Si Nenek Besi di Pendung

Gagal mendapatkan situs megalitik, digantikan air terjun “Lord of the Ring”.

Firman Firdaus
Visual Herald
3 min readNov 6, 2023

--

Menjelang senja di Kerinci, ada satu tempat lagi yang ingin dikunjungi sebelum kami bertolak ke Sumatra Barat: situs megalitik yang dikenal dengan Si Nenek Besi, di Desa Air Hangat, Kecamatan Pendung, sekitar 10 kilometer dari Kota Sungai Penuh.

Ada satu kesalahan kami terkait hal ini: kami tidak memiliki bahan riset yang cukup soal tempat ini.

Akhirnya, kami pun mengandalkan metode konvensional: bertanya kepada warga. Celakanya, minim sekali informasi yang kami dapat. Satu-dua orang saja yang kenal sebutan “nenek besi”. Lebih parah lagi, tidak ada yang pernah mendengar istilah “situs megalitik”. Ketika kami menyebut-nyebut “batu besar”, barulah ada titik terang.

Sialnya, yang ditunjukkan warga adalah situs Batu Hampar, batu dengan diameter sekitar 5 meter dan tinggi 2 meter. Menarik, tapi ini bukan yang kami cari. Kebetulan, dekat Batu Hampar ada warung sederhana dan ada beberapa warga sedang menikmati siang.

“Batu nenek besi ada di puncak bukit,” ujar salah seorang warga, seorang nenek, sambil menunjuk ke arah sebuah bukit, tanpa memerinci lebih jauh. “Jarang yang pernah ke sana, tempatnya angker, banyak yang kesurupan setelah dari sana,” seorang anak muda menimpali.

Saya, sebagai ketua tim, memutuskan agar tim tidak meneruskan pencarian tersebab ketidakjelasan informasi ini. Namun, Ilham, salah seorang anggota tim, berkeras untuk melanjutkan. “Saya harus menjawab rasa penasaran ini,” jawabnya. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan seluruh anggota tim, pencarian pun dilanjutkan.

Beruntung, saat itu ada sekelompok anak baru saja turun dari bukit. Oktovianda, 14 tahun, dan teman-temannya baru saja bermain-main di air terjun di atas bukit. Oktovianda mengaku mengetahui soal situs Nenek Besi, tapi tidak tahu letak pastinya. Sama seperti nenek tadi, dia hanya tahu bahwa situs itu “di atas bukit”, dan dia dan teman-teman sebayanya dilarang bermain-main di sana, karena khawatir kesurupan. “Kami mau mengantar sampai air terjun saja, Mas,” katanya. Kami sepakat.

Perjalanan mendaki menuju air terjun ternyata cukup berat, mendebarkan, tapi menyenangkan: kami harus berbasah-basah menyeberangi tiga anak sungai selebar sekitar tujuh meter. Salah satu anak sungai bahkan menyerupai sebuah “dunia lain”, dengan pepohonan yang membentuk lorong, dan kami mesti merunduk untuk menyeberanginya.

Lorong air memasuki dunia lain. Warga lokal jarang yang mau melalui rute ini karena dianggap “angker”.

Satu jam mendaki berlalu, dan sampailah kami di sebuah surga lain di Kerinci: Air Terjun Pendung. Rupanya ini yang dimaksud anak-anak itu dengan “mengantar sampai air terjun”.

Dan rasanya kami tiba pada momen yang tepat, sebuah milestone: daun-daun dari pepohonan tinggi di kiri-kanan air terjun telah menyaring sinar matahari sehingga membentuk larik-larik sinar nan indah dan magis. Seketika saya teringat latar film fenomenal karya Peter Jackson, The Lord of the Ring.

Beberapa jenak di air terjun Pendung, kami pun melupakan soal situs Nenek Besi. Sepertinya, siapa pun bakal lupa pada banyak hal di tempat seperti ini.

Tidak lama kemudian gerimis turun. Wajah riang anak-anak pemandu kami berubah menjadi panik.

“Kenapa?” tanya saya.

“Kita harus pergi dari sini sebelum hujan turun lebih besar. Banjir bisa datang tiba-tiba,” kata Oktovianda. Saya paham, maksudnya banjir bandang. Sebelum pergi, kami menyempatkan diri berfoto bersama. Tiba-tiba, Niki, teman Oktovianda menyergah.

“Tunggu, tunggu…” katanya, masih dengan wajah seperti ketakutan. “Nggak boleh bertiga.”

Awalnya kami bingung. Tetapi akhirnya kami mengerti. Menurut kepercayaan masyarakat, orang yang berfoto di air terjun Pendung tidak boleh dalam jumlah ganjil. “Karena kalau ganjil akan ada perempuan berbaju putih, berambut panjang yang menemani,” begitu penjelasan Niki.

Kami tersenyum, kemudian sejurus kemudian kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pencarian situs Nenek Besi. Rasanya, keajaiban air terjun Pendung cukup untuk menggantikan rasa penasaran kami akan situs itu.

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.