusus (yang mungkin adalah satu-satunya di dunia) untuk mengentaskan masalah ini dengan kondisi fiskal yang terbatas seperti melalui pemanfaatan jejaring rumah ibadah untuk menyalurkan layanan kesehatan, rumah sakit terapung, dan lain-lain. Masalah lain yang perlu dihadapi adalah kentalnya budaya setempat yang bisa jadi kontradiktif dengan cita peningkatan derajat kesehatan nasional. Dalam hal ini, perlu upaya kolektif berbagai pihak untuk segera menyelesaikan masalah-masalah khusus pada sektor kesehatan di Indonesia Timur.
Disparitas Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan
Terakhir, pada hakikatnya layanan kesehatan tidak hanya tentang jumlah tenaga kesehatan, sebaran puskesmas, maupun jumlah rumah sakit terakreditasi. Terkadang indikator yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat adalah hal sederhana yang sering terlewat seperti kemudahan dalam mengakses dan berkomunikasi dengan fasilitas kesehatan di situasi darurat. Mungkin saja, indikator sektor kesehatan yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat mencakup indikator yang sifatnya menentukan kualitas layanan
Persentase Puskesmas dengan nomor darurat 24 jam dan telah tercantum pada aplikasi google maps.
atau
Waktu Respons Atas Telepon Darurat Kesehatan 24 jam
Bagi penulis pribadi, perkembangan layanan kesehatan hari ini telah menunjukkan perubahan yang sangat positif dan dapat dirasakan. Namun kita tidak dapat berpuas diri begitu saja dan perlu lebih sensitif untuk mendengarkan keluh kesah kebutuhan dan masukan konstruktif khususnya pasca efektif berlakunya sistem zonasi layanan kesehatan melalui BPJS.
Editor: Lala
Referensi
2022. Buku Putih Reformasi Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Gerkens,Sophie. 2020. Belgium Health System Review. Copenhagen:World Health Organization.
Sakamoto, Hakura. 2018. Japan Health System Review. India: World Health Organization.
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Perpres 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional