Dari Sarjana Ekonomi Menjadi Desainer Produk Digital

Sebuah panduan untuk beralih ke bidang lain yang lebih Anda cintai.

Jufry Heryanta
uxmarker
7 min readMar 17, 2020

--

Photo by Pawel Janiak on Unsplash

Pertanyaan “Bagaimana ya cara mendesain dan mengimplementasikan ke dalam sebuah website?” mengantarkan saya menjadi seorang yang mencintai dunia desain produk. Tahun 2015, saya mulai mengenyam pendidikan di Universitas Brawijaya. Karena tertarik untuk mengetahui bagaimana suatu bisnis berjalan, saya memutuskan untuk mengambil Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Jurusan Manajemen dengan konsentrasi pemasaran.

Namun, seiring berjalannya waktu, setelah mempelajari dan bekerja pada bidang ekonomi, saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan tidak selaras dengan apa yang saya inginkan. Pekerjaan saya di bidang ekonomi sangat monoton dan berulang. Kreativitas yang ada pada diri saya tidak bisa tereksplorasi dengan baik. Pada titik tersebut, saya tahu bahwa saya harus melakukan perubahan, tetapi saya benar-benar tidak tahu tentang jalan mana yang harus diambil.

Suatu saat, teman saya yang bernama Ibe datang menemui saya. Dia mengajak saya untuk bergabung dengan timnya. Ibe memiliki ide untuk membangun sebuah platform jual-beli. Selanjutnya, tim kami bertambah satu orang, namanya Ibenk. Ia mempunyai latar belakang developer. Saya mempunyai tugas untuk mendesain sebuah website. Dari sinilah muncul sebuah pertanyaan dari diri saya, “Bagaimana cara mendesain dan mengimplementasikan ke dalam sebuah website?”. Waktu itu saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan, karena background saya sebagai seorang ekonomi. Akhirnya, saya mencoba untuk belajar secara otodidak melalui internet. Saya mulai mencoba semua tools dan saya memahami bahwa ternyata saya memerlukan banyak SKS untuk bisa melakukan hal ini :)) Pelan-pelan saya mengasah kemampuan mendesain produk digital.

Kemudian, untuk mendalami pada bidang tersebut, saya magang di sebuah agensi desain produk yang bernama uxmarker. Selama proses pembelajaran di uxmarker, saya menemukan sebuah “ikigai”. Menurut wikipedia, Ikigai adalah istilah Jepang untuk menjelaskan kesenangan dan makna kehidupan. Pada dasarnya, ikigai adalah alasan mengapa Anda bangun di pagi hari. Saya sangat bersemangat dan fokus untuk belajar lebih jauh lagi tentang dunia desain produk. Selama bekerja, saya tidak membenci hari Senin seperti yang dialami orang-orang. Saya malah menunggu hari Senin untuk menemukan tantangan apa yang akan saya hadapi selanjutnya.

Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat membantu Anda bertransisi ke bidang lain:

1. Mencoba untuk Cepat Beradaptasi

Photo by Gian Prosdocimo on Unsplash

Salah satu syarat penting ketika Anda memasuki dunia baru adalah dapat beradaptasi dengan cepat. Cara beradaptasi dengan dunia desain produk adalah dengan mengidentifikasi persamaan antara dunia ekonomi yang sudah pernah dipelajari dengan dunia desain produk. Saya memiliki pandangan, bahwa strategi pemasaran atau manajemen mengajarkan betapa pentingnya penelitian di dalam ekonomi. Sama seperti ketika mempelajari desain produk, ekonomi dan desain produk berorientasi pada penelitian, baik itu secara kualitatif maupun kuantitatif, keduanya dapat saling mendukung satu sama lain. Misalnya ketika saya kuliah dan sedang mengerjakan tugas akhir, saya melakukan beberapa penelitian menggunakan metode survei, wawancara, maupun focus group discussion. Beberapa metode yang sudah saya sebutkan tadi dapat digunakan pada penelitian yang digunakan untuk desain produk.

“Carilah kesamaan di antara dua keterampilan yang berbeda, maka Anda akan cepat beradaptasi.”

