Gudeg dan Efek Nostalgic Gustatory dalam Perkembangan Wisata Kuliner Jogja

Martha Agustine
Wirta Indonesia
Published in
6 min readMay 14, 2020
Gudeg Mbah Lindu, salah satu penjual gudeg tertua di Yogyakarta. (Bagus Kurniawan/detikdotcom)

Cerita tentang Yogyakarta dan segala bentuk romantisasinya memang seakan tak pernah memudar. Sejarah, budaya, wisata, hingga bahkan kuliner kaki lima yang ada di Yogyakarta agaknya selalu mengajak siapapun untuk “kembali”. Malioboro, Tugu Yogyakarta, hingga gudeg, masih menjadi primadona bagi wisatawan. Hal ini seakan mengatakan “kalau kamu belum ke Malioboro dan Tugu, kamu belum ngerasain Jogja” atau “kalau kamu belum nyobain gudeg, kamu belum ngerasain Jogja”. Validasi seakan tidak diperlukan lagi terhadap kedua pernyataan itu, seperti sudah menjadi suatu hal yang saklek dan harus dilakukan jika berkunjung ke Yogyakarta. Ya, pergi jalan-jalan sambil berfoto di Malioboro dan Tugu, serta yang tidak boleh terlewat, makan gudeg. Bicara mengenai gudeg, salah satu jenis kuliner tradisional Yogyakarta yang kepopulerannya tidak dipertanyakan lagi, memang selalu menghadirkan daya tarik tersendiri.

Kepopuleran gudeg tidak terlepas dari peran serta para penggemarnya yang setia mempromosikan gudeg, baik secara langsung atau bahkan secara tidak mereka sadari. Menurut Murdiyati Garjito, berdirinya Universitas Gadjah Mada pada tahun 1949 mempengaruhi perkembangan gudeg di Yogyakarta. Banyak masyarakat yang menjajakan gudeg di sekitar UGM sehingga banyak pegawai maupun mahasiswa yang menjadikan gudeg sebagai makanan sehari-hari mereka. Selain harganya yang murah gudeg memiliki rasa yang cocok untuk lidah orang Jawa dan bahannya yang mudah di dapatkan sehingga keberadaan gudeg bisa terus eksis sebagai makanan rakyat yang favorit.

Menurut Rizkie Nurindiani yang mengutip pandangan dari Jon D. Holtzman, nostalgic gustatory merupakan istilah yang tepat untuk mewakili keistimewaan Yogyakarta dan gudegnya. Nostalgic gustatory adalah bagaimana makanan bisa memunculkan suatu kenangan yang luar biasa. Melihat berkembangnya industri kuliner, terutama yang bersanding dengan industri pariwisata di Yogyakarta, nostalgic gustatory memiliki peran yang besar. Munculnya warung makan legendaris sangat dipegaruhi oleh nostalgic gustatory dari orang-orang yang pernah berkunjung atau tinggal di Yogyakarta. Makanan yang awalnya terasa biasa saja menjadi fantastis ketika muncul kenangan-kenangan yang mengaitkan dirinya dengan romantisme masa lalu.

Gudeg yang tumbuh seiring dengan sejarah Yogyakarta kemudian “dianggap” sebagai makanan khas Yogyakarta dan juga “dianggap” sebagai kuliner asli Yogyakarta. Gudeg pun lantas menjadi ikon kuliner Yogyakarta tanpa ada yang mempertanyakan lebih lanjut. Baik oleh masyarakat Yogyakarta sendiri, oleh pendatang dan sebagaimana ditulis di banyak media massa, gudeg selama ini hampir selalu disebutkan sebagai makanan khas Yogyakarta. Meski banyak makanan tradisional lain yang juga disebutkan khas Yogyakarta, namun dapat dikatakan gudeg selalu menempati peringkat pertama. Dalam tradisi di masyarakat Yogyakarta, gudeg memang jarang memiliki peran khusus di ritual-ritual budaya yang diadakan. Meski begitu, gudeg sering muncul sebagai salah satu sajian bagi tamu yang hadir terkait dengan suatu ritual budaya. Di sini, gudeg tidak digunakan sebagai benda simbolik untuk ritual dan upacara, akan tetapi digunakan sebagai pendukung praktek sosial antar tamu yang hadir.

