Recycle

Why So Scenius?

Bergabung di Scenius: Pusat “Kemajuan” yang Menular

A. Zuhdi
Urban Reason

--

Silicon Valley Sitcom Intro Picture (2017)

*Disclaimer*
Tulisan ini pernah diterbitkan secara cuma-cuma di Line Official Account
Urban Reason pada 26 Desember 2017.

Kata Buku yang Penulis Temukan

Sesekali manusia jenius akan bergabung dengan “kumpulan” (dalam hal ini) seniman visioner di sebuah kota yang dianggap sebagai episentrum budaya pada masanya. Untuk menggambarkan fenomena ini, musisi dan produsen Brian Eno menciptakan istilah “Scenius”, yang mengenalkannya ke dalam leksikon (koleksi satuan bahasa yang mewakili suatu konsep atau simbol tertentu pada suatu bahasa) pada Festival Lumninous 2009.

Menurut Brian, kini dan di waktu-waktu yang akan datang, terdapat

“komunitas (scene) yang sangat subur yang melibatkan begitu banyak orang –ada seniman, ada kolektor, ada kurator, ada pemikir, teoritis, orang-orang modis dan tahu tren yang sedang melanda — segala macam orang yang menciptakan ekologi orang-orang berbakat. Dan dari ekologi itu, muncul beberapa karya yang bagus.”

Jadi, scene + genius = Scenius.

Pernahkah anda bertanya-tanya bagaimana orang-orang jenius seperti Leonardo Da Vinci dan Michelangelo kebetulan berada di Florence, Italia, pada waktu yang bersamaan?

Belum lagi di masa now ini, Mark Zuckenberg (FB), Larry Page-Sergey Brin (Google), Jerry Yang (Yahoo), John Warnock (Adobe), Sanjay Mehrotra (Sandisk) hingga Trip Hawkins (EA) muncul secara terpusat di suatu wilayah yang sama, Silicon Valley, US. Dalam bukunya The Geography of Genius, Erick Weiner mencatat dua kualitas yang mendorong terbentuknya “Scenius” dan menunjuk Frienze/Florence di masa Renaisans sebagai berikut, yaitu:

(1) Keterbukaan terhadap inovasi; dan
(2) Keterbukaan untuk menerima orang luar berbakat.

Seperti yang Weiner katakan dalam sebuah wawancara di PBS News Hour,

“Orang-orang menghayati bekal dan gagasan intelektual orang lain. Mereka saling berbagi ide. Ada cukup kepercayaan untuk berbagi gagasan, tapi terdapat pula ketegangan yang cukup untuk memantikkan ide-ide”.

Erick juga menunjuk ke Wina pada akhir abad ke-18, ketika Beethoven, Mozart, dan Haydn menancapkan kiprah mereka. Namun demikian, tidak satupun dari mereka dibesarkan di sana. Mereka semua adalah imigran. Semangat inovasi Wina menarik seniman-seniman ini dan seniman lainnya ke kota, dan begitu mereka pindah ke sana, mereka membantu mengubah kota menjadi sarang budaya.

Kini sebuah Scenius untuk para penulis telah bermula di Brooklyn, untuk musisi ada di Philadelphia, untuk sutradara ada di Austin, dan para Insinyur software di Sillicon Valley. Energi dari Scenius bisa membuat anda merasa terangsang dan mengilhami anda untuk bergabung dalam percakapan artistik-futuristik yang seru di sekitar kita. Di kedai kopi, di toko buku, di galeri seni, di kubus meja kerja kita, dan di tempat-tempat bawah tanah. Kita berada di tempat istimewa, di momen yang istimewa. Jadi, pastikan kita menarik sesuatu dari sumber daya yang mengelilingi kita dan luangkan waktu, energi, dan pemikiran inovatif anda sendiri dari Scenius. It’s A Centre of Exellent!

Cyberjaya dan Bukit Algorithma

Ekologi Scenius telah coba diterjemahkan mulai dari negara dunia ketiga hingga negara-negara Asia Tenggara yang terkenal akan DNA agrarianya. Malaysia pada tahun 2006, telah menyelesaikan fase pertama pembangunan Cyberjaya yang dimulai dari hamparan lahan 1.430 ha di bekas lokasi Prang Besar (Great War). Terletak pada super koridor / Koridor Raya yang menghubungkan menara ikonik Twin Tower Petronas, Bandara KLIA, dan Cyberjaya itu sendiri. Ketika spot penting ini menjadi segitiga eman dan masing-masing terkonsentrasi sebagai sebuah hub.

