Pariwisata Religi, Negasi dalam Monetisasi Agama dan Nilai Religi

Ihsan Nur Rahman
Wirta Indonesia
Published in
5 min readApr 22, 2020

Terdapat masalah sekaligus manfaat dengan hadirnya pariwisata religi. Membawa dua motif utama dalam lingkup hadirnya, motif agama dan motif ekonomi. Bergulir menjadi Isu Monetisasi Religi.

Photo by Shan Elahi on Unsplash

“Ramadhan tiba, ramadhan tiba” begitulah petikan lirik lagu yang dilantunkan penyanyi religi yang sudah tidak asing ditelinga kita, Opick. Bukan berarti lagu Opick inilah yang akan kita bahas. Bulan suci Ramadhan yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh umat muslim telah tiba, banyak kegiatan yang mengiringi selama bulan Ramadhan. Meskipun, Ramadhan tahun ini akan sedikit berbeda karena dampak dari pandemi global yang belum pasti kapan akan mereda. Salah satu hal yang dilakukan sebagian orang mendekati bulan Ramadhan adalah ziarah. Ziarah ke makam keluarga, kerabat dekat, tokoh agama semacam wali songo hingga tokoh nasional. Kebiasaan ini kadang juga disebut Nyekar atau menyekar, berziarah kubur mendoakan orang-orang sembari membawa bunga untuk ditaburkan. Dalam pariwisata pun, ziarah ini juga menjadi salah satu motivasi atau kegiatan didalamnya. Ziarah termasuk dalam Pariwisata Religi, hal yang akan kita bahas lebih lanjut.

Banyak definisi muncul dari pariwisata Religi sendiri, mulai dari pariwisata Religi bisa didefinisikan mengunjungi suatu tempat sakral berhubungan dengan agama atau keyakinan untuk berpartisipasi atau mengikuti upacara keagamaan dan berziarah dengan bentuk aktivitas kunjungan untuk memenuhi tujuan keagamaan dalam lingkup pariwisata (Heidari et al, 2017). Pariwisata Religi merupakan salah satu bentuk dari pariwisata, dengan motivasi tertentu dibaliknya bisa dari motivasi tujuannya atau destinasinya sendiri, yang cenderung ke tempat sakral keagamaan (Liszewski, 2000). Dari definisi tersebut, definisi umum pariwisata religi adalah salah satu bentuk dari pariwisata, dimana orang-orang berkunjung baik individual maupun berkelompok karena suatu alasan keagamaan atau spiritual dengan maksud tujuan tertentu. Bisa dengan tujuan berziarah(pilgrimage), perjalanan memenuhi misi keagamaan, atau hanya tujuan untuk berlibur.

Monetisasi agama dalam Pariwisata Religi

Pada dasarnya, destinasi sakral dan tempat ziarah dalam pariwisata religi berhubungan dengan agama kepercayaan di dunia dari Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi