Community Based Tourism (CBT) sebagai Metode Bottom-Up dalam Konsep Pengembangan Pariwisata

Wirta Indonesia
Wirta Indonesia
Published in
5 min readMay 21, 2020

--

Ditulis oleh Dewi Ariyanti Soffi

Photo by Perry Grone on Unsplash

Community based tourism merupakan salah satu metode pengembangan pariwisata yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat, hal ini terlihat dari banyaknya objek pariwisata yang mengadopsi metode ini dalam strategi pariwisata mereka. Menurut Johnson (2010) dalam (Syah, 2019) menjelaskan bahwa Community Based Tourism (CBT) merupakan suatu proses dimana pariwisata digunakan sebagai alat dalam pengembangan masyarakat, dimulai dari partisipasi aktif masyarakat setempat dalam membangun kapasitas masyarakatnya saat mengelola pariwisata, sehingga pihak pemerintah ataupun swasta dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata.

Metode ini menempatkan masyarakat sebagai objek sekaligus pelaku pariwisata sehingga pihak lain, seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pemerintah berlaku sebagai pengontrol atau pemantau dari implementasi metode community based tourism (CBT). Metode ini merupakan salah satu metode yang dianggap efektif karena dianggap dapat mengembangkan potensi masyarakat, tidak hanya menguntungkan salah satu pihak, namun juga berbagai pihak yang terlibat. Banyaknya komunitas lokal dan desa di Indonesia membuat pendekatan ini semakin banyak di adopsi oleh berbagai sektor pariwisata terutama pada pengembangan pariwisata lokal. Pendekatan Community Based Tourism (CBT) tidak hanya melibatkan partisipasi masyarakat saja namun melibatkan semua elemen yang turut membangun sebuah eksistensi pariwisata, seperti: travel agency, investor dan lembaga pemerintah.

Saat ini pariwisata merupakan sebuah kebutuhan bagi setiap individu untuk berlibur dan melepaskan beban sejenak, banyak masyarakat disibukkan oleh pekerjaan kantor dan padatnya aktivitas kota metropolitan yang ingin melihat suasana sejuknya pedesaan dengan masyarakat yang ramah serta perilaku gotong-royong. Begitu juga dengan masyarakat pedesaan, mereka cenderung ingin melihat suasana perkotaan terutama dengan adanya wisata perkampungan yang ada di tengah kota. Oleh karena itu pendekatan Community Based Tourism (CBT) bisa diterapkan secara fleksibel baik pada lingkungan perkotaan maupun pedesaan.

Photo by Robert Collins on Unsplash

Seperti pada penelitian (Arifin, 2017) dengan studi kasus penerapan pendekatan Community Based Tourism (CBT) dalam kawasan Kota Tua Jakarta dengan menggandeng komunitas yang dibina dan identik dengan budaya atau sejarah Kota Tua, seperti: komunitas manusia batu yang menggambarkan karakter pejuang serta komunitas ontel yang menggambarkan ciri khas kawasan kota tua. Berdasarkan penjelasan tersebut partisipasi aktif tidak hanya datang dari masyarakat sekitar namun juga komunitas atau kelompok masyarakat. Pelibatan komunitas dalam pengelolaan kawasan Kota Tua mendukung pengembangan objek pariwisata sebagai daya tarik pariwisata sekaligus meningkatkan daerah ataupun perekonomian masyarakat. Komunitas lokal merupakan bagian penting sebagai penggiat pariwisata yang berawal dari inisiatif hingga membentuk sebuah objek pariwisata yang khas atau tidak ada di tempat lain.

Kemudian dalam penelitian (Pantiyasa, 2011) dengan studi kasus pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism) di Desa Bedulu, Gianyar, Bali. Dalam jurnal ini strategi pengembangan (Community Based Tourism) yang dilakukan adalah: 1) Melakukan pendekatan yang lebih intensif kepada pemerintah untuk mendapatkan bantuan PNPM Pariwisata Mandiri. 2) Pendekatan kepada instansi non-pemerintah maupun lembaga pendidikan pariwisata perihal konsultasi dan bimbingan tentang peningkatan pengelolaan pariwisata. 3)Melakukan pertemuan dengan seluruh stakeholder untuk meyakinkan pemerintah, seperti: agent travel dan mitra pemasaran. Berdasarkan studi kasus tersebut masyarakat menyusun strategi dan bergerak secara aktif dalam melakukan pendekatan ke berbagai pihak, sehingga muncul inisiatif atau dorongan untuk meningkatkan kualitas pariwisata desa tersebut.

