Dark Tourism: Wisata, Etika, dan Moral Ambiguitas

Martha Agustine
Wirta Indonesia
Published in
5 min readJun 3, 2020
Photo by Alessio Maffeis on Unsplash

Isu etika dan ambiguitas moral dalam dark tourism masih terus menjadi bayangan yang mengikuti perkembangan dark tourism itu sendiri, dimanapun itu.
---

Pernahkah anda mengunjungi tempat-tempat seperti Lubang Buaya, Bunker Kaliadem, atau Museum Tsunami di Aceh? Apa yang anda rasakan saat mengunjungi tempat itu? Dan, bagaimana anda akan bersikap di tempat itu? Dilihat dari perkembangannya, meskipun bukan merupakan hal yang baru, dark tourism masih kalah pamor dengan wisata sejarah atau warisan budaya. Lalu, apakah sebenarnya dark tourism itu?

Dark tourism telah menjadi subjek perdebatan akademis dalam beberapa tahun terakhir, terutama untuk kritik dan penilaian dampak yang terkait di dalamnya. Dark tourism telah didefinisikan sebagai pariwisata yang melibatkan perjalanan ke tempat-tempat yang secara historis terkait dengan kematian dan tragedi. Situs dark-tourism(dot)com menjelaskan konsep dark tourism berdasarkan pendapat Lennon dan Foley (2000). Lennon dam Foley mengatakan bahwa konsep dark tourism ini menjadi suatu fenomena ‘modern’. Mereka mengklaim hal itu sebenarnya merupakan bagian dari konsep modernitas itu sendiri. Maksudnya? Ada suatu hal yang menjadi daya tarik dari kematian dan bencana, yang sebagian besar terbantu atau sering diciptakan oleh media modern. Tanpanya, daya tarik dari tujuan wisata tersebut tidak akan dapat menarik pengunjung.

Lalu, apakah semua tempat yang berhubungan dengan kejadian ‘gelap’, yang terkait dengan peristiwa kematian, bencana, dan penderitaan dapat dijadikan destinasi dark tourism? Mungkin belum tentu. Masalah lainnya adalah komodifikasi. Pertama, harus ada ‘sesuatu’ di sana agar sebuah situs dapat menjadi situs dark tourism. Menurut beberapa pendapat, untuk dapat menjadi sebuah situs dark tourism, harus ada sesuatu yang dapat dilihat, dirasakan, atau dialami di sana.

Selama setengah abad terakhir terlihat bahwa turis telah lama tertarik pada tempat atau peristiwa yang terkait dengan kematian, bencana, dan penderitaan (Stone, 2009). Tempat-tempat semacam ini lah yang disebut sebagai situs untuk dark tourism. Menurut John Lennon dan Malcolm Foley, atraksi dark tourism dapat disebut juga sebagai thanatourism (Seaton, 1996 - dikutip dalam Ryan et al, 2005) atau 'Black Spots' alias ‘tempat yang gelap’ (Rojek, 1997). Bentuk pariwisata inilah yang didefinisikan oleh Seaton (1999) tentang berwisata ke lokasi yang terkait dengan kematian, penderitaan, dan peristiwa tragis lainnya. Bahkan, perjalanan wisata ke tempat-tempat kematian, perang, genosida, pembunuhan dan bencana menjadi cabang pariwisata yang paling berkembang selama beberapa tahun terakhir dan menjadi sebuah aktivitas budaya bagi sebagian masyarakat.

Dengan semakin populernya jenis pariwisata ini, masalah etika di sekitarnya pun perlu diperhatikan (Tunbridge dan Ashworth, 1996). Etika berperan dalam hampir setiap keputusan terkait bisnis (Hartman, 1998). Hal ini pun tidak luput dari hubungan antara wisatawan dan penyedia jasa yang berpartisipasi dalam pertumbuhan fenomena dark tourism ini. Hal ini dianggap penting karena wisatawan maupun penyedia jasa wisata berpotensi mengontraskan perspektif etika dalam dark tourism menggunakan cara yang berbeda sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman.

Namun dalam praktiknya, cara pengelola untuk melestarikan sejarah dan cerita dalam situs wisata dark tourism adalah dengan membebankan biaya kepada wisatawan untuk mempertahankan pemeliharaannya. Hal ini menunjukkan seolah wisatawan dapat mengunjungi suatu situs dark tourism sebagai cara untuk menghasilkan uang dengan mengorbankan nyawa orang yang telah meninggal di situs tersebut. Sedangkan sarana yang digunakan oleh pengelola untuk membiarkan orang tahu tentang cerita sejarah dari situs dark tourism tersebut adalah melalui interpretasi gambar-gambar vulgar, yang mungkin tampak tidak etis dan tidak menyenangkan bagi bagi beberapa kalangan.

Dari sini akan timbul beberapa pertanyaan. Mengapa dark tourism cukup populer? Mengapa kita memilih untuk mengunjungi tempat-tempat kematian dan tragedi? Apa yang menarik kita ke kesedihan seperti itu?

