Menilik Karya dan Pemikiran Raisa Kamila

View of Atjeh
View of Atjeh
Published in
4 min readOct 30, 2020

Oleh Hanri Imam

Sumber: Raisa Kamila

Raisa Kamila adalah peneliti dan penulis asal Aceh yang saat ini berdomisili di Bandung. Merantau ke Yogyakarta pada tahun 2010 hingga 2015 untuk menempuh pendidikan di jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada. Tidak lama setelah menyelesaikan masa pendidikan di Yogyakarta, Raisa melanjutkan perantauannya ke Belanda pada tahun 2015 hingga 2017 untuk meneruskan pendidikan di Universitas Leiden.

Di sana, ia mendepatkan dua gelar pendidikan, gelar sarjana (Bachelor of Art) di jurusan Sejarah dan gelar pasca sarjana (Master of Art) di jurusan Sejarah Kolonial dan Global. Sebagai Peneliti dan Penulis, karya-karyanya kerap membahas tentang Aceh dan Perempuan.

Peneliti: Fokus dan Karya

Sebagai peneliti, salah satu fokus penelitian Raisa adalah sejarah Aceh. Hal itu karena menurutnya sampai saat ini masih sedikit orang Aceh yang meniliti tentang sejarah Aceh. “Peneliti-peneliti yang ada itu orang luar seperti orang Australia dan Perancis”, ujar Raisa kepada View of Atjeh.

Ia juga mengatakan bahwa penelitian yang dibuat oleh orang Aceh masih sangat jauh kualitasnya dibandingkan dengan peneliti-peneliti dari luar negeri dan masih dianggap tidak terlalu serius oleh peneliti-peneliti tersebut.

Melalui karya-karya penelitiannya, Raisa berharap dapat menjadi orang Aceh yang bisa berbicara tentang sejarah dan permasalahan Aceh bersama dengan peneliti-peneliti dari luar. “Makanya pingin bisa sampai debat lah dengan orang-orang luar itu kalau berbicara masalah Aceh”, ucapnya.

Selain itu, dalam penelitiannya, Raisa tidak ingin memberikan narasi-narasi lama tentang sejarah Aceh seperti perang dan politik. Sebaliknya, ia ingin memberikan narasi-narasi baru yang jarang diketahui oleh publik dan dianggap tidak begitu penting seperti aktifitas penggunaan surat kabar untuk mengiklankan barang-barang yang diperdagangkan pada masa lalu di Aceh.

“Aku banyak nemuin koran-koran lama di Aceh dan mereka itu iklan nya lucu-lucu. Ada yang jualan topi, mobil Cadillac, dan mobil Chevrolet di Banda Aceh. Aku nemu koran-koran itu ketika aku melakukan riset di Belanda dan Singapur”, jelasnya.

Narasi-narasi baru yang diberikan melalui penelitiannya merupakan sebuah upaya untuk meghadirkan sejarah Aceh yang dimiliki oleh semua orang. Tidak seperti sejarah politik yang menurutnya hanya milik orang yang berperang.

Salah satu proyek penelitiannya adalah “IM (MATERIAL) EXCHANGE: Culture, Knowledge, and Lifestyle Across the Strait” bersama Goethe-Institute pada Agustus 2017 hingga Mei 2019. Penelitian tersebut ditujukan untuk untuk melacak peredaran orang, barang, dan pengetahuan yang dipertukarkan selama periode kolonial akhir, mulai dari tahun 1920-an hingga 1940-an di seberang Selat Malaka –salah satunya di wilayah Aceh-.

Raisa mengatakan penelitian itu mendapati bahwa masyarakat Aceh pada era tersebut merupakan masyarakat yang kosmopolit yang tidak hanya berperang. Masyarakat Aceh juga menerapkan gaya hidup moderen seperti membaca karya sastra dan menonton film di bioskop.

“Jadi orang Aceh ga kampungan, mereka ga cuma ngobrol sesama orang Aceh tapi juga ngobrol sama orang-orang Cina, Minang, Singapur dan itu bukan hal yang aneh”, ungkapnya.

