Indigenous Tourism dan Media Digital dalam Pandemi COVID-19

Wirta Indonesia
Wirta Indonesia
Published in
5 min readMay 9, 2020

Ditulis oleh Martha Agustine

Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini membawa dampak bagi banyak sisi kehidupan manusia. Industri pariwisata pun tak lepas dari dampak yang dibawa oleh COVID-19 ini. Dilansir dari portal warta kontan.co.id (17/04/2020), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat sejak Januari hingga April tahun 2020 potensi pendapatan yang hilang dari wisatawan asing mencapai US$ 4 miliar atau sekitar 60 triliun. Sedangkan dari pasar domestik, sektor perhotelan kehilangan potensi pendapatan sekitar 30 triliun. Selain itu, dari data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif diketahui bahwa hingga pekan kedua April, sebanyak 180 destinasi dan 232 desa wisata di Indonesia ditutup. Padahal, sejauh ini desa wisata dan desa adat yang ada di Indonesia menjadi salah satu produk pariwisata unggulan yang digemari baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.

Desa wisata dan desa adat sebagai salah satu produk pariwisata unggulan Indonesia merupakan bentuk aplikasi indigenous tourism di Indonesia. Indigenous tourism atau pariwisata yang berbasis masyarakat pribumi mengacu pada kegiatan pariwisata di mana masyarakat adat terlibat langsung baik melalui kontrol dan/atau dengan menjadikan budaya mereka berfungsi sebagai esensi dari daya tarik (Butler dan Hinch, 2007). Desa wisata dan desa adat dapat menunjukkan kebudayaan Indonesia yang unik dan merakyat. Kehidupan kebudayaannya adalah menyatunya agama, kebudayaan, adat yang harmonis, cipta, rasa dan karsa sebagai unsur budi daya manusia menonjol mengambil bentuk keagamaan, estetika dan etika (seni budaya, solidaritas, gotong royong rasa kebersamaan). Pelaksanaan upacara-upacara keagamaan mewariskan potensi ketrampilan dalam seni budaya dan disiplin rohani tekun bekerja dan taat pada norma-norma kehidupan masyarakat.

Photo by Cok Wisnu on Unsplash

Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pun terus berusaha untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19 bagi pariwisata Indonesia. Salah satunya adalah dengan menginisiasi “The New Normal”. “The New Normal” pariwisata ini direncanakan akan berlangsung setelah pandemi COVID-19. Salah satu hal yang ada dalam “The New Normal” ini adalah teknologi dan media digital yang memberi cara baru dalam rutinitas dan kehidupan yang akan menjadi bentuk normal yang baru, bahkan dalam kehidupan berwisata.

Seperti yang diketahui bahwa perkembangan dunia teknologi saat ini makin pesat ke arah serba digital. Era digital telah membuat manusia memasuki gaya hidup baru yang tidak bisa dilepaskan dari perangkat yang serba elektronik. Teknologi menjadi alat yang membantu dan memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia, terlebih dalam situasi yang terjadi saat ini. Betapa pentingnya peran teknologi inilah yang mulai membawa peradaban memasuki ke era digital, tak terkecuali dalam hal pariwisata. Saat ini banyak bermunculan foto-foto, artikel, video kreatif, hingga konten interaktif yang diunggah ke berbagai media sosial dalam rangka mempromosikan wisata unggulan daerahnya.

Baru-baru ini, di kota Minoqua, timur laut Wisconsin, untuk mengatasi dampak dari pandemi COVID-19 dalam industri pariwisata di Minoqua, terdapat halaman web yang khusus dibuat untuk wisatawan dan pemilik bisnis wisata. Halaman liburan virtual ini menampilkan pemandangan langsung destinasi yang ada di Minoqua, dilengkapi dengan playlist suara-suara alami dari Northwoods dan lagu-lagu dari band yang biasa dimainkan di lokasi tersebut. Menurut direktur eksekutif dari Let’s Minoqua Visitors Bureau, dalam waktu tiga hari setelah diluncurkan, terdapat sekitar 400 interaksi dengan halaman ini. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pandemi ini tidak menghalangi keinginan orang-orang untuk berwisata.

Di Indonesia sendiri, media pariwisata digital sudah dikembangkan bahkan sebelum adanya pandemi ini. Salah satu contohnya adalah Bali Go Live. Bali Go Live merupakan salah satu contoh media pariwisata digital yang ada di Bali. Peran Bali Go Live tidak hanya sebagai media promosi wisata digital dalam mengenalkan pariwisata dan budaya Bali namun juga menjadi sarana untuk melestarikan budaya Bali itu sendiri.

Hinch dan Butler (2007)

Hinch dan Butler (1996) mempresentasikan kerangka kerja untuk indigenous tourism yang berfungsi untuk menyoroti beberapa komponen kunci dari indigenous tourism. Bagan di atas menunjukkan bahwa antara indigenous destination hosts dan media terhubung dengan sebuah garis lurus. Dalam hal ini, sebagai contoh, Bali Go Live menjadi media promosi yang secara langsung mengenalkan Bali secara “otentik”. Bali Go Live memiliki makna tersendiri tentang bagaimana suatu perusahaan media digital memandang budaya asli yang akan mereka jadikan sebagai kontennya. Bali Go Live menyuguhkan video destinasi yang ada di Bali yang bisa diakses lewat situs web, Instagram, dan kanal Youtube. Bali Go Live menghadirkan semua hal terbaik dari Bali bersama dengan petunjuk budaya Bali yang bermanfaat. Dalam kanal Youtube Bali Go Live, disajikan pengalaman wisata budaya yang otentik melalui Bali’s Culture Series, yang menunjukkan kebudayaan Bali yang masih dapat dinikmati dan dipelajari di tengah adanya pandemi ini.

Mengambil contoh dari Bali Go Live, desa-desa wisata yang ada di Indonesia masih memiliki harapan untuk bertahan di tengah pandemi ini dengan cara membuat konten virtual tour. Virtual tour yang tidak hanya berisikan pemandangan desa wisata, namun juga pembelajaran budaya bagi yang mengaksesnya.

Salah satu contoh agenda virtual tour yang dilakukan oleh Desa Wisata Nglanggeran

Desa wisata dan desa adat sebagai salah satu representasi budaya Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu yang otentik, dan tiap-tiap desa wisata dan desa adat memiliki ciri khasnya sendiri yang hanya bisa dinikmati di desa tersebut, tidak ada di tempat lain. Maka dari itu, media digital dirasa mampu untuk mempromosikan pariwisata dan budaya dalam bentuk video, gambar, dan artikel yang dapat diunggah di Instagram, YouTube, situs web, maupun platform lainnya. Semua konten yang disajikan oleh media digital dari masing-masing desa tersebut dapat dikemas secara menarik dengan menonjolkan sisi keaslian dari budaya kawasan tersebut, dan yang paling utama yaitu mempertahankan eksistensi dari desa wisata maupun desa adat yang ada.

--

--