FX. Ngawan: A Story of a Hyperpolyglot from Borneo Island

Kunto Nurcahyoko
Wikitongues
Published in
6 min readMay 8, 2019

(FX. Ngawan: Kisah Seorang Hyperpolyglot dari Pulau Kalimantan)

Two weeks ago, I had an amazing trip to my friend’s house in Serawai. Serawai is the name of a sub-district in Sintang Regency, West Borneo/Kalimantan, Indonesia. This area is located between Ambalau and Menukung sub-districts, in Melawi Regency. Nanga Serawai is the capital with a mainland area formed by the bend of the Melawi River. From Pontianak, the capital city of West Borneo, it takes approximately eight hours by bus and then five hours by speedboat.

(Dua minggu yang lalu, aku melakukan perjalanan yang luar biasa ke rumah salah satu temanku di Serawai. Serawai merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Daerah ini terletak di antara kecamatan Ambalau dan Menukung, di Kabupaten Melawi. Nanga Serawai merupakan ibu kotanya dengan wilayah daratan yang terbentuk oleh kelokan Sungai Melawi. Dari Pontianak, diperlukan sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bus dan kemudian lima jam menggunakan speedboat.)

At that time, I was warmly welcomed by the smiles of my friend’s family and their peaceful green yard. My trip was full of unforgettable moments; great people, delicious food, new cultures. However, one aspect that left a remarkable impression on me was meeting up with my friend’s dad, Fx. Ngawan. He is now working as an education supervisor in Sintang Regency. Before that, he worked as a teacher for 32 years.

(Sesampainya disana, aku disambut dengan hangat oleh senyum keluarga temanku dan hamparan hijau halaman rumah mereka. Perjalananku penuh dengan momen yang tak terlupakan; bertemu orang-orang hebat, menyantap makanan lezat, dan menjumpai budaya baru. Namun, satu aspek yang meninggalkan kesan luar biasa bagiku adalah ketika bertemu dengan ayah temanku, Pak Fx. Ngawan. Beliau sekarang bekerja sebagai pengawas pendidikan di Kabupaten Sintang. Sebelumnya, beliau bekerja sebagai guru selama 32 tahun.)

At our first encounter, he looks like a typical Dayaknese man with tanned skin. Yet, I felt something different when I talked to him. I had the impression of very positive energy flow. As he mentioned that he used to be an English teacher, we discovered we were a match! I am an English teacher myself. More importantly, he is a language enthusiast and a hyperpolyglot. During the talk, we often switched from one language to the other such as Indonesian, English, Javanese to Ahe (one local language of Dayaknese spoken in Ngabang, the city where I currently live in). He is now fluent in at least 15 languages and most of them are local languages from Dayaknese tribe, including Uut (Ot) Danum, Desa, Kahayan, Kubing, Melahui etc..

(Pada perjumpaan pertama, beliau terlihat seperti pria Dayak umumnya dengan kulit kecokelatan. Namun, aku merasakan sesuatu yang berbeda ketika aku mulai berbicara dengan beliau. Aku merasakan aliran energi yang sangat positif. Ketika beliau menyebutkan bahwa beliau dulu bekerja sebagai guru bahasa Inggris, kami pun semakin cocok! Aku sendiri adalah seorang guru bahasa Inggris. Dan lagi, beliau merupakan seorang penggila bahasa dan hyperpoliglot (orang yang menguasai banyak bahasa). Selama perbincangan, kami sering beralih dari satu bahasa ke bahasa lain seperti Bahasa Indonesia, Inggris, Jawa ke Ahe (sebuah bahasa daerah suku Dayak yang dituturkan di Ngabang, kota tempat saya tinggal saat ini). Beliau sekarang setidaknya fasih dalam 15 bahasa dan kebanyakan dari bahasa tersebut merupakan bahasa daerah dari suku Dayak, termasuk Uut (Ot) Danum, Desa, Kahayan, Kubing, Melahui dll.)

He told me that he was exposed to different languages since the very beginning. He was one of the first people who continued to pursue a bachelor’s degree in English Education back in 1982 from his sub-district. Since then, his interest in learning languages grew stronger. When he was assigned to be a teacher and education supervisor, he had to go all the way from Serawai sub-district to Sintang Regency by motorcycle, riding approximately 170 km by motorcycle. The trip can take six hours if the day is bright and sunny. However, it is not uncommon for him to spend three to seven days for the journey if the raining season comes. The muddy road is the reason why it can take so long. Therefore, he has to stop at some villages if he can’t continue the trip and meet up with people with so many different languages along the way.

