Tentang Empathy

Rudityas Wahyu
uxmarker
Published in
6 min readFeb 6, 2020

Jadi UX Designer yang Penuh Empati Memang Perlu, tapi…

Photo by Tim Marshall on Unsplash

“Segitu pentingnya, ya, empati dalam dunia design, sampai-sampai kalau udah paham soal empati bakal membuatmu jadi TOP-TIER Designer?”

Adegan paling “basi” yang mungkin terjadi di antara dua orang yang saling jatuh cinta adalah ketika salah satunya membuat masakan spesial untuk kekasih. Mau bagaimanapun rasa masakan itu setelah siap saji di atas piring, sang kekasih bakal menghabiskannya dengan lahap dan menggeleng-gelengkan kepala kalau ditanya, “Keasinan enggak?”.

Sesungguhnya, pertanyaan “Keasinan enggak?” bisa jadi bukan sekadar basa-basi belaka. Sebagai tukang masak dadakan, seseorang tentu ingin tahu apakah hasil karyanya bisa memuaskan targetnya. Hal ini — kalau kita cocok-cocokkan dalam dimensi cocoklogi di dunia para UX designer — tentu jadi relate banget, khususnya pada apa yang disebut sebagai empati.

Sekitar satu-dua tahun yang lalu, saya mengikuti beberapa acara semacam conference dari beberapa organisasi dan start-up di bilangan Jakarta Selatan dan sedikit pusat. Dari keseluruhan acara yang saya ikuti, setidaknya ada kesamaan bahasan yang bisa saya tarik. Pembicara-pembicara di dalamnya selalu menekankan perihal empati dan menjadikannya sebagai sesuatu yang sakral. Tapi, saya jadi bertanya-tanya sendiri: Apakah benar empati segitu vitalnya dalam bidang UX Design dan menjadi satu-satunya aspek yang bakal memuaskan target dan user kita?

Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan sudut pandang yang lain.

**Bebas kan? Namanya juga bikin tulisan buat pencitraan**

Menurut KBBI, empati adalah “keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain”. Dalam dunia para designer, keadaan ini punya kekuatan yang cukup besar untuk menggambarkan pemahaman UX designer pada para user, bahkan kadang terlalu besar sampai-sampai rasanya dia bakal mengantarkanmu menjadi top-tier designer dalam satu kali balikan tangan.

Seberapa penting empati bagi UX designer?

Seperti LebahGanteng yang kondang di dunia subtitle gratis film-film download-an, pekerjaan UX designer juga serupa seorang penerjemah. Bedanya, mereka enggak membuat data yang dijabarkan di bagian bawah film favoritmu, melainkan membawa ide dan konsep tertentu ke dalam tampilan visual yang lebih konkret, mulai dari wireframe hingga protopie, *eh Prototype.

Ada peribahasa yang mutlak berlaku: “Tak kenal, maka tak sayang”. Namun, dengan izin Tuhan YME, peribahasa ini saya ellaborate menjadi:

“Tak kenal, maka tak sayang; kalau enggak sayang, gimana caranya bisa bikin nyaman?”.

Nah, untuk bisa memahami user, para designer harus mengenalnya mendalam, termasuk soal latar belakangnya, apa saja yang dia butuhkan, dan bagaimana kita semestinya bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Yah, meski terdengar seperti job description seorang bucin, tapi memang begitu itulah nasib UX designer. Mamam tu.

Tapi, ada beberapa hal yang kadang-kadang luput, bahkan oleh pemikiran para so-called “top-tier designers” tadi, yaitu…

…bahwa menciptakan desain hanya dengan berdasarkan empati pada end user justru bakal membuatmu menjadi seorang designer pasif.

…belum semua environment siap dari sisi teknologi maupun sumberdaya manusia untuk mengakomodir hal tersebut.

Ya, ya, memanglah benar bahwa sebuah desain yang dibuat dengan penuh empati bakal menyentuh hati target pasar dengan segera, persis seperti sepiring makanan hangat yang baru saja dimasak seseorang untuk kekasihnya waktu mereka baru jadian tiga bulan. Desain dengan empati itu, kan, dibentuk melalui sebuah proses observasi, survei dan juga grup diskusi. Para calon pengguna menyampaikan apa yang mereka butuhkan, selagi para UX designer turut mengamati reaksi para user saat diberikan desain baru.

Tapi, ada satu hal yang lagi-lagi dilupakan oleh para UX designer, yaitu sebuah prinsip hidup yang sudah lama diyakini orang-orang: Kalau bisa jadi trendsetters, kenapa harus jadi followers? Dengan kata lain, UX designer bisa saja terlalu sibuk mengamati reaksi orang-orang, menyelami keinginan orang lain dengan penuh empati, mencermati statistik kepuasan user, sampai-sampai lupa kalau mereka juga punya kesempatan untuk “mencetak” reaksi user yang diharapkan melalui sebuah desain yang fungsional — bukan melulu mengandalkan “terawangan” dengan empati.