Masyarakat di Yogyakarta seakan memiliki pengalaman personal dengan makanan gudeg. Narasi yang kerap mengaitkan gudeg dengan Yogyakarta juga semakin mengukuhkan posisi gudeg sebagai materi budaya di Yogyakarta. Narasi-narasi ini saat ini mudah ditemui di dalam promosi-promosi pariwisata Yogyakarta, di mana gudeg digunakan sebagai salah satu ikon untuk “menjual” Yogyakarta. Narasi banyak muncul di media massa, baik sebagai artikel, iklan, maupun testimoni masyarakat yang pernah memakan gudeg.

Terkait pada perkembangan kuliner di Yogyakarta, globalisasi memang membuka pintu dan menjadi alasan masuknya banyak kuliner luar ke Yogyakarta. Namun di pihak lain, globalisasi pun merupakan penyebab naiknya kuliner-kuliner lokal dari sekedar makanan harian. Sebagai kota dengan tingkat perantau yang tinggi, Yogyakarta memiliki keragaman kuliner yang cukup tinggi pula. Banyaknya kuliner yang memiliki tingkat kepraktisan dan harga yang tak jauh berbeda dengan gudeg, menjadikan masyarakat Yogyakarta yang tidak lagi “terpaksa” mengonsumsi gudeg setiap hari. Sebaliknya pula, gudeg pun ada yang menjadi “mahal” dan tidak praktis. Pada tingkat tertentu, banyak pula masyarakat Yogyakarta yang mengaku tidak menyukai rasa gudeg.

Secara antropologis, tak perlu disangkal lagi bahwa makanan adalah zat dan simbol, yang dimaksud di sini adalah makanan menyediakan bentuk fisik dan juga merupakan cara komunikasi utama yang membawa banyak jenis makna (Counihan dan Van Esterik, 1997). Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa makanan adalah simbol yang sangat kuat dari identitas pribadi dan kelompok, yang membentuk salah satu dasar dari individualitas dan rasa keanggotaan bersama dalam kelompok yang lebih besar dan terbatas. Hal ini menjadikan kuliner tradisional yang hanya dianggap sebagai oleh-oleh yang merupakan makanan khas daerah dapat saja bernilai lebih dari sekadar makanan khas.

Popularitas yang disandang oleh gudeg tidak berbanding lurus dengan kemudahan pencarian informasi mengenai riwayat gudeg itu sendiri. Sejarah panjang gudeg sudah tidak dapat ditelusuri lagi dengan detail. Sedikitnya catatan sejarah mengenai bidang kuliner di Indonesia (termasuk gudeg) menjadi salah satu kendalanya. Penelitian mengenai gudeg yang terkait pada aspek sosial-budaya juga sangat sulit ditemukan, bahkan di kota Yogyakarta yang terkenal sebagai kota gudeg. Meski begitu, gudeg tetap “diangkat” sebagai ikon kuliner di Yogyakarta dan diperlakukan dengan “istimewa” dalam konsumsi masyarakatnya. Selain itu, terlepas dari preferensi suka atau tidak suka, gudeg memang masih dikonsumsi oleh masyarakat Yogyakarta, meski dalam bentuk yang berbeda dengan konsumsi gudeg pada masa lalu. Pada akhirnya, selain menjadi materi budaya, gudeg menjadi salah satu kuliner paling populer di Yogyakarta.