2. Sisihkan Waktu untuk Belajar

Photo by Thought Catalog on Unsplash

Saya mulai mempelajari desain produk secara otodidak. Mulai dari membaca buku, mendengarkan podcast, hingga menonton video pembelajaran, semua saya lakukan. Setelah saya mempelajari tentang desain produk, saya jadi tahu bahwa ternyata dunia ini sangat luas. Karena di dalamnya kita akan membicarakan tentang “user experience”. User experience saat ini mengalami penyempitan arti. Banyak orang salah mengartikan tentang apa itu “UX”. Banyak yang salah kaprah karena mengartikan bahwa UX hanyalah pengalaman pengguna yang dibatasi pada sebuah aplikasi. Sedangkan UX sendiri sebenarnya sangat luas, tidak bisa dibatasi hanya dengan sebuah medium aplikasi saja.

Saya berpendapat bahwa di bidang ini kita dituntut untuk belajar secara terus menerus karena “design is a never ending process”. Akan ada seseorang yang dapat menggantikan atau mengubah desain Anda dengan yang lebih baik. Maka dari itu, saya selalu berusaha memperbaharui ilmu saya melalui salah satu platform yaitu Medium *(walaupun tidak semua artikelnya memiliki kualitas yang baik) :p atau dengan mengikuti kursus online. Hal ini tidak hanya memberikan informasi yang “up to date” dengan tren teknologi dan desain terbaru, tetapi juga membantu menjembatani kesenjangan pada pengetahuan.

“Selalu update ilmu Anda tentang dunia desain, karena “design is a never ending process”.”

3. Menemukan Seorang Mentor atau yang Lebih Senior pada Bidangnya

Photo by bonneval sebastien on Unsplash

Selama belajar sendiri tentang desain produk secara otodidak, banyak informasi yang saya terima namun saya sering gagal paham dalam memahaminya, sehingga kurang tepat dalam mengimplementasikan informasi tersebut. Setelah saya masuk di agensi, otomatis saya mempunyai senior sekaligus mentor yang dapat membantu saya dalam memahami informasi yang saya terima berdasarkan pengalaman mereka.

Peran seorang mentor maupun seorang teman yang lebih senior sangat penting dalam perkembangan diri saya. Karena setiap orang yang sudah profesional di bidangnya telah melewati banyak tantangan. Oleh sebab itu, pengalamannya akan sangat membantu perkembangan Anda. Mereka akan membantu menuntun Anda ke arah mana saja yang harus diambil dan mendorong Anda untuk keluar dari zona nyaman.

“Setiap orang yang sudah profesional di bidangnya telah melewati banyak tantangan dan oleh sebab itu pengalamannya akan sangat membantu perkembangan Anda.”

4. Practice Makes Perfect

Photo by Nourdine Diouane on Unsplash

Pernah suatu saat saya kebingungan untuk menentukan jumlah narasumber yang harus saya ambil. Karena berdasarkan beberapa buku yang pernah saya baca, disebutkan bahwa jika kita ingin melakukan penelitian menggunakan metode kualitatif, kita hanya perlu satu sampai dua orang. Tetapi ada yang menjelaskan enam sampai dua belas orang, ada pula yang menjelaskan sampai seratus orang lebih untuk melakukan penelitian kualitatif. Pada akhirnya, saya menemukan tulisan dari Norman Nielsen, dua orang yang expert pada bidang user experience menjelaskan tentang berapa jumlah responden yang dibutuhkan untuk menilai sebuah desain. Dalam tulisannya, Norman Nielsen menjelaskan jika kita memerlukan lima orang sebagai responden. Angka 5 (lima) disebut angka “magic” bagi mereka. Kenapa angka 5? Karena jika kurang dari lima orang, pola user belum dapat terlihat. Sedangkan jika lebih dari lima, pola user sudah kelihatan dan akan percuma jika dilanjutkan.

