Warteg, Dangdut, dan Pemberdayaan

Apakah mereka perlu kita? Atau kita yang perlu mereka?

Atik R. Widyasari
Grow at Warung Pintar
5 min readJul 17, 2019

--

Di MALAM YANG panjang, setelah lelah bekerja bahkan hari telah berganti, rasa lelah tak bisa mendukung kaki untuk membawa saya kembali pulang. Bersama rekan kerja, dari daerah Pejaten, Jakarta Selatan, kami mencari pedagang kaki lima mana yang masih buka, berharap bisa memberi sedikit energi agar tetap terjaga dan ada tenaga untuk menyetir pulang.

Jalanan kala itu sepi dari pedagang; tinggal motor dan mobil yang berlalu-lalang. Pedagang kaki lima yang hendak kami kunjungi sayangnya sudah tutup. Untungnya, seratus meter tak jauh dari sana masih ada warung nasi bernama Warteg Barokah yang buka 24 jam dengan lauk menumpuk tinggi dan pelanggan yang masih makan.

Untungnya, datang ke sana bukanlah keputusan yang salah. Selain bisa melepaskan penat karena suasana dan keramahan pramusaji, saya bahkan mendapatkan pengalaman yang... menarik.

Di bawah lampu berwarna putih dan etalase berisikan makanan, kehadiran kami dibarengi dengan dentuman dangdut asik dengan vokal yang tak bisa terdefinisikan. Tanpa disadari kepala dan kaki ini ikut bergoyang, menikmati lagu seiring menunggu santapan yang dihidangkan.

Tiga orang gadis belia menyambut kami, putih dan cantik rupanya. Mereka berseragam polo abu-abu dengan gincu dan polesan sederhana di wajahnya. Rambut panjang mereka diikat rendah, menyambut kami ceria bahkan sedikit genit ketika ada pelanggan pria lain yang datang untuk mengatasi lapar.

"Kakanda," sapa salah seorang pramusaji ceria pada salah seorang pria yang mungkin langganan warteg itu. Di saat yang sama, saya mengerutkan alis cukup lama; heran.

Ada ya, tempat seperti ini, pikir saya dalam hati. Saya yakin hal ini sesungguhnya normal. Tapi, bagi saya yang jarang berkunjung ke tempat-tempat ini, nuansa warteg dengan setelan dangdut serta dilayani oleh perempuan muda, di dini hari jam satu pagi, membuat saya risih dan mempertanyakan banyak hal. Baik dari SOP pemilik warung untuk para karyawannya hingga kehidupan pribadi gadis-gadis belia itu. Apa lagi saya merupakan satu-satunya pelanggan perempuan di sana. Rasanya begitu ganjal.

“Kamu itu perempuan. Jangan pulang malem! Kamu harus bisa jaga diri kamu baik-baik!”

Kerisihan ini pun sedikitnya banyak dilatarbelakangi oleh didikan orang tua saya yang selalu mengingatkan, "Kamu itu perempuan. Jangan pulang malem! Kamu harus bisa jaga diri kamu baik-baik!"

Dengan perkataan itu, saya tumbuh dengan keyakinan bahwa semua anak gadis mendapat titah yang sama dari ibunya. Oleh karenanya saya bertanya-tanya kenapa gadis-gadis belia ini bisa berada di luar rumah dan melayani orang-orang menuju dini hari? Kenapa bisa orang tuanya membiarkan anak-anak perempuan ini bekerja? Kenapa mereka mau?

Setelah bertanya ke para gadis pramusaji itu, mereka menceritakan sedikit kehidupannya tanpa ada rasa beban. Satu di antaranya pergi dari kampung sejak berusia 12 tahun, langsung mencari nafkah. Sisanya mengemban pendidikan hingga sekolah menengah pertama barulah pergi ke kota-kota besar secara mandiri. Berkelana di usia dini tanpa tahu kejamnya dunia tanpa bekal pendidikan yang cukup...saya berpikir betapa masa kecil saya sangat beruntung.

Tak perlu bekerja di usia muda, menikmati atap dan kasur yang nyaman, menempuh pendidikan hingga sarjana, untungnya juga mendapat pekerjaan yang layak. Kadangkala saya berpikir, bagaimana ya caranya supaya mereka (orang-orang seperti gadis pramusaji ini) bisa berada di titik kehidupan yang lebih baik lagi?

