Lembah Harau nan Memukau

Firman Firdaus
Visual Herald
Published in
3 min readNov 22, 2023

--

“Jika sudah melihat Lembah Harau, Ngarai Sianok tidak ada apa-apanya lagi,” ujar seorang kawan.

Agak terdengar pongah? Tidak juga, jika Anda betul-betul mengunjungi kedua tempat itu dan membandingkannya.

Lokasi Lembah Harau sekitar 45 kilometer dari Bukittinggi, atau 1,5 jam perjalanan mobil dari Bukittinggi menuju arah Payakumbuh. Lokasinya tidak sulit dicari, karena jalan yang ditempuh benar-benar “lurus” saja. Selain itu, menjelang pintu masuk lokasi ada baliho besar sebagai petunjuk bagi pengunjung.

Formasi tebing batu granit di Lembah Harau, yang terletak di Kabupaten Lima Puluh Koto, jauh lebih masif daripada Ngarai Sianok dengan bentangan sejauh ratusan meter. Ketinggian tebing pun bervariasi antara 80 meter hingga sekitar 200 meter, yang dibelah oleh jalan di tengah-tengahnya.

Atraksi alam di Lembah Harau juga menjadi beragam dengan hadirnya hamparan sawah dan air terjun. Ada empat air terjun yang dengan mudah bisa dilihat dari pinggir jalan. Di bagian bawah air terjun dibuat kolam bagi pengunjung yang ingin berenang. Saya dan Faisal, rekan seperjalanan, menyempatkan berendam di salah satunya. Segar!

Pengunjung lain, sebagian besar pasangan muda-mudi, tidak ketinggalan menceburkan diri. Anak-anak bermain dan mengapung dengan ban-ban besar yang disediakan oleh pengelola kawasan. Air yang tumpah dari ketinggian sekitar 80 meter terpecah menjadi jarum-jarum air ketika sampai di bawah. “Seperti dipijit-pijit, mas!” ujar Yufrizal, 25 tahun, warga Payakumbuh yang berkunjung bersama pasangannya.

Hal yang membuat Lembah Harau semakin eksotis adalah guratan-guratan vertikal berwarna cokelat kehitaman pada beberapa sisi dinding tebingnya. Garis-garis itu terbentuk akibat pembasahan alamiah dari air yang keluar dari celah-celah tebing, yang sudah terjadi entah berapa lama. Hasilnya, ada nuansa mistis yang ganjil merasuk saat mengamati tekstur tebing itu.

Setelah puas berkeliling, perut mulai terasa keroncongan. Pondok nasi goreng yang berdiri di salah satu sisi jalan seberang tebing menjadi pilihan kami. Posisinya kurang lebih satu kilometer dari pintu masuk kawasan wisata, di sebelah kiri jalan. Lebih tepatnya, pas di lokasi Batu Echo, tempat pengunjung biasa berteriak sekeras-kerasnya untuk mendengar echo (gema).

Selain karena rasa letih untuk mencari tempat makan yang lebih “representatif”, dalam pengamatan saya tidak banyak pilihan tempat makan di sini. Meski begitu, dalam hati saya merasa bersyukur karena jika lokasi sudah dipenuhi pedagang, situasinya pasti akan lebih ramai dan mengurangi kekhidmatan dalam menikmati pahatan alam nan memesona ini.

Meski sederhana, pondok makan tak bernama yang dikelola oleh seorang nenek ini cukup ideal posisinya: menghadap tepat ke bagian tebing yang terbuka. Gemericik air sungai di belakang pondok terdengar meningkahi acara makan kami. Semilir angin membelai. Saya pun rebah sejenak sambil memejamkan mata. Bayangan kepenatan Jakarta seketika itu juga sirna.

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.