Bagi sebagian orang, hal ini murni dilakukan dengan kemungkinan untuk dapat memahami suatu peristiwa lampau di tempat tragedi secara emosional. Bagi sebagian orang, memahami sejarah lebih dalam terutama mengenai suatu tragedi penting untuk dilakukan. Dengan mengunjungi situs-situs dark tourism, wisatawan dapat meluangkan waktu mereka untuk sejenak merenungkan sejarah. Dark tourism juga memiliki hubungan dekat dengan wisata sejarah dan edukasi. Bagi sebagian orang, hal ini merupakan motivasi utama untuk menjadi seorang dark-tourist. Walaupun dark tourism mungkin bukan pengalaman liburan yang menyenangkan, beberapa orang menikmati aspek sejarah dan pendidikan di dalamnya.

Dapat ditarik benang merah bahwa pengunjung situs dark tourism merupakan kelompok sosial-demografis yang luas. Motivasi kunjungan mereka bisa saja berasal dari tujuan pendidikan, keinginan untuk memahami peristiwa lampau, ataupun motivasi lain yang berkaitan dengan sejarah. Selain itu, ada pula motivasi yang diamini oleh banyak orang, yaitu motivasi untuk mengalami sesuatu yang berbeda atau baru.

Namun, terlepas dari motivasi yang berbeda, masih ada masalah etika yang belum terselesaikan dan perlu ditangani. Contohnya seperti berswafoto yang tidak pantas atau mengambil foto orang yang sedang berduka. Hal ini lantas menimbulkan perbedaan pendapat tentang apakah dark tourism itu benar atau salah.

Jadi, apakah benar-benar etis mengunjungi situs kematian dan tragedi? Atau memotret mereka yang sedang berduka? Atau berswafoto di situs tersebut? Banyak orang memang mempertanyakan etika ketika akan mengambil bagian dalam dark tourism.

Poin-poin mengenai moralitas dalam praktik dark tourism yang dianggap masih ambigu pun tidak dapat dihindarkan. Pemikiran-pemikiran seperti "pantaskah kesedihan orang lain dijadikan komoditi dari sebuah sektor bisnis yang konsep utamanya adalah relaksasi?" atau "pantaskah cerita tentang kematian seorang atau sekelompok orang dijadikan sebagai jalan untuk mengumpulkan profit?" terkadang masih terlintas di benak pemerhati wisata. Penelitian-penelitian terkait dark tourism dan masalah etika di dalamnya cukup banyak ditemukan. Hal ini menjadi salah satu pembuktian terhadap ambiguitas moral yang ada dalam dark tourism bukan hanya sekadar masalah sepele. Stone (2006), menyatakan bahwa etika dan moralitas yang menjual narasi yang provokatif dan sensitif melalui warisan sejarah atau budaya kepada masyarakat luas dalam bentuk tur dan kunjungan merupakan masalah yang cukup serius dari praktik dark tourism ini.

Dr. Hayley Stainton dalam artikelnya yang berjudul "Dark Tourism Explained: What, Why and Where", memberikan beberapa saran bagi wisatawan yang mengunjungi destinasi dark tourism. Saran tersebut dapat digunakan sebagai panduan umum. Berikut beberapa perilaku yang ditunjukkan oleh dark-tourists, yang dianggap ofensif atau tidak pantas:

  • Memotret orang di saat-saat duka.
  • Tersenyum dan tertawa di sekitar mereka yang mengalami kesulitan.
  • Memperlakukan orang seolah-olah itu adalah pameran museum.
  • Membuat komentar yang tidak pantas.
  • Mengenakan pakaian yang tidak sopan.
  • Menggunakan bahasa yang tidak pantas.
  • Membuat komitmen pada wisata bencana untuk keuntungan pribadi.
  • Menghasilkan uang dari kesulitan orang lain.
  • Berbicara dengan keras tentang masalah yang tidak terkait dengan hal-hal dalam situs.
  • Menunjukkan tanda-tanda tidak menghormati.

Dark tourism sering menimbulkan pro dan kotra tentang pariwisata sebagai kegiatan relaksasi dicampur dengan tragedi (Kempa dan Strange, 2003). Pro kontra dapat muncul karena sebagian orang berpikir bahwa beberapa situs dark tourism terlalu sensitif untuk dijadikan sebagai sebuah situs wisata. Selain itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Stone (2009), hak-hak mereka yang kematiannya dijadikan komoditas atau diperdagangkan melalui dark tourism masuk ke dalam dimensi etis dan moral yang penting, yang patut dipertimbangkan secara mendalam.

“Lalu, harus bagaimanakah kita bersikap mengenai fenomena dark tourism ini?”

Referensi:

  • Essays, UK. (November 2018). Dark Tourism And Ethical Issues Tourism Essay. Retrieved from https://www.ukessays.com/essays/tourism/dark-tourism-and-ethical-issues-tourism-essay.php?vref=1
  • http://www.dark-tourism.com/index.php/darktourism/18-main-menus/mainmenussubpages/603-the-concept-of-dark-tourism
  • https://tourismteacher.com/dark-tourism/

--

--

Martha Agustine
Wirta Indonesia

feeling like a Monday, but someday i'll be Saturday night