Ni Made Gandhi Sanjiwani: Kembali ke Desa Membangun Pariwisata

Hanin Br.
Wirta Indonesia
Published in
8 min readSep 23, 2020

Ni Made Gandhi Sanjiwani atau yang biasa disapa sebagai Gandhi adalah perempuan berusia 26 tahun kelahiran Bali yang telah banyak berkiprah dalam pemberdayaan masyarakat desa khususnya pada desa wisata. Gandhi saat ini bekerja di Go Destination Village — startup desa wisata pertama di Indonesia — dan ikut terjun langsung dalam pengelolaan desa wisata di tempat ia tinggal, Desa Sayan. Kiprahnya dalam perkembangan desa wisata di Bali menarik perhatian kami dari WTID (Women In Tourism Indonesia) dan Wirta Indonesia untuk berbincang bersamanya. Kami mencoba mengulik apa saja pencapaiannya sejauh ini, bagaimana kiprahnya dalam mengembangkan desa tempat tinggalnya, hingga opini pribadinya terhadap peran perempuan di sektor pariwisata.

Ni Made Gandhi Sanjiwani

Apa pencapaian terbesar Mbak Gandhi sejauh ini?

Posisi saya sekarang sebagai sekretaris di Pokdarwis Desa Sayan dan bussiness development executive di Go Destination Village, membuat saya merasa bahwa semua keputusan yang saya buat sebagai seorang perempuan memiliki dampak terhadap perkembangan ke arah yang lebih baik. Contohnya ketika dalam rapat penting ada keputusan yang harus dijalani untuk MoU yang dapat memengaruhi perkembangan desa, saya memberikan pertimbangan terhadap keputusan-keputusan tersebut. Bagi saya ketika apa yang sudah dipelajari selama total tujuh tahun belajar di perguruan tinggi ini bisa diterapkan dan berdampak pada masyarakat, itulah momen keberhasilan. Hal yang paling membahagiakan selama proses ini adalah bukan di statusnya, tapi ketika apa yang kita lakukan itu bisa sampai ke masyarakat rentan, terutama di Desa Sayan. Dulu mereka hanya menjadi penonton, sekarang bisa ikut menikmati manfaat dari pariwisata. Contohnya saat mengelola bank sampah di Desa Sayan, saya bisa bekerjasama dengan beberapa eco hotel dan dari kerja sama ini saya bisa mengonversi labanya ke bentuk kebutuhan pokok yang bisa diberikan ke masyarakat rentan di Desa Sayan. Masyarakat rentan di sini utamanya adalah para orang tua yang terdampak pandemi.

Kami dengar Mbak Gandhi sudah menyelesaikan studi S2-nya, ya?

Iya, sudah. Lulus Oktober 2019 kemarin di UGM dan cumlaude.

Lalu apa sih motif Mbak Gandhi untuk pulang kembali ke desa dan membangun pariwisata di desa?

Jadi begini, kalau ditanya apa motivasinya kembali ke desa untuk memanajemen pariwisata di desa, itu berawal dari pola pikir. Saya tumbuh tidak di lingkungan praktis tapi di lingkungan akademis. Sejak 2015, saya sudah melakukan berbagai riset pariwisata dan dari situ saya sudah cukup banyak melihat kompleksitas permasalahan pariwisata di Bali, baik dari Bali Utara, Bali Selatan, Bali Timur. Sampai kemarin tesis saya membahas kawasan Ubud termasuk Desa Sayan.

Saya menyadari ada sesuatu yang urgent, yang kalau kita sebagai generasi mudanya tidak langsung berkontribusi dan menciptakan inovasi lalu siapa lagi? Sebagian besar anak muda di Bali yang merantau dan memiliki latar belakang pariwisata memang tidak banyak yang kembali ke desanya, bahkan banyak anak muda Bali yang menetap di luar negeri.

Ketika saya kembali ke Desa Sayan, saya bersama dengan tim, tokoh-tokoh desa, anak-anak muda di sana, sering mengadakan pertemuan-pertemuan informal untuk diskusi. Secara emosional saya merasa ada semacam panggilan untuk kembali ke desa untuk berkarya dan berkiprah. Semacam panggilan nurani gitu. Selain dari panggilan nurani, juga karena melihat fenomena bahwa hanya sedikit anak muda yang aware akan permasalahan di desanya masing-masing. Generasi muda harusnya menjadi ujung tombak desa. Bagaimana warisan budaya dijaga, dilestarikan, diinventarisasi, kearifan lokal, mitos-mitos, dan hal-hal sakral, seharusnya itu semua kita pahami bersama sebagai generasi muda. Itu masih sangat susah di Desa Sayan. Jika banyak anggapan bahwa masyarakat Bali sadar dengan kebudayaanya sangat tinggi, kenyataannya tidak seperti itu. Makanya saya ingin menyadarkan ke teman-teman kalau saya bisa, kalian juga bisa, apalagi perempuan juga bisa.

