10 Ahli UX Internasional yang Harus Anda ikuti untuk Belajar UX

Josh (Adi Tedjasaputra)
UX Indonesia
Published in
6 min readOct 3, 2018

Belajar UX langsung dari para Ahli UX seringkali terkendala oleh waktu, biaya, tempat ataupun kesempatan. Untungnya, media sosial dan online lainnya bisa menjadi sarana yang efektif untuk belajar dari para Ahli UX. Yang dibutuhkan dari kita hanyalah pikiran yang terbuka untuk belajar hal-hal yang baru ataupun belum dimengerti dalam hal UX.

Tentu saja sekarang sudah banyak di Indonesia yang mengaku sebagai seseorang dengan profesi “UX”, “UI/UX”, ataupun “UX/UI” hanya dengan berbekal pengalaman di bidang Desain Grafis ataupun Desain Komunikasi Visual. Kebanyakan mendapatkan kesempatan mendapatkan menyandang titel “U” dikarenakan perusahaan yang menggajinya tidak tahu arti UX atau tahu tetapi tidak ada pilihan, dengan kata lain “better than nothing”, atau yang bersangkutan memberikan titel sendiri saja.

Hati-hati dengan Penyesatan oleh Ahli Palsu

Dengan kenyataan bahwa hampir tidak ada profesional “U” di Indonesia yang mempunyai pengalaman lebih dari 10 tahun, menyebabkan banyaknya kerancuan mengenai pengertian UX yang merusak profesi “U” di Indonesia. Kerancuan ini mempercepat penyebaran mitos dan hoaks oleh banyak profesional “U” yang masih kurang pengetahuan dan pengalaman ini.

Sebagai contoh, berikut adalah sebuah pernyataan di media sosial yang menyesatkan:

“‪Most users don’t have the language to say what they want, not to mention what they need, until you ask them the right questions. So you should spend some time to brainstorm the questions before the solutions.”

atau dalam terjemahan kasarnya:

“Kebanyakan pengguna tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang mereka inginkan, apalagi yang mereka butuhkan, sampai Anda memberikan pertanyaan yang benar kepada mereka. Jadi Anda harus menghabiskan waktu untuk brainstorm pertanyaan-pertanyaan tersebut sebelum solusinya.”

Mengapa pernyataan di atas menunjukkan bahwa si profesional “U” ini tidak mengerti metoda dan prinsip UX dengan baik:

  1. Asumsi yang digunakan oleh si profesional “U” bahwa “kebanyakan pengguna tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang mereka inginkan ataupun butuhkan” hanyalah sebuah “ASUMSI” belaka. Hal ini mungkin merupakan sebuah interpretasi jiplakan yang tidak kontekstual dari Steve Jobs “A lot of times, people don’t know what they want until you show it to them” atau Henry Ford “If I had asked people what they wanted, they would have said faster horses”, yang mungkin juga merupakan suatu mitos (Henry Ford, Innovation, and That “Faster Horse” Quote).

Jelas sekali asumsi yang digunakan oleh si profesional “U” ini menunjukkan bahwa dia telah menggunakan metoda UX yang salah untuk menggali kebutuhan atau keinginan pengguna, yaitu metoda Interview.

Ada banyak metoda yang bisa dipakai untuk menggali kebutuhan atau keinginan pengguna, tetapi Interview bukanlah selalu metoda yang sesuai dipakai, walaupun Anda sudah mempunyai “pertanyaan-pertanyaan yang benar” sekalipun. Metoda Interview lebih sesuai apabila kita ingin menggali persepsi dan nilai-nilai yang dimiliki oleh pengguna, dan juga membangun empati terhadap pengguna, tetapi bukan untuk menggali kebutuhan atau keinginan pengguna secara langsung dan efektif.

Sebuah contoh yang menarik adalah ketika Microsoft bertanya kepada pengguna untuk memberikan saran fitur baru yang diinginkan untuk Office 2007. Ternyata dari hasil interview, banyak fitur-fitur yang disarankan oleh pengguna ternyata sudah ada di Office 2003. Permasalahannya bukan karena pengguna tidak tahu apa yang mereka inginkan, tetapi karena mereka tidak bisa menemukan yang mereka inginkan di Office 2003 (Interviewing Users).

