Belajar Anatomi Hewan dan Tumbuhan di Museum Biologi, Yogyakarta

Adika Faris
Wirta Indonesia
Published in
3 min readApr 7, 2020
Kerangka tulang Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis), pengunjung yang memotret ragam koleksi kupu-kupu yang diawetkan, dan Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) yang telah diawetkan dipajang di lantai dengan kotak kaca — Dokumentasi penulis

Sepi namun penuh adalah kesan pertama yang timbul bagi sebagian orang yang pernah memasuki Museum Biologi. Sepi, karena tidak ada pengunjung selain kami berlima, sekelompok mahasiswa pariwisata yang sedang observasi untuk penyelesaian tugas. Penuh, karena dengan bangunan yang tidak terlalu lebar, Museum Biologi memamerkan ratusan spesimen flora dan fauna yang diawetkan.

Terletak di Jalan Sultan Agung Nomor 22, Yogyakarta, Museum Biologi berdiri bersanding dengan restoran cepat saji yang sudah banyak membuka cabang di Yogyakarta. Tidak sulit menemukan Museum Biologi karena hanya berjarak beberapa ratus meter di timur Taman Pintar Yogyakarta. Pura Pakualaman pun hanya berjarak puluhan meter dari museum ini. Bagi yang tidak memiliki kendaraan pribadi, kalian dapat mendatangi Museum Biologi dengan Bus TransJogja karena haltenya tepat berada di depan museum.

Minim lahan parkir adalah kesulitan pertama yang harus kami hadapi. Terpaksa beberapa sepeda motor milik kami harus diparkirkan di halaman restoran cepat saji di sebelah. Belum apa-apa kami sudah harus merelakan selembar dua ribu rupiah tiap sepasang roda yang terparkir. Sepengalaman kami mengunjungi beberapa museum di Yogyakarta seperti Museum Sandi, Museum Dirgantara, dan Museum Gunung Merapi, baru kali ini kami diharuskan membayar biaya parkir akibat menumpang lahan parkir di tempat lain. Ketika kami datang, langit siang sedang mendung-mendungnya. Mengikhlaskan sepeda motor kami bermandikan air hujan adalah keniscayaan karena tidak ada atap pelindung di tempat parkir restoran cepat saji tersebut. Jika kami diperkenankan untuk memberi saran kepada pembaca, maka sebaiknya kalian menggunakan jasa ojek online agar tidak perlu kerepotan dalam memarkirkan kendaraan pribadi.

Ketika langkah kaki pertama masuk ke dalam gedung museum, hal pertama yang menarik perhatian adalah kerangka tulang gajah sumatera yang berdiri gagah di sudut ruang tunggu, seberang meja resepsionis yang kosong tanpa ada manusia yang menungguinya. Sedikit mencari-cari, akhirnya kami menemukan sebuah kehidupan, mbak-mbak pengurus museum yang terlihat sedang sibuk mengetik dalam ruangan belakang meja resepsionis. Mengetahui bahwa ada pengunjung, mbak-mbak ini langsung tersenyum dan setengah berlari mendatangi meja resepsionis. Mbak Candra namanya. Sendirian ditemani berbagai binatang dan tumbuhan yang diawetkan. Rekan-rekan kerjanya sedang ada urusan keluar, katanya. Karena kekurangan sumber daya manusia, ia harus mengkover beberapa pekerjaan sekaligus. Ternyata isu mengenai Museum Biologi yang agak ‘bobrok’ benar adanya.

Dengan selembar uang lima ribuan untuk tiap orang, kami resmi menjadi pengunjung Museum Biologi. Dengan ramah Mbak Candra menawarkan untuk menjadi edukator bagi kami. Kami pun juga membutuhkan narasumber dari pihak museum. Agar Mbak Candra tidak kerepotan dengan beberapa pekerjaan yang lain, kami minta untuk diajak berkeliling di ruang utama saja sementara sisanya cukup kami sendiri yang melihat-lihat. Kesepakatan tercapai. Ruang utamanya sendiri berisi beberapa kotak kaca besar mirip akuarium yang berisi binatang dan tumbuhan yang telah diawetkan dan disusun layaknya mereka masih hidup dan menempati suatu ekosistem tertentu.

Berkeliling di dalam Museum Biologi layaknya melihat sebuah miniatur Indonesia dalam perspektif flora fauna. Mulai dari binatang sebesar gajah sumatera hingga ubur-ubur laut dan bagian-bagian tubuh dari berbagai flora dipamerkan. Beberapa ruangan membuat kami takjub sementara beberapa ruang lainnya membuat kami bergidik ngeri. Bagaimana tidak merasa ngeri jika terdapat bermacam-macam spesies ular, katak, dan reptil lain yang diawetkan secara basah alias direndam dalam kotak kaca penuh cairan pengawet. Ini seperti melihat sebuah laboratorium milik professor antagonis dalam film horror.

Kucing hutan (Prionailurus planiceps) yang diawetkan dengan metode kering — Dokumentasi penulis

Sayangnya, Museum Biologi terlihat jelas minim perawatan. Banyak kotak kaca yang berisi binatang-binatang yang diawetkan kotor oleh debu. Informasi pada tiap koleksi pun masih minim, hanya tercantum informasi biologis tiap spesies tanpa ada fakta-fakta unik dan ilustrasi yang dapat menarik pengunjung untuk membacanya. Fasilitas penunjang seperti toilet pun terlihat jarang dibersihkan.

Berada di salah satu jalan besar yang strategis di pusat kota pun tidak membuat Museum Biologi ramai dikunjungi. Sepertinya fungsi pemasaran pada lembaga yang mengelola Museum Biologi tidak berjalan dengan baik. Terdapat spekulasi yang muncul setelah kami mengetahui isu tersebut. Apakah Museum Biologi miskin SDM? Apakah Museum Biologi minim pemasukan sehingga tidak mencoba melakukan perekrutan tenaga kerja tambahan? Namun daripada hanya berspekulasi, mari ramaikan museum ini. Selembar lima ribuan bukanlah harga yang mahal untuk melihat dan mengerti berbagai jenis flora dan fauna asli Indonesia.

--

--