(Beliau memberitahu bahwa beliau telah mempelajari bahasa sejak kecil. Beliau merupakan salah satu orang pertama yang menempuh pendidikan sarjana dalam Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 1982 dari kecamatannya. Sejak saat itu, minat beliau dalam belajar bahasa semakin kuat. Ketika beliau ditugaskan untuk menjadi seorang guru dan pengawas pendidikan, beliau harus pergi jauh dari Kecamatan Serawai ke Kabupaten Sintang menggunakan sepeda motor dan menempuh jarak sekitar 170 km dengan sepeda motor tersebut. Perjalanan dapat memakan waktu enam jam jika hari cerah. Namun, tidak jarang baginya untuk menghabiskan tiga hingga tujuh hari dalam perjalanan tersebut jika musim hujan tiba. Jalan berlumpur adalah alasan mengapa perjalanan tersebut dapat menjadi begitu lama. Karena itu, beliau harus berhenti di beberapa desa jika beliau tidak dapat melanjutkan perjalanan. Saat itulah beliau bertemu dengan orang-orang yang memiliki bahasa yang berbeda di sepanjang jalan.)

Borneo is actually a special island. In the island itself, there are more than 150 different languages and dialects. Ngawan’s native language is Uut Danum. So, whenever he stops in a particular village, he learns a different language. For him, learning languages helps him to connect with people.

(Kalimantan sebenarnya merupakan pulau yang istimewa. Di pulau ini, terdapat lebih dari 150 bahasa dan dialek yang berbeda. Bahasa asli Pak Ngawan adalah Uut Danum. Jadi, setiap kali dia berhenti di desa tertentu dalam perjalannnya, dia belajar bahasa yang berbeda. Bagi beliau, mempelajari bahasa membantunya semakin dekat dengan orang lain.)

In our conversation, he mentioned several benefits in learning other languages, especially the local ones. One of the most important benefits to learning new languages is the opportunity to connect with others. He believes that when we are able to speak other people’s languages, we can communicate with a wider range of people in their personal and professional lives. When he travels and meets with strangers, he is not afraid of creating meaningful communication with their languages.

(Dalam percakapan kami, beliau menyebutkan beberapa manfaat mempelajari bahasa, terutama bahasa daerah. Salah satu manfaat terpenting dalam mempelajari bahasa baru adalah kesempatan untuk terhubung dengan orang lain. Beliau percaya bahwa ketika kita dapat berbicara bahasa orang lain, kita akan mampu berkomunikasi dengan lebih banyak orang pada level kehidupan pribadi maupun profesional mereka. Ketika beliau bepergian dan bertemu dengan orang baru, beliau tidak takut menciptakan komunikasi yang bermakna dengan menggunakan bahasa mereka.)

Ngawan explains Manas, a traditional bracelet given in Mohpaisch Ritual to respect a new comer in Serawai (Pak Ngawan menjelaskan tentang Manas, sebuah gelang tradisional yang diberikan dalam ritual Mohpaisch sebagai tanda hormat terhadap pendatang baru di Serawai)

Besides, he also believes that learning languages can improve our appreciation toward cultures, traditions and history of other people. He can learn the ideas of tolerance, understanding and empathy toward others. When he knows more languages, it definitely fosters his confidence to travel and opens his perspectives in life.

(Selain itu, beliau juga percaya bahwa belajar bahasa dapat meningkatkan apresiasi kita terhadap budaya, tradisi, dan sejarah orang lain. Beliau dapat mempelajari ide-ide tentang toleransi, pengertian dan empati terhadap orang lain. Ketika beliau mengetahui lebih banyak bahasa, hal tersebut menumbuhkan kepercayaan diri beliau untuk bepergian dan membuka perspektif dalam kehidupan.)

He is aware that the world is currently more uniting and blurring geographical lines among countries. Therefore, local languages are facing a real threat: extinction. Therefore, in our last talk, he highlighted the importance of learning languages. He hopes that the younger generation in Indonesia, especially in Borneo, start realizing that language is the gate to open up so many opportunities. Local languages, in particular, are on the brink of disappearance because more people are leaving it behind. Through school and media, he wishes that the preservation of local languages can be a priority. Because when people stop speaking the languages, the knowledge and culture from that language will also disappear.

(Beliau sadar bahwa dunia saat ini semakin menyatu dan pada akhirnya mengaburkan garis geografis antar negara. Karenanya, bahasa daerah menghadapi ancaman nyata: kepunahan. Di akhir perbincangan kami, beliau menyoroti pentingnya belajar bahasa. Beliau berharap agar generasi muda di Indonesia, khususnya di Kalimantan, mulai menyadari bahwa bahasa adalah pintu gerbang untuk membuka begitu banyak peluang. Bahasa-bahasa daerah, khususnya, berada di ambang kepunahan karena lebih banyak orang meninggalkannya. Melalui sekolah dan media, beliau juga berharap pelestarian bahasa daerah dapat menjadi prioritas. Karena ketika orang berhenti menggunakan sebuah bahasa, maka pengetahuan dan budaya dari bahasa itu juga akan hilang.)

Kunto Nurcahyoko

Community Leader, Southeast Asia

--

--

Kunto Nurcahyoko
Wikitongues

Kunto is a traveling addict who always gets excited to learn new things and discover the mystery of the world.