Saya berpikir betapa masa kecil saya sangat beruntung

Mendapatkan sedikit wangsit terkait Tri Dharma Perguruan Tinggi; sejak kuliah, saya dan teman-teman kampus sering sekali melakukan kegiatan-kegiatan yang melibatkan publik khususnya kalangan menengah ke bawah. Berharap bahwa publik yang terlibat akan lebih teredukasi dan dapat memberdayakan potensi mereka ke arah yang lebih baik. Namun sering kali dampak yang diberikan pun tidaklah sesignifikan itu.

Perayaan dan festival hanyalah sebuah euforia sesaat yang hilang nilainya setelah 24 jam berlalu.

Segala proses panjang yang dilalui bersama pun tidak begitu berbekas. Akhirnya bentuk-bentuk kegiatan maupun lokakarya yang diberikan kepada publik pun begitu-begitu saja dengan hasil yang tak jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Nampaknya hal ini pun tidak banyak berubah bahkan setelah saya bekerja.

Pemberdayaan masyarakat, katanya. Rangkaian program dan prosedur diberikan dengan harapan, jika mereka (masyarakat menengah kebawah) mengikutinya, kehidupan mereka dalam segi sosioekonomi akan membaik. Kita yang pengetahuannya berlebih ini, memberikan segepok informasi dan aturan yang harus dilakukan kepada orang-orang yang mau kita bantu.

Di satu sisi mereka merasa terbantu, di sisi lain mereka malah terbebani. Apakah mereka salah karena tidak bisa menjalankan prosedur atau apakah ini salah kita, orang-orang yang lebih intelek, tapi tidak bisa menyesuaikan dengan kapabilitas mereka untuk menyerap keribetan hal-hal prosedural ini?

Ketika saya berada di Warteg Makmur itu, saya menyadari bahwa orang-orang yang menempuh sarjana, bahkan pekerja kantoran sesungguhnya merupakan orang minoritas di Indonesia. Lihat saja ada berapa banyak kota yang tidak pernah tidur seperti Jakarta di Tanah Air?

Kita berambisi dan mempunyai cita-cita yang tinggi

Mungkin 70% orang Indonesia lainnya merupakan orang-orang yang cukup senang dengan kehidupan yang mereka jalani sekarang. Sederhana saja; yang penting bisa makan, bisa tidur, dan bisa dangdutan.

Kita tahu jika kita tidak sama cepatnya dengan perkembangan zaman, maka kita tidak bisa bersaing dengan negara2 maju di dunia. Akan tetapi, dengan cita-cita yang tinggi agar bisa menyaingi perkembangan zaman, ada jarak yang belum terjembatani antara kita dan mereka. Baik dari segi wawasan, ekonomi, dan juga teknologi.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah mereka dibiarkan berlari untuk memperkecil jarak yang sudah ada atau tugas kita membangun jembatan untuk mereka menyeberang? Memperlihatkan; membantu mereka melihat masa depan yang sudah ada di depan mata.

Sayang, selalu ada sayang, meskipun sudah ada jembatan, ada saja orang yang tetap memilih melawan arus kala menyeberangi sungai. Pada akhirnya yang muncul di kepala kita kurang lebih pertanyaan seperti ini, "Kok kamu bodoh sudah ada jalan yang mudah kenapa masih ambil cara yang susah?"

Bisa saja pertanyaan itu dikembalikan juga kepada kita, "Kok kamu bodoh enggak bisa membuat saya yang bodoh ini mengikuti kemudahan yang kamu buat?"

Jangan terlalu congkak. Menjadi kaum pemikir tidak ada gunanya kalau tidak diimbangi dengan keterampilan komunikasi yang layak. Ibarat Tuhan, Dia saja masih mau melihat ke bawah ketika kaumnya meminta pertolongan, sementara kita berniat mulia untuk memberikan pertolongan. Dagumu jangan terus diangkat seperti itu terus.

Apakah konyol jadinya jika kita tidak melihat ke bawah dan merasakan apa yang mereka rasakan? Apakah konyol jadinya jika kita tidak tahu bagaimana cara mereka berbicara dengan sesamanya; menggunakan bahasa yang seperti apa pula?

Siapa tahu mereka memilih melawan arus di sungai, bukannya memakai jembatan karena ada kebutuhan lain yang harus mereka penuhi. Apakah kita sudah tahu apa yang mereka butuhkan?

--

--