Lagi pula, ada hal terpenting yang seharusnya disoroti lebih dalam: Sebenarnya, siapa sih user-user yang di-highlight oleh para designer ini untuk mendapatkan empati?

Photo by Austin Distel on Unsplash

Sudut pandang saya sebagai designer yang bekerja di agency design konsultan, saya memaknai user pertama saya adalah klien itu sendiri, yaitu perusahaan atau start-up yang nge-hire kami. Hal pertama yang perlu saya tahu adalah pola kerja mereka, visi, misi, hingga kapasitas dan kapabilitas. Bukan, ini bukan cuma soal design doang, melainkan ke aspek lainnya, mulai dari proses bisnis, operasional bahkan sampai ke bagian engineering-nya.

User pertama ini, bagi saya, jauh lebih penting kita kenali, ketimbang mengedepankan ego sebagai designer yang langsung saja menciptakan produk hanya karena sedang menjadi tren yang lantas dinilai “diminati oleh user”.

Sebagai contoh, dua tahun belakangan, Design System sedang hot-hot-nya jadi tren. Selayaknya konten viral, para designer pun keranjingan akan hal ini. Seorang designer yang di-hire oleh sebuah perusahaan rintisan, misalnya, menjadi saksi akan kondangnya Design System. Malah, sementara ide dan produk dalam perusahaan tadi belum tervalidasi, eh dia udah repot-repot aja bikin Design System karena dianggap sudah pasti dibutuhkan user-nya kelak. Ya ngak salah sih, Design System emang penting.. tapi sebagai designer kita bisa membantu untuk berkontribusi ke hal-hal esesntial lainya juga. Bukankah ada banyak hal lain yang semestinya bisa dicari solusinya lebih dulu?

Photo by William Hook on Unsplash

Jadi, empati itu enggak penting, dong?

Empati itu penting, bahkan kalau kamu merasa itu enggak penting-penting banget. Yang ingin tulisan ini sampaikan adalah bahwa empati enggak perlu jadi overrated, bahkan sampai menjadi satu-satunya aspek mutlak dalam penentu hasil design. Maksudnya, ayolah, toh kita semua tahu ada kata “kreatif” di dalam kamus bahasa Indonesia. Jadi, kenapa kita — para UX designer yang budiman — mencoba mengelaborasikan sudut pandang kita masing-masing, bersamaan dengan latar belakang user yang sudah kita ketahui?

Masakan yang “B aja” bisa terasa enak kalau dimasak pakai spatula hati yang penuh cinta. Dengan prinsip yang sama, design pun demikian. Kalau terlalu sibuk mempertimbangkan kebutuhan orang-orang tanpa memahami dunia tempat tinggal orang-orang itu dan sekitar, ya buat apa?

Dear para Mas dan Mbak UX designer, mari kita sama-sama pahami bahwa mengamati orang-orang demi mendapatkan informasi lebih lanjut soal keinginannya tidaklah cukup-cukup amat. Cobalah berpikir lebih luas dan berani:
Kenapa enggak kita coba aja sekalian dunia mereka untuk diri kita?

Empati enggak bakalan terjadi, kecuali kita memahami dan merasakan betul perasaan mereka. Empati bukan berarti memaksa masing-masing dari kita menjadi cenayang. Tanpa sudut pandang dan kreativitas yang kita punya, empati yang dibangun dari titik nol sekalipun rasanya enggak bakal berdampak signifikan.

Yang enggak kalah lucu, beberapa designer justru kadang terlalu berempati ke user, tanpa mau berempati dengan orang-orang sekitar, termasuk sesama teman dan lingkungan kerja. Contoh sederhananya, baru hari pertama masuk kerja udah rikuest buat ngredesign app, dengan alasan design appsnya jelek dan outdated. wkwkwk. **Real Story

=====

uxmarker was founded with one mission mind: creating the best and most reliable user-centered design for our clients. Here in our HQ, we deal with a wide range of design avenues on every product platform. To ensure a satisfying product experience, our dedicated team generate data from curated user research methods and analyze them to find and fix various design obstacles. With our ingenious ideas and tested skill, we believe we can help make your products a pleasure to work with.

Keep in touch with us :

LinkedIn | Facebook | Instagram | Youtube | Dribbble | Contact Us

To help spread the word about uxmarker, please give it applause, share this story, and don’t forget to follow us! See you next week everyone.

=====
References:
https://en.wikipedia.org/wiki/Empathy
https://www.interaction-design.org/literature/article/design-thinking-getting-started-with-empathy

--

--

Rudityas Wahyu
uxmarker

Student of life, Product Designer at Late checkout, Designer who is still learning about design for humans. Currently living in Yogyakarta, Indonesia.