Regenerasi Kepemimpinan Koperasi

Mohammad Anharulfikri
VIS Indonesia
Published in
5 min readJul 15, 2020

--

Sumber: Dokumentasi VIS Indonesia

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan pada rentang tahun 2030–2040, Indonesia akan mengalami masa bonus demografi, Pada periode tersebut, kelompok usia produktif (umur 15–64 tahun) jauh melebihi kelompok usia tidak produktif (anak-anak usia 14 tahun ke bawah dan orang tua berusia 65 ke atas). Beberapa lembaga dunia yang kredibel seperti Mckinsey Global Institute memperkirakan Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi keempat dunia, bila bonus demografi sukses. Namun apabila tidak dikelola dengan baik, bonus demografi juga dapat menjadi beban bagi masyarakat dengan meluasnya pengangguran yang berujung pada masalah sosial seperti kemiskinan dan kriminalitas.

Generasi Z adalah Kunci

Jika dikerucutkan lagi, usia paling produktif seseorang biasanya ada di rentang 25–40 tahun. Artinya, mereka yang lahir pada rentang 1995–2010 adalah kelompok generasi emas yang akan menjadi tulang punggung bonus demografi di tahun 2030–2040. Bila merujuk pada teori generasi yang dikemukakan oleh Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, kelompok yang lahir pada pergantian milenium itu disebut dengan Generasi Z. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi jumlah generasi Z akan mencapai 23% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2030 kelak.

Proyeksi Bonus Demografi Indonesia. Sumber: tqnnews.com

Untuk menghadapi tantangan besar di bonus demografi nanti, Indonesia butuh sosok pemimpin muda dari kalangan generasi Z. Pemimpin yang dimaksud tidak terbatas pada jabatan Presiden, Menteri, atau Gubernur, tapi merupakan sosok yang mampu mendorong perubahan di tengah — tengah masyarakat. Sosok pemimpin muda tentu juga sangat dibutuhkan oleh Koperasi yang masih identik dengan generasi tua. Pada perayaan Hari Koperasi Nasional 2020, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, bahwa koperasi harus melakukan regenerasi mengikuti perkembangan zaman, salah satunya dengan memberikan kesempatan generasi muda untuk terlibat dalam Koperasi sejak dini. Pengalaman tersebut akan sangat berharga agar mereka bisa menjiwai nilai koperasi dalam praktek kehidupan sehari hari. Dengan demikian, Generasi Z akan siap memimpin Koperasi menghadapi tantangan bonus demografi kelak.

Peran Koperasi Mahasiswa

Saat ini, mayoritas Generasi Z merupakan para mahasiswa dan remaja yang tidak lama lagi menjadi mahasiswa. Menurut penulis, medium yang paling tepat untuk memberikan pengalaman berkoperasi kepada Generasi Z adalah Koperasi Mahasiswa (Kopma). Kopma sangat strategis dalam merespons pentingnya regenerasi Koperasi. Secara kuantitas jumlah Kopma di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan Data Online Data System (ODS) Koperasi hingga 30 September 2019, terdapat 255 Kopma di seluruh Indonesia. Ditinjau dari segi kualitas, Kopma berada di lingkungan kampus dan terdiri dari kalangan mahasiswa yang terdidik. Mahasiswa umumnya sudah familiar dalam memanfaatkan perangkat teknologi untuk keperluan sehari-hari. Kopma bisa diarahkan menjadi laboratorium pengembangan Koperasi melalui praktek, dipadukan dengan inovasi teknologi dan keilmuan yang relevan.

Di dalam Kopma, Mahasiswa bisa terjun langsung dalam setiap proses bisnis yang dilakukan Kopma. Memang sudah banyak Kopma yang merekrut karyawan untuk keperluan operasional, namun aktivitas manajerial dipegang sepenuhnya oleh para pengurus dan pengawas yang semuanya mahasiswa. Alumni — alumni Kopma inilah yang diharapkan bisa menjadi calon pemimpin Koperasi di masa depan.