Berarti untuk tantangan dalam mengembangkan Desa Sayan ini salah satunya itu tadi, ya? Menyadarkan para anak mudanya.

Sangat betul. Salah satu tantangan terbesarnya adalah membuat generasi muda ini memiliki mental…. Apa ya istilahnya? Karena gini, Desa Sayan tidak kekurangan anak-anak muda yang cerdas dan kreatif. Mereka (anak muda di Desa Sayan) ini seniman, memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, sekolah kemana-mana gitu. Nggak hanya di sekitar sini. Tapi ketika diajak “ayo kembali ke desa”, kesadaran teman-teman ini masih kurang optimal. Tapi itu tidak menyurutkan tekad kami, terutama di tim inti pengelola Desa Wisata Sayan. Kami sudah merumuskan beberapa hal, program-program yang tujuannya merangkul para anak muda.

Tantangan lainnya ini juga, bekerja dengan masyarakat sangat berbeda dengan organisasi pada umumnya. Itu beda sekali.

Apa bedanya?

Ketika di organisasi, saya merasakan goals yang jelas, visi dan misi yang jelas. Di sana kita dituntut untuk berambisi. Bagaimana caranya bisa berkarya untuk memajukan organisasi. Tapi ketika bekerja di masyarakat, tidak sesimpel itu. Ketika kita sudah punya keinginan, sudah punya goals, kita harus sering mengeremnya.

Gandhi Memberikan Paparan dalam Sebuah Acara

Kenapa harus begitu? Apakah ada semacam pergesekan budaya?

Karena tempo masyarakat itu berbeda-beda. Ada masyarakat yang bisa cepat memahami apa tujuan kami membangun desa. Di sisi lain ada juga yang acuh tak acuh itu banyak. Di Desa Sayan banyak ditemukan kasus seperti itu. Ada masyarakat yang punya keinginan tapi nggak tahu cara mengungkapkannya dan akhirnya memilih tidak aktif. Tantangannya itu. Memanajemen masyarakat adalah salah satu tugas yang paling berat karena berhadapan dengan mindset masyarakat yang sudah bertahun-tahun terbentuk melalui proses sejarah dan pengaruh lainnya. Ketika kami masuk tidak semudah berkata “aku ingin menciptakan perubahan untuk desa”, itu nggak semua orang bisa menerima. Goals kita nggak secepat di organisasi pada umumnya. Maka perlu memperlambat tempo, tujuannya untuk mengendalikan gesekan untuk membuat programnya lebih sustain. Istilahnya ya berproses.

Bagi Mbak Gandhi, adakah opini terkait keterlibatan perempuan di sektor pariwisata?

Jika berbicara tentang peran perempuan dalam pariwisata khususnya perempuan di Bali, sangat luar biasa besarnya. Beberapa peneliti tingkat dunia, para antropolog, sudah menulis bagaimana kiprah dan eksistensi perempuan Bali dalam melestarikan tradisi dan budaya mereka, salah satunya dalam bentuk wisata kuliner. Di Ubud ini kan terkenal dengan wisata kulinernya. Semua wisata kuliner ini inisiatornya memang perempuan. Tanpa disadari, mereka ini memiliki peran yang besar dalam perkembangan destinasi wisata di Ubud.

Perempuan itu pandai multitasking, mereka tidak hanya pintar dalam mengurus urusan rumah tangga. Para perempuan mengelola homestay tapi juga masih pergi ke ladang dan tetap melakukan pekerjaan rumah tangga. Di Desa Sayan, jiwa-jiwa itu masih tetap eksis. Di Desa Sayan yang mau berkiprah di pariwisata justru mama-mama muda yang punya edukasi yang baik, mereka lulusan sarjana, tapi mereka mau berkontribusi di desa.

Di kepengurusan BUMDES di Desa Sayan, dalam tiga orang pengurus, dua di antaranya adalah perempuan. Dan ketua BUMDES-nya adalah perempuan. Meski perempuan-perempuan ini memiliki pekerjaan lain seperti di sektor informal katakanlah di UMKM, mereka tetap semangat untuk turut berpartisipasi dalam memajukan perekonomian desa melalui desa wisata atau pun BUMDES.

Kita tidak bisa mengabaikan peran perempuan dalam pembangunan desa wisata dan pariwisata. Pada dasarnya setiap perempuan membutuhkan tempat untuk aktualisasi diri. Apalagi bagi para perempuan yang memiliki latar pendidikan yang baik, sebelumnya sudah memiliki achievement. Ketika mereka sudah menikah, kami berikan ruang dan peluang di desa bagi mereka untuk berkembang dan ternyata mereka mau terlibat. Kebetulan kemarin yang kebanyakan apply di BUMDES itu kebanyakan perempuan.

Aktivitas Bank Sampah Kedassih

Untuk perempuan-perempuan di Desa Sayan, mereka terlibat di mana saja? Tadi Mbak Gandhi menyebutkan di Desa Sayan ada BUMDES, ada bank sampah juga.