Banyak teori menjelaskan tentang jumlah orang yang harus menjadi responden untuk penelitian kualitatif. Saya sangat menyukai pendapat Norman Nielsen, bukan fokus pada angka magicnya, bukan begitu. Melainkan fokus pada pola yang kita cari. Tidak penting seberapa sedikit atau seberapa banyak orang yang akan Anda jadikan responden, tapi tetap lakukan itu sampai polanya terlihat. Banyak faktor juga yang dapat mempengaruhi jumlah responden, beberapa contohnya disebabkan karena keterbatasan waktu, biaya dan lain-lain.

Teori memang penting, namun jika teori tersebut tidak bisa diimplementasikan, maka akan sia-sia dan Anda akan kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan. Apakah Anda sering mendengar “practice makes perfect”? Ya, semua akan semakin kuat jika terus dilatih. Begitu pula pada bidang ini, semakin banyak Anda melakukan praktek maka semakin membuat Anda lebih baik. Mulailah mempraktekkan apa yang sudah dipelajari. Praktek akan membantu memoles keterampilan Anda supaya menjadi lebih baik lagi.

“Praktek! Praktek! Praktek! Karena Tidak Semua Teori Dapat Diterapkan dalam Semua Aspek.”

5. Segera Membuat Portfolio dan Berceritalah di Dalamnya

Photo by Green Chameleon on Unsplash

Portfolio merupakan kumpulan hasil karya yang sudah pernah dikerjakan oleh seseorang. Portfolio bagi saya merupakan aset terpenting bagi seorang desainer. Karena portfolio berfungsi untuk mempresentasikan karya kepada calon client atau calon perusahaan. Anda dapat menunjukkan kemampuan dalam menceritakan proses dan menyelesaikan suatu masalah. Jika belum memiliki pengalaman sebelumnya, Anda bisa membuat “fake project” untuk menceritakan proses Anda dalam menyelesaikan masalah. Namun jika Anda sudah lama bekerja pada bidang ini, akan lebih baik jika Anda menggunakan proyek yang sudah pernah Anda kerjakan karena itu dapat memperlihatkan kontribusi yang Anda berikan pada proyek tersebut.

Sebagai desainer, saya menganggap bercerita disini tidaklah mudah. Saya dituntut untuk bisa menceritakan sebuah proses dengan baik dan runtut dari awal sampai akhir. Cara untuk mengatasi kesulitan tersebut adalah dengan banyak membaca studi kasus. Membaca studi kasus dapat membantu saya merangkai ide dan menceritakannya dengan baik ke dalam tulisan .

“Portfolio berfungsi untuk menunjukkan kemampuan dalam menceritakan sebuah proses dan menyelesaikan suatu masalah.”

Kesimpulan

Pepatah mengatakan “No one is too old to learn”. Tidak ada kata terlambat untuk memulai suatu hal baru. Semuanya membutuhkan proses. Anda tidak bisa hanya sekali mengikuti workshop dengan embel-embel “Satu Hari Langsung Jago!” kemudian Anda langsung jago pada suatu bidang. Dalam perjalanan, akan ada banyak rintangan yang harus dihadapi dan Anda akan belajar dari rintangan tersebut. Terakhir, belajarlah sejak dalam buaian hingga sampai ke liang kubur. Jangan pernah berhenti untuk belajar!

Terima kasih telah membaca sampai selesai! Saya berharap kamu menikmatinya. Jika Anda memiliki umpan balik atau hanya ingin mengobrol, kirimkan saya pesan di jufryheryanta@gmail.com atau terhubung di LinkedIn.

uxmarker was founded with one mission mind: creating the best and most reliable user-centered design for our clients. Here in our HQ, we deal with a wide range of design avenues on every product platform. To ensure a satisfying product experience, our dedicated team generate data from curated user research methods and analyze them to find and fix various design obstacles. With our ingenious ideas and tested skill, we believe we can help make your products a pleasure to work with.

Keep in touch with us :

LinkedIn| Facebook | Instagram | Twitter | Dribbble | Contact Us

To help spread the word about uxmarker, please give it applause, share this story, and don’t forget to follow us! See you next week everyone.

If this article resonated with you and you’d like to buy me a virtual coffee, you can do so here!

--

--

Jufry Heryanta
uxmarker

A full time designer. Currently designing things at Tokopedia.