Cyberjaya, Wikipedia

Cyberjaya telah menarik talenta-talenta dari berbagai negara, negara ketiga khususnya, untuk belajar dan bekerja di sekitar Cyberjaya. Universitas termahsyur di dalam lingkup koridor MSC adalah Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). UKM sendiri telah menarik banyak minat pelajar dari berbagai negara untuk menimba ilmu disana. Ditambah dengan ketersediaan kesempatan kerja yang mumpuni yang tidak jauh dari universitas. Bagai setali tiga uang, talenta-talenta muda dapat mimilih Cyberjaya menjadi masa depan mereka. Sebuah hub bertaraf global yang mungkin akan menjadi pusat global pada kawasan Asia Tenggara — A Global City.

Permasalahan pada pusat global biasanya terkait terhadap isu segregasi sosial. Azudin N. et al (2009), berpendapat bahwa terjadinya sharing informasi diantara para pekerja di Cyberjaya tidak begitu baik, setidaknya pada masa-masa awal operasi Cyberjaya. Pekerja cenderung memiliki dua norma sosial berbeda saat di tempat kerja dan ketika pulang ke rumah masing-masing. Hal ini menunjukkan, di tengah-tengah masyarakat Malaysia yang telah menjadi multi-racial society akan ditambah dengan permasalahan bawaan dari para pekerja imigran dalam bentuk lain seperti TKI dan pekerja imigran dari negara lainnya.

Bukit Algoritma, Google Maps.

Bukit Algoritma adalah Cyberjaya-nya Indonesia. Setelah ide utopis yang melangit seperti Bandung Technopolis, KORIDOR co-working Space, hingga Gerakan 1000 start-up Indonesia, Bukit Algoritma ikut masuk sebagai progam bergenre silicon valley lainnya. Ide Bukit Algoritma berawal dari kampanye teknokratis Budiman Sujatmiko dalam bentuk gerakan Inovator 4.0. Singkatnya, gerakan yang mengoptimalkan peran inovator-inovator yang berbasiskan revolusi global 4.0 — Revolusi Informatika. Pada tahun 2021, pembangunan bukit algoritma telah disepakati bertempat di sebuah bukit dekat Cikidang Plantation di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Era Digital Nomad dan Work From Home

Yang kuat yang mendominasi.

Blue Passport atau Paspor Biru merupakan kartu tanda penduduk dunia yang paling kuat jika dibandingkan dengan jenis paspor lainnya. Paspor Biru setidaknya dimiliki warga negara Amerika Utara, sebagian Amerika Tengah, dan sebagian negara Eropa. Paspor Biru identik dengan daya jelajah warga negara yang luas dalam perkara keluar-masuk negara asing. Para backpacker merupakan bukti nyata bahwa some country could be so strong, they don’t even need particular permit to go someplace that is not their country territory.

Digital nomad pada dasarnya merupakan bentuk baru dari backpacker. Backpacker yang biasanya bertahan hidup dengan melakukan pekerjaan lokal negara yang mereka kunjungi sekarang menjadi pekerja digital yang dapat menerima client dari manapun sepanjang terkoneksi ke dalam jaringan internet global. Kondisi bekerja jauh dari lokasi pemberi kerja ini sering disebut work from home. Bali, merupakan salah satu lokasi terbaik untuk menjadi aktor dari kedua tokoh drama ini.

Bali dan kampanye work from bali muncul pada era pandemi covid-19 yang meruntuhkan banyak penghidupan masyarakat. Pekerja lokal yang mampu bekerja secara jarak jauh disarankan untuk bekerja dari tempat-tempat yang tadinya merupakan episentrum pariwisata.

Di sisi lain, para wisatawan manca negara yang berdatangan sebelum pandemi dan terjebak di Bali mau tak mau harus bekerja secara daring. Para digital nomad yang terjebak ini kemudian meng-encourage para people of the world untuk mengikuti gaya kerja mereka.

Datanglah ke Bali, tempat yang indah, infrastruktur yang memadai, amenitas lengkap, dan tentu saja tidak ada peraturan lokal yang merugikan pekerja nomad. Pada akhirnya, Bali-lah yang telah menarik para pendatang musiman yang berbakat ini.

So, Why so scenius?

Agar supaya kita bisa bersaing dalam jaringan kota-kota global yang tidak lagi mengenal batas geografis.

Silicon Valley Sitcom Intro Picture (2017)

Editor : Qonitah Rafiusrani

Referensi:

[1] Meta Wagner (2017)What’s Your Creative Type,Grasindo: Jakarta
[2] Erick Weiner (2016) The Geography of Genius, Mizan: Bandung
[3] Eko Laksono (2013) Metropolis Universalis, Elex Media Komputindo: Jakarta

--

--