2. Si professional “U” mengindikasikan bahwa untuk mendapatkan “pertanyaan-pertanyaan yang benar”, Anda harus menghabiskan waktu untuk brainstorm pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Proses UX adalah proses yang berfokus pada pengguna (User-centered). Apabila untuk mendapatkan pertanyaan-pertanyaan Interview, Anda harus melakukan Brainstorm atau Brainstorming, Anda bukan hanya membuang waktu, tetapi hanya membuat pertanyaan-pertanyaan berdasarkan asumsi Anda dan tim Anda. Mungkin lebih berguna apabila Anda melakukan Brainstorm atau Focus Group dengan pengguna. Tetapi kalau kita sudah mulai dengan asumsi bahwa “Kebanyakan pengguna tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang mereka inginkan, apalagi yang mereka butuhkan”, maka hal ini merupakan “Catch 22”.

10 Ahli UX Internasional

Untuk sejenak, mari kita lupakan profesional-profesional “U” yang masih hijau atau sesat tersebut yang sudah berjamuran di berbagai perusahaan besar dan kecil di Indonesia, bahkan Singapura. Mari sekarang mengenal para Ahli UX internasional dan mulai belajar UX dari mereka yang sudah terbukti pengetahuan dan pengalamannya.

Don Norman. Sering disebut sebagai Bapak “UX”, dia adalah Direktur The Design Lab di the University of California, San Diego, IDEO fellow, dan juga mantan Vice President dari Apple. Bukunya yang terkenal adalah Emotional Design dan The Design of Everyday Things.

Daria Loi. Wanita yang selalu ceria ini bekerja sebagai Direktur Senior di Intel. Sebagai salah satu praktisi terkemuka di bidang AI dan UX, tahun ini dia menjadi Keynote di beberapa kota dalam acara CHIuXiD 2018. Jangan lewatkan video-video terbarunya terkait UX dan AI.

Genevieve Bell. Sebagai pelopor UX di Intel, wanita dengan pendidikan dan latar belakang Antropologi yang sangat kental sudah menghasilkan banyak paten dan pernyataannya yang terkenal terkait AI, yaitu: “Humanity’s greatest fear is about being irrelevant” atau “Ketakutan manusia yang paling besar adalah menjadi sesuatu yang tidak lagi relevan”.

Jakob Nielsen. Bapak “Usability” atau “Kebergunaan” ini terkenal dengan hasil penelitiannya yang masih relevan sampai sekarang, yaitu bahwa pada umumnya hanya dibutuhkan 5 peserta penelitian kebergunaan untuk mendapatkan hasil yang berguna.

Elizabeth Churchill. Sebagai Direktur UX di Google dengan pengalaman segudang, dia merupakan salah satu karakter langka yang menghasilkan publikasi ilmiah berkualitas tinggi dan produk yang mempunyai dampak luas di dunia. Sebagai Keynote di CHIuXiD 2016, dia merupakan salah seorang yang bertanggung jawab dalam mensukseskan penelitian di Google Material Design.

Jesse James Garrett. Dia terkenal dengan diagramnya yang menggambarkan 5 (lima) elemen UX atau “Elements of UX” yang masih dipakai sebagai acuan untuk memperkenalkan konsep UX dengan gamblang di seluruh dunia. Tidak heran bukunya sudah menjadi acuan de facto dalam menjelaskan konsep UX kepada pemula.

Jared Spool | Foto: Eirik Helland Urke

Jared Spool. Ujaran-ujaran yang lucu dan menarik dari Jared di media sosial merupakan penghibur dan inspirasi bagi banyak praktisi UX di seluruh dunia. Sebagai salah seorang penulis yang cukup aktif dengan kategori “Pop UX”, para praktisi UX bisa belajar sambil terhibur.

Alan Cooper. Bapak “Persona” ini terkenal juga sebagai “Bapak Visual Basic”. Sebagai sebuah legenda yang hidup, pada tahun 2017, namanya diabadikan sebagai “Computer History Museum’s Hall of Fellows”.

Luke Wroblewski | https://www.lukew.com/about/

Luke Wroblewski. Sebagai seseorang yang mempunyai spesialisasi di produk digital, Luke mempunyai ide-ide yang inspiratif. Banyak sekali ide-ide praktisnya yang bisa langsung dipakai dalam berbagai produk digital.

Eunice Sari. Dengan pengetahuan dan pengalamannya yang hampir 20 (dua puluh) tahun di bidang UX dengan lokasi di empat benua (mungkin tahun ini menjadi 5), Eunice mempunyai berbagai macam teknik dan strategi UX di dalam sakunya yang dengan mudah dapat diaplikasikannya di berbagai industri. Sebagai CEO dan Co-Founder UX Indonesia, dia merupakan pelopor UX di Indonesia dan Asia Pasifik.

--

--

Josh (Adi Tedjasaputra)
UX Indonesia

As a Google Mentor and Certified Design Sprint Master, Josh has a passion for the design, development, and use of ICT in solving business and humanity problems