Meningkatnya kualitas pariwisata tidak hanya berdampak pada fasilitas yang kian membaik namun juga berdampak pada perekonomian masyarakat. Pariwisata bisa dijadikan sektor utama mata pencaharian masyarakat, mengingat kebutuhan akan berwisata semakin meningkat, terutama dengan adanya ciri khas yang terdapat dalam objek pariwisata. Buah tangan atau oleh-oleh dapat menjadi peluang dalam mengembangkan perekonomian masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Melalui pembagian peran dalam pengelolaan pariwisata, masyarakat dapat berkontribusi dan menyusun strategi atau langkah yang dilakukan. Keuntungan yang diperoleh pun dibagi secara merata dengan adanya iuran atau pemotongan hasil pariwisata untuk kontribusi pada pembangunan atau pengembangan objek pariwisata. Oleh karena itu pendekatan ini dianggap pendekatan yang tepat dalam membangun objek pariwisata dengan melibatkan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan perekonomian mereka.

Dilansir dari (Komsary, 2018) terdapat 5 kriteria tolak ukur keberhasilan dalam pembangunan pariwisata pada pendekatan Community Based Tourism (CBT), antara lain: 1) Manfaat yang diperoleh dari CBT harus di distribusikan secara merata kepada seluruh masyarakat yang terlibat secara aktif dalam objek pariwisata tersebut. 2) Manajemen kepariwisataan harus tertata dengan baik dan hati-hati. 3) CBT harus memiliki kemitraan yang kuat dan dukungan baik oleh pihak internal maupun eksternal masyarakat. 4) Adanya keunikan atau daya tarik yang harus dipertahankan demi keberlanjutan destinasi. 5) Pelestarian lingkungan atau ekologi setempat harus diperhatikan.

Berdasarkan indikator diatas pendekatan Community Based Tourism (CBT) merupakan salah satu pola bottom-up yang didasarkan atas keinginan dan inisiatif masyarakat hingga membentuk sebuah gerakan atau aksi nyata. Sehingga landasan dan gagasan masyarakat menjadi dasar bagi pendekatan Community Based Tourism (CBT) yang kemudian dikembangkan oleh berbagai stakeholder, seperti: lembaga pemerintah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Pola bottom-up dalam metode Community Based Tourism (CBT) memiliki berbagai kelebihan bagi masyarakat antara lain: 1) Masyarakat memiliki suara yang dominan dalam membentuk sebuah rancangan/gagasan atau strategi pariwisata yang sesuai dengan karakteristik objek pariwisata. 2) Rancangan yang dibuat berpeluang besar tepat sasaran dan meminimalisir adanya penyelewengan dana karena bersifat terbuka bagi masyarakat. 3) Perencanaan yang dibuat bersifat kolaboratif karena melibatkan beberapa pihak dalam pengembangan pariwisata. 4) Keputusan yang dipilih didasarkan pada musyawarah sehingga tidak menguntungkan satu pihak.

Oleh karena itu perpaduan antara metode Community Based Tourism (CBT) dan pola bottom-up membentuk sebuah rancangan atau kebijakan yang tepat bagi berkembangnya destinasi pariwisata. Namun, perlu digarisbawahi bahwa strategi pengembangan pariwisata tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa adanya bimbingan para ahli. Oleh karena itu, perlu ada pendampingan oleh pihak terkait dalam merumuskan rancangan strategi atau kebijakan. Pihak-pihak tersebut antara lain seperti Dinas Pariwisata dan LSM yang bergerak di bidang pariwisata atau ekologi.

Referensi

Arifin, A. P. (2017). Pendekatan Community Based Tourism Dalam Membina Hubungan Komunitas Di Kawasan Kota Tua Jakarta. Jurnal Visi Komunikasi, Vol. 16, №01, 111–130.

Komsary, K. C. (2018, Januari 8). Binus Tourism. Retrieved from BINUS Higher Education: https://tourism.binus.ac.id/2018/01/08/community-based-tourism/

Pantiyasa, I. W. (2011). Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) Dalam Pemberdayaan Masyarakat(Studi kasus di Desa Bedulu, Blah Batuh, Gianyar). Jurnal Ilmiah Hospitality Management, 1(2), 50–60.

Syah, D. P. (2019). Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) Di Desa Wisata Banjarejo Kabupaten Grobogan). Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 8.

--

--