Kegiatan Koperasi Mahasiswa. Sumber: kopmaugm.ac.id

Dinamika Koperasi Mahasiswa

Namun faktnya, Kopma juga tidak lepas dari permasalahan. Kelangsungan Kopma yang ada di berbagai universitas tidak semuanya berjalan dengan baik. Penulis sendiri pernah terlibat dalam kepengurusan Kopma selama 3 tahun, dan mengalami sendiri berbagai permasalahan ini Permasalahan yang muncul bisa berasal dari eksternal maupun internal. Masalah yang jamak terjadi adalah menurunnya minat mahasiswa terhadap Kopma. Mayoritas Kopma masih mengandalkan bisnis model yang telah usang dengan mengandalkan unit bisnis minimarket, kantin, fotokopi atau semacamnya. Inilah yang menyebabkan pandangan bahwa kegiatan utama anggota Kopma adalah jaga toko. Para mahasiswa akhirnya memilih untuk belajar bisnis dengan mendirikan startup yang lebih populer.

Selain itu tantangan yang lain adala, keterbatasan ruang gerak dari pihak kampus. Unit bisnis konvensional seperti minimarket, kantin, dan fotokopi tentu membutuhkan ruang usaha. Kopma harus berebut tempat dengan berbagai instansi kampus dan membayar biaya sewa yang tidak sedikit. Tidak jarang Kopma harus tergusur karena ada entitas bisnis lain yang berani membayar biaya sewa lebih besar ke pihak kampus. Ironis, Kopma malah dipandang sebagai sumber pemasukan baru oleh pihak kampus

Terlebih, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang mempertimbangkan penerapan system blended learning yang mengkombinasikan pembelajaran tatap muka di kelas dengan jarak jauh (remote), tidak hanya selama masa pandemi Covid-19 namun juga seterusnya. Aktivitas mahasiswa di kampus bisa jadi tidak sama lagi seperti sebelumnya. Mau tidak mau, cepat atau lambat Kopma harus melakukan transformasi.

Transformasi Kopma

Ilustrasi Belanja Daring. Sumber: Kumparan.com

Kopma perlu membaca tren konsumsi masyarakat terutama di generasi muda yang mulai beralih ke belanja daring (e-commerce). Mengutip data dari GlobalWebIndex, Indonesia merupakan negara dengan tingkat adopsi e-commerce tertinggi di dunia pada 2019. Sebanyak 90 persen dari pengguna internet berusia 16 hingga 64 tahun di Indonesia pernah melakukan pembelian produk dan jasa secara daring. Hal ini juga diperkuat oleh hasil riset Bain & Company dan Facebook 2020 yang menyebutkan sektor belanja daring di Indonesia akan tumbuh 3,7 kali lipat menjadi US$ 48,3 miliar di 2025 dibanding US$13,1 miliar pada 2017.

Kopma harus memikirkan bagaimana, dapat melayani anggota dan masyarakat tanpa harus membuka toko. Di sinilah peran teknologi dibutuhkan, Kopma bisa mengembangkan platform marketplace agar Kopma dan anggotanya dapat memasarkan produk atau jasa yang dimiliki kepada masyarakat. Transaksi anggota dengan Koperasi atau sesama anggota bisa dilakukan secara aman dan nyaman

Tidak hanya untuk berbisnis, teknologi juga bisa meningkatkan pelayanan Kopma kepada anggota. Sebagai contoh, anggota bisa mengecek saldo dan membayar simpanan tanpa perlu datang ke sekertariat. Banyak sekali kemudahan yang bisa dirasakan Kopma dan anggotanya apabila mau bertransformasi.

Tentu saja, perlu pendampingan, pelatihan, dan kemudahan regulasi dari Kementerian Koperasi dan UKM untuk mendukung transformasi Kopma. Apabila transformasi ini sukses, niscaya akan muncul para alumni Kopma dengan pengalaman mengelola Koperasi dan literasi digital yang baik. Harapannya, merekalah yang akan memimpin dunia perkoperasian agar siap menjawab tantangan bonus demografi ke depan

--

--