Pandangan Jon D. Holtzman mengenai pengaruh memori pada kuliner juga memiliki peran penting dalam proses berkembangnya gudeg menjadi ikon kuliner. Dengan sejarah panjang gudeg di masyarakat Yogyakarta, tentu keberadaan memori dari para konsumennya tidak dapat disingkirkan begitu saja. Nostalgic gustatory merupakan kata yang dimunculkan oleh Holtzman untuk merangkum fenomena yang terjadi antara makanan, ingatan, nostalgia dan ekspektasi. Nostalgic gustatory akan mempengaruhi narasi-narasi yang kemudian berkembang membentuk citra gudeg. Hal ini diperkuat dengan kebutuhan akan suatu ikon kuliner untuk mengukuhkan brand Yogyakarta sebagai tujuan pariwisata. Kuliner lokal akan menjadi pelengkap bagi pengalaman berwisata seorang turis. Karena itulah, kebutuhan dari industri pariwisata ini dapat dilihat sebagai salah satu alasan “dimunculkannya” gudeg sebagai ikon kuliner.

Mengutip Jean Baudrillard, William Pawlett dalam bukunya menuliskan bahwa untuk menjadi obyek konsumsi, suatu benda harus terlebih dahulu diubah menjadi tanda (Pawlett, 2007). Dengan berlandaskan pada konsumsi nilai tanda ini, gudeg dapat dianalisa untuk dicari nilai tanda-nilai tanda yang terkandung di dalamnya, yang dimengerti oleh masyarakat Yogyakarta. Nilai tanda ini menjadi dasar bentuk konsumsi yang terjadi di masyarakat konsumer pada saat ini. Secara sederhana, nilai tanda ini juga berperan sebagai pembeda antar benda. Dalam konsep “masyarakat massa”, tanda pun menjadi sangat penting. Nilai tanda dan nilai simbol ini dapat muncul dalam bentuk prestise hingga ekspresi identitas, yang sebenarnya menjadi tujuan utama konsumsi kalangan masyarakat konsumen.

Terlepas dari itu, gudeg sebagai ikon kota Yogyakarta memiliki dimensi lain yang terkait erat dengan industri pariwisata. Dari sudut pandang wisatawan, makanan dengan identitas lokal setara dengan perjalanan mengelilingi museum dan monumen. Pariwisata membuat mereka dapat merasakan identitas lokal tersebut, di sisi lain para wisatawan tersebut memberikan kesempatan bagi industri pariwisata untuk menawarkan produk baru. Santapan atau masakan (cuisine) sendiri merupakan bagian dari dari wisata budaya (cultural tourism), dan sebagai masakan maka ia merupakan manifestasi atau wujud dari budaya itu. Dari teori-teori yang dijelaskan diatas dapat dilihat bahwa gudeg tidak hanya berperan sebagai makanan khas Yogyakarta, namun juga dengan efek nostalgic gustatory menjadikan gudeg memiliki makna dan nilai lain dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.

Untuk mempertahankan pesona gudeg sebagai makanan favorit, para pedagang gudeg mulai berinovasi bagaimana untuk mengemas gudeg agar bisa tahan lama dan bisa dibawa pergi jauh. Dari kemasan bungkus biasa, besek, kendil hingga yang paling modern yaitu kaleng. Dengan begitu gudeg tidak hanya bisa dinikmati di Kota Yogyakarta saja, gudeg bisa dinikmati di seluruh Indonesia. Bahkan kini, gudeg kaleng sudah bisa dipasarkan hingga ke mancanegara meski tanpa bahan pengawat.

Jadi, bagaimana dengan Anda? Apakah sudah merindukan sensasi makan gudeg di Jogja lagi?

Referensi

Counihan, Carole dan Penny an Esterik. 2013. Food and Culture. Routledge by Talyor and Francis Group. New York.

Gardjito, Murdijati dan Eva Linda Dewi P. Gudeg Yogyakarta. 2012. Pusat Kajian Makanan Masyarakat Yogyakarta. Yogyakarta

Holtzman, Jon D. 2006. Food and Memory: Annual Review of Anthropology. Western Michigan University Vol 35. Michigan.

Pawlett, William. 2007. Jean Baudrillard: Against Banality (Key Sociologists). Routledge. New York.

Rizkie Nurindiani. 2016. “Gudeg Sebagai Ikon Kuliner: Konsumsi Materi Budaya di Masyarakat Yogyakarta”. Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

--

--