Pariwisata Kumuh: Apa yang Mau Dinikmati?

Wirta Indonesia
Wirta Indonesia
Published in
3 min readOct 27, 2020

Ditulis oleh Nadia Diana Kamelia

Wisatawan selalu mencari dan meminta sesuatu yang berbeda dengan kesehariannya dari pariwisata. Segala sesuatu yang berhubungan dengan liyan selalu dipandang menarik dan ingin diselami lebih dalam lagi. Salah satu hal unik yang dirasa dapat menjadi daya tarik wisata adalah slum area atau pemukiman kumuh.

Tidak dapat dipungkiri wisatawan selalu mencari hal baru yang cenderung unik dan baru pada sebuah objek wisata. Hal yang kemudian dirasa dapat menjadi unik untuk wisata salah satunya adalah pemukiman kumuh. Hadirnya pemukiman kumuh dirasa unik karena menawarkan pengalaman berbeda dengan kekhasan daya tariknya. Namun kekumuhan yang akan dikunjungi wisatawan tentu tidak bisa disajikan secara alami sebagai objek pariwisata, perlu pembangunan daerah dan fasilitas pendukung yang memadai hingga menjadi tempat wisata yang layak dikunjungi.

Pada awalnya, pariwisata kumuh yang merupakan bagian dari pariwisata perkotaan digunakan untuk melihat perumahan dari kelompok non kulit putih yang mendapatkan penindasan apartheid, di mana wilayah tersebut menjadi daerah perkumpulan masyarakat kelas bawah atau yang termiskin. Tur tersebut lekat dengan politik anti-apartheid yang ingin menengok jejak-jejak perjuangan masa lalu. Setelah dilihat perkembangan kunjungan wisatawan terhadap slum area begitu signifikan, ternyata didapatkan fakta bahwa alasan wisatawan tertarik untuk mengunjungi daerah kumuh adalah karena mereka ingin melihat apa yang ingin mereka lihat.

Sejatinya, mereka telah memiliki gambaran keterpurukan dari area kumuh dalam kepala masing-masing yang kemudian ingin mereka buktikan dengan melakukan slum tourism ini. Mereka ingin melihat kejahatan, kriminal, narkoba, dan kemiskinan dari jarak yang dekat namun tetap aman dari singgasana kenyamanan mereka dengan adanya tour guide dan fasilitas wisata lainnya. Keinginan untuk melihat kemiskinan tumbuh atas dasar kemauan untuk melihat sesuatu yang berbeda dengan mereka dan melalui kunjungan tersebut diharapkan ada pengalaman baru yang membekas pada ingatan para pengunjung. Pariwisata kumuh ini juga sering disebut sebagai jalan-jalan negatif karena wisatawan sejatinya ingin merasakan sensasi kedalaman sosial yang terpuruk tanpa mengalami secara langsung dan nyata kondisi tersebut. Dari sini bisa dilihat bahwa wisata tidak terbatas pada apa yang dapat memanjakan mata, pengalaman pun dapat dijualbelikan dalam pariwisata untuk memenuhi kebutuhan turis akan sensasi baru yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya (bourgeois seeing).

Photo by Rock Staar on Unsplash

Sebenarnya, konsep ini muncul dari pemisahan yang dibuat oleh kota London antara si kaya dan miskin. Bagi orang kaya London, miskin mengarah pada erotisme, kebodohan, fantasi kontor, kegelapan, dan kekumuhan benua gelap yang merujuk pada Afrika. Dunia yang mengancam dan tidak aman tersebut dianggap dapat memberikan pengalaman mengesankan jika bisa dirasakan dengan tingkat keamanan tinggi, sehingga terwujudlah tur wisata kumuh tersebut.

Selain itu, yang menjadikan area kumuh sebagai tempat wisata menarik adalah karena di sana menawarkan ekspresi heterogenitas akan budaya kota serta menjadi perspektif komparatif antara budaya dan ruang dari wisatawan dengan area kumuh yang mereka datangi. Dapat dikatakan bahwa sejatinya wisatawan tidak ingin menangkap kemiskinan, wisatawan hanya ingin menangkap fenomena baru yang belum pernah ia alami sebagai upaya untuk belajar dan refleksi diri.

Pendekatan Pro-Poor Tourism ini juga menekankan pada manfaat yang bisa didapatkan masyarakat atas kunjungan wisatawan akan daerah kumuhnya tersebut. Sayangnya, pendapat tersebut buru-buru dipatahkan dengan fakta bahwa poor tourism lebih menekankan manfaatnya kepada travel agency dan pelaku jasa usaha pariwisata terkait bukan masyarakat lokal. Pariwisata jenis ini ditakutkan hanya akan memanfaatkan masyarakat miskin untuk melanggengkan kemiskinannya agar bisa dijadikan objek wisata padahal keuntungan dari pendapatan wisata yang masyarakat dapatkan pun tidak seberapa.

Hal-hal terkait slum tourism kemudian memunculkan pertanyaan yang menarik untuk dibahas dan menciptakan diskursus kembali dalam ragam jenis pariwisata. Apakah kawasan kumuh lahir secara natural atau justru sengaja dibentuk untuk kepentingan sebagian golongan saja? Siapa yang sebenarnya disejahterakan dari pariwisata kumuh sendiri?

Referensi

Malte Steinbrink (2012) ‘We did the Slum!’ — Urban Poverty Tourism in Historical Perspective, Tourism Geographies, 14:2, 213–234, DOI: 10.1080/14616688.2012.633216

--

--