Penelitian-penelitian yang dilakukan Raisa ditujukan untuk memahami permasalahan yang ada di Aceh diluar dari pemahaman yang dibangun oleh orang lain terhadap Aceh. “Capek aja sama defenisi-defenisi dari orang lain untuk memahami persoalan kita, ya kita sendiri lah yang harus mengerti persoalan kita apa”, ucapnya.

Penulis: Fokus dan Karya

Sebagai penulis, Raisa menulis fiksi dalam bentuk cerita pendek. Sama halnya dengan penelitian, Aceh menjadi salah satu unsur penting di dalam karyanya. Raisa mengungkapkan, ketika di masa SMA dan awal perkuliahan ia tidak menemukan karya cerita yang membahas tentang orang orang Aceh.

“Sependek bacaan aku, aku ga nemu. Jadi aku yang harus nulis. Aku harus nulis apa yang aku pingin baca”, ungkapnya.

Karya-karya Raisa juga syarat cerita tentang perempuan atau menggunakan sudut pandang perempuan. Menurutnya cerita tentang perempuan masih sangat jarang dibuat dan jika pun ada sering menggunakan sudut pandang laki-laki yang menurutnya mengganggu.

“Ya jadi berceritanya sering menempatkan perempuan itu objek, kayak benda gitu yang bukan manusia. Nah itu yang menurut aku mengganggu”, ujarnya.

Di dalam buku kumpulan cerita pendeknya yang berjudul “Bagaimana Cara Mengatakan Tidak” yang terbit akhir September lalu, Raisa menghadirkan cerita-cerita tentang kompleksitas kehidupan Perempuan di era pasca reformasi Indonesia. Cerita tentang perempuan yang dihadirkan olehnya di dalam buku tersebut merupakan sebuah upaya untuk menghadirkan perempuan sebagai manusia seutuhnya yang juga memiliki permasalahan, kebingungan, dan kemarahan, serta tidak digambarkan sebagai sosok yang selalu cantik, pintar, atau sebaliknya. Begitupun tokoh laki-laki yang muncul di dalam ceritanya.

“Aku berusaha untuk tidak mengobjektifikasi laki-laki kayak gimana, banci kayak gimana, perempuan kayak gimana”, ucapnya.

“Aku berusaha menghadirkan perempuan dengan segala kompleksitas nya bukan hanya sebagai pemanis cerita. Jadi perempuan itu punya subjektifitasnya”, lanjutnya.

Buku “Bagaimana Cara Mengatakan Tidak” merupakan kumpulan cerita-cerita pendek yang dia tulis dalam kurun waktu –kurang lebih- sepuluh tahun. Buku tersebut merupakan kumpulan dari kebingungan yang pernah dialaminya ketika kecil, rasa empati yang tidak tersampaikan secara langsung, dan ingatan kolektif pada satu periode tertentu.

Karya lainnya dari Raisa adalah “Tank Merah Muda: Cerita-cerita yang tercecer dari reformasi”, sebuah buku dari kumpulan cerita pendek yang dibuat olehnya secara kolektif dengan lima orang teman yang berisi cerita-cerita tentang pengalaman Perempuan dari berbagai daerah –Aceh, Jawa Timur, NTT, dan Maluku Utara- di masa transisi order baru menuju demokrasi. Buku tersebut diterbitkan pada Oktober 2019.

Penutup

Salah satu dari sekian banyak hal yang menarik dari Raisa adalah ketidaksetujuannya terhadap objektifikasi terhadap Perempuan. Hal tersebut setidaknya dapat dipahami sebagai bentuk pernyataan sikap bahwa perempuan semestinya berdaulat atas dirinya dan terlepas dari stigma-stigma yang diberikan. Olehnya, keberdaulatan atas diri sendiri merupakan sebuah cita-cita yang ingin dicapai.

“Cita-cita aku itu jadi manusia yang merdeka, kayak ga ada yang ngatur aku dan aku ga ngatur orang lain. Jadi aku pingin jadi individu yang merdeka bisa menentukan aku maunya apa dan punya pilihan dalam hidup. Apapun cara untuk sampai ke gagasan itu untuk menjadi manusia merdeka. Cara yang aku tempuh apakah dengan menjadi feminis kah atau dengan mengadopsi praktik anarkisme”, tuturnya.

--

--

View of Atjeh
View of Atjeh

Alternative Public Sphere | Publishing all about Aceh.