Food Tourism Story: Cita Rasa Pedas dan Budaya Minang dalam Masakan Padang sebagai Branding Destinasi

Martha Agustine
Wirta Indonesia
Published in
6 min readMay 18, 2020
Sumber foto: Makanmana.net

Dalam beberapa tahun terakhir, citra semakin diterapkan pada makanan dan masakan sebagai indikator keberhasilan branding destinasi. Berg dan Sevon (2014: 289) menegaskan bahwa makanan dan keahlian memasak secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi karakter tempat dan citra destinasinya. Banyak penelitian juga telah mendukung bahwa wisatawan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang memiliki reputasi sebagai tempat untuk bereksperimen dengan produk lokal berkualitas (World Tourism Organization, 2012: 8). Dalam upaya untuk secara langsung meningkatkan daya saing tujuan, banyak negara fokus pada membangun citra makanan dan masakan yang dapat dibedakan dengan ciri khasnya masing-masing dan membuatnya menarik bagi wisatawan (Henderson, 2009).

Indonesia, seperti yang diketahui, memiliki berbagai macam kebudayaan. Salah satunya adalah kebudayaan Minangkabau. Kebudayaan Minangkabau merupakan warisan nasional yang bernilai berperan dalam kehidupan masyarakatnya, khususnya masyarakat itu sendiri. Setiap suku bangsa mempunyai ciri-ciri tertentu yang menggambarkan kehidupan masyarakatnya. Salah satu warna yang khas padabudaya Minangkabau adalah kulinernya. Kuliner Minangkabau dikenal dengan cita rasanya yang pedas, dan masakan ini populer di luar komunitasnya.

Lagi-lagi, bahasan mengenai pariwisata dan makanan khas daerah seakan memberikan ketertarikan sendiri sebagai sebuah isu yang menarik untuk dibicarakan. Di Indonesia, branding destinasi menggunakan makanan sudah banyak dijumpai, misalnya seperti sate Madura, soto Lamongan, pempek Palembang, dan lain sebagainya. Salah satu jenis makanan yang terkenal di Indonesia, bahkan juga terkenal di dunia adalah masakan Padang. Cita rasa yang didominasi oleh rasa gurih dan pedas dipadukan dengan rempah yang kaya membuat masakan Padang dikenal dengan ciri khasnya tersebut.

Sebagai strategi pemasaran, branding melibatkan proses menggambarkan dan mengelola elemen produk untuk mengembangkan citra positif untuk menarik dan mempertahankan konsumen (Low dan Fullerton, 1994). Ketika diterapkan pada pariwisata, branding mengacu pada persaingan pemasaran destinasi untuk wisatawan dengan menciptakan dan mempertahankan destinasi yang konsisten tentang identitas yang dianggap berbeda dan menarik (Fox, 2007; Morgan et al., 2002). Salah satu faktor keberhasilan yang paling penting untuk tujuan branding adalah citra destinasi, yang merupakan persepsi brand dalam hal kualitas dan asosiasi. Oleh karena itu, citra destinasi secara langsung mencerminkan kekuatan brand itu sendiri dan berkontribusi untuk membentuk brand destinasi. Dalam pariwisata, makanan dan masakan telah dikonseptualisasikan sebagai salah satu elemen (bersama dengan alam, situs budaya, fasilitas perbelanjaan, transportasi, akomodasi, dan hiburan) yang berkontribusi dalam membangun citra brand destinasi. Dalam studi food tourism, masakan telah dikonsepsi lebih spesifik sebagai citra brand untuk destinasi. Perbedaan antara kedua konseptualisasi ini signifikan, terutama ketika negara-negara fokus untuk membangun citra makanan dan masakan yang dapat dibedakan dan dicirikan dengan strategi branding mereka untuk menarik wisatawan (Henderson, 2009).

Citra makanan dan masakan juga mengartikulasikan konsep budaya, yang berhubungan dengan bagaimana makanan disiapkan dan dikonsumsi, bersama dengan adat, sejarah, warisan, agama, etnis, budaya lokal, dan berbagai pengalaman kuliner yang otentik dan trendi (Chang et al., 2011). Dari segi masyarakat, makanan memberikan hubungan yang penting dengan orang-orang sebagai atribut mendefinisikan masyarakat, status sosial, gaya hidup tertentu, dan juga bagaimana orang membentuk lingkungan dan budaya makanan (Frochot, 2003).

Sepiring nasi padang lengkap dengan lauk dan sayur. (sumber: detikdotcom)

Seperti yang diketahui bahwa daerah Minangkabau termasuk salah satu daerah yang kaya dengan budaya dan memberi warna tertentu dalam sistem sosialnya. Salah satu warna yang khas budaya Minangkabau adalah kulinernya. Masyarakat Minang memiliki keragaman budaya karena sistem sosialnya mengenal “adat selingka nagari”, terutama dalam hal makanan dan pakaian yang dapat memiliki ciri khas di setiap nagari. Berdasarkan keadaan geografisnya daerah Minangkabau yang terbagi dua itu yaitu daerah inti (darek) dan daerah rantau (pesisir barat dan pantai timur). Geografis ini mempengaruhi tingkah laku, kebiasaan dan jenis makanan yang mereka konsumsi. Ciri utama dari makanan Padang adalah lauk pauk makanan pokok dan parabuang (makanan penutup). Secara umum lauk pauknya berasa pedas dengan menggunakan bumbu yang beragam, sedangkan parabuang umumnya memiliki rasa manis. Proses pengolahan lauk pauk dan parabuang tersebut umumnya menggunakan waktu yang lama dan memakai santan kelapa.