Perempuan-perempuan di Desa Sayan terlibat di pengelolaan BUMDES dan bank sampah. Ada empat bank sampah dari empat banjar di Desa Sayan. Di Desa Sayan ada delapan banjar namun baru ibu-ibu PKK dari empat banjar yang menginisiasi bank sampah. Jadi kalo ibu-ibu PKK nggak gerak, ya nggak ada bank sampah, nggak ada gerakan pelestarian lingkungan.

Untuk bank sampah sendiri adakah nama komunitasnya?

Iya, jadi tiap bank sampah ada namanya. Komunitasnya ya Bank Sampah Desa Sayan secara umum. Tapi memang tiap banjar punya nama-nama lokalnya sendiri. Ada Komunitas Kedasih (kedasih berarti bersih), ada juga Komunitas Luwu Mas (yang artinya “sampah yang menjadi emas”).

Lalu untuk pokdarwisnya bagaimana? Bagaimana peran perempuan di sana?

Di pokdarwis, saya satu-satunya perempuan. Kepala desa yang jadi ketua pokdarwisnya.

Selain itu perempuan terlibat di mana lagi? PKK juga ya?

Iya, PKK juga aktif. Selain itu sebelum pandemi sering ada event-event lokal dan internasional di Desa Sayan karena ada SDM yang berkapasitas untuk membuat acara-acara tersebut. Pada 2016 saya pernah ikut menginisiasi festival berbasis masyarakat. Berkat festival ini akhirnya banyak pihak-pihak luar datang ke Desa Sayan untuk membuat festival-festival lokal. Dan perempuan di sana sangat terlibat aktif. Dalam susunan panitia, perempuan mendominasi juga. Jadi jika tidak ada perempuan, koperasi ini sia-sia sekali. Mereka sangat memiliki tanggungjawab. Jam segini diberikan tugas diminta selesai ya selesai.

Bagaimana perasaan Mbak Gandhi sebagai seorang perempuan yang terjun di sektor pariwisata?

Seperti yang saya bilang sebelumnya, ini seperti panggilan hidup. Tujuan saya menempuh pendidikan tinggi adalah sebagai modal untuk berkontribusi dan bermanfaat bagi masyarakat desa. Sebelum memiliki modal sosial yang cukup, memangnya apa yang akan diberikan untuk desa? Nggak mungkin langsung diberi kepercayaan, omongan kita mau didengar. Ketika sudah memiliki modal sosial dan pengalaman, kita akan jauh lebih bisa memberikan manfaat.

Perasaannya bahagia sekali, bercampuraduk dengan terharu juga. Terharu karena bisa membantu dan meringankan beban masyarakat rentan. Selama ini saya hanya bisa membaca, menulis, memperhatikan, dan mendengar bagaimana masyarakat yang tidak mendapatkan manfaat dari industri pariwisata. Namun, ketika saya sudah bisa melakukan sesuatu, menjembatani sebuah proses tersebut, dan memberi dampak secara nyata, hal tersebut membuat saya sangat bahagia. Bagi saya, percuma memiliki banyak ijazah dengan gelar A B C D E F G banyaknya. Jika, tidak ada kepedulian dan kepekaan terhadap isu-isu sosial yang ada di sekitar, lalu apa gunanya?

Mbak Gandhi sangat memegang kuat prinsip Tri Hita Karana, ya?

Iya, benar. Kami orang Bali sangat kuat memegang nilai-nilai filosofis seperti itu. Sangat memengaruhi juga.

Kami tertarik dengan gagasan bank sampah yang sudah diceritakan Mbak Gandhi di awal. Apakah wisatawan ikut terlibat juga di bank sampah? Misalnya membuat souvenir dari sampah.

Kebetulan bank sampah baru diinisiasi baru-baru ini. Jadi belum lama. Kepemimpinan kepala desa yang milenial pun baru di tahun-tahun ini. Jika berbicara keterlibatan wisatawan, secara reguler mereka ada program sebulan sekali penukaran sampah dikonversi menjadi buku tabungan. Kalau keterlibatan wisatawan yang jelas belum ada di sana. Baru kemarin saat masa transisi new normal, kami buat program bekerjasama dengan industri pariwisata, saat itu baru mulai diketahui wisatawan-wisatawan lokal, residential tourist, expatriat, dan wisatawan mancanegara yang masih terjebak belum bisa pulang ke negaranya. Mereka terlibat sebagai volunteer, donatur, dan menjembatani proses donasi. Kemarin mereka mengikuti lelang lukisan untuk penggalangan dana. Aktif sekali mereka. Mereka juga dilibatkan pada hari-H. Mereka ikut bantu gotong-gotong beras. Kan para orang tua susah bawanya, mereka bantu.

Menarik sekali ceritanya, Mbak. Terima kasih banyak sudah berbagi cerita dan pengalamannya. Matur suksma.

Iya, sama-sama. Suksma mewali.

--

--

Hanin Br.
Wirta Indonesia

menjalani hari-hari sebagai buruh teknologi, jika ada waktu menulis sesekali