Masakan Minangkabau terlanjur dikenal masyarakat awam dengan sebutan Masakan Padang, yang dikenal banyak menggunakan santan dan daging, memiliki rasa pedas dari penggunaaan bumbu dan rempah-rempah. Rumah makan yang menyediakan masakan Padang di dalamnya pun banyak dijumpai hampir di seluruh Indonesia. Meskipun begitu, bagi sebagian orang yang memiliki perhatian besar terhadap otentisitas hal ini menjadi suatu keharusan untuk mencicipi masakan Padang di Kota Padang. Pengalaman dalam mencari otentisitas rasa inilah yang bisa dikembangkan di Kota Padang untuk meningkatkan promosi wisata kulinernya.

Seperti yang sudah diketahui masyarakat banyak bahwa masakan Padang identik dengan rasa pedas yang otentik. Wisata kuliner pedas ini bisa dijadikan sebagai branding destinasi wisata Kota Padang. Wisatawan saat ini cenderung memiliki ketertarikan tersendiri terhadap wisata budaya, disamping wisata alam yang memang masih banyak digemari. Kuliner pedas yang dimiliki oleh Kota Padang, yang resepnya sudah diturunkan dari zaman dahulu, menjadi salah satu bentuk budaya baik tangible maupun intangible. Tangible karena kuliner itu berwujud dan dapat dilihat juga disentuh, intangible karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang juga mampu menarik perhatian wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tidak hanya itu, nilai-nilai budaya yang ada dalam masakan Padang tersebar hampir di seluruh proses pembuatan makanan itu sendiri, mulai dari pemilihan bahan, bumbu, hingga cara memasak yang membutuhkan waktu lama. Hal-hal diatas bisa dijadikan sebuah atraksi wisata yang menarik.

Branding masakan Padang untuk wisata kuliner di Kota Padang yang menyajikan otentisitas rasa khas daerah menjadi sebuah potensi yang patut untuk dikembangkan mengingat wisata alam, sejarah, ataupun budaya yang ada di Padang hampir sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Wisata kuliner pedas di Padang bisa menjadi ciri khas tersendiri bagi Kota Padang, selain dikenal dengan jam gadangnya, Padang juga akan dikenal dengan kuliner pedasnya.

Dari hal-hal di atas, dapat disepakati bahwa kuliner merupakan salah satu bentuk dari budaya. Budaya dalam bentuk kuliner ini bisa dijadikan sebagai potensi untuk membuat branding destinasi suatu wilayah. Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat ini mempunyai potensi kuat untuk dijadikan destinasi wisata kuliner dengan cita rasa makanan pedas sebagai brandingnya. Hal ini bukan semata-mata untuk memperoleh pengalaman otentisitas bagi wisatawan, namun juga sebagai pengenalan budaya Minang melalui kulinernya mulai dari proses memasak dan semua nilai yang terkandung di dalamnya. Wisata kuliner di Padang ini tidak terbatas dalam budaya saja tetapi juga warisan yang telah diturunkan sejak zaman dahulu dan masih dipertahankan hingga sekarang.

Branding suatu destinasi tidak bisa dilakukan dalam sekejap, perlu diadakan pengkajian ulang. Hal ini tidak hanya menyangkut bidang pariwisata saja namun juga budaya dan pemerintah. Para pemangku kepentingan yang terkait pun perlu dikaji ulang. Perencanaan ini membutuhkan campur tangan dari banyak pihak. Saran yang bisa diberikan oleh penulis adalah, membuat branding ini dengan mengikutsertakan warga lokal dalam perencanaannya. Hal ini dilakukan karena masyarakat lokal yang mengetahui bagaimana kebudayaan mereka ada dan terjadi, hal ini juga dilakukan untuk menghindari adanya praktik komodifikasi dan komoditisasi budaya yang diambil dari makanan pedas khas Minang ini. Pemerintah dan pengelola dirasa perlu menjadi pengawas untuk memantau apakah branding ini mampu meningkatkan kunjungan wisatawan untuk berwisata kuliner di Padang.

Makan masakan Padang di Padang langsung, bukankah akan terasa lebih seru?

Referensi:

  • Berg PO and Sevon G (2014) Food-branding places — A sensory perspective. Place Branding and Public Diplomacy 10(S4): 289–304.
  • Chang RCY, Kivela J and Mak AHN (2011) Attributes that influence the evaluation of travel dining experience: When East meets West. Tourism Management 32(2): 307–316.
  • Fox R (2007) Reinventing the gastronomic identity of Croatian tourist destinations. International Journal of Hospitality Management 26(3): 546–559.
  • Frochot I (2003) An analysis of regional positioning and its associated food images in French tourism regional brochures. Journal of Travel & Tourism Marketing 14(3–4): 77–96.
  • Henderson JC (2009) Food tourism reviewed. British Food Journal 111(4): 317–326.
  • Low GS and Fullerton RA (1994) Brands, brand management, and the brand manager system: A critical-historical evaluation. Journal of Marketing Research 31(2): 173–190.
  • World Tourism Organization (2012) Global Report on Food Tourism. Madrid: UNWTO.

--

--

Martha Agustine
Wirta Indonesia

feeling like a Monday, but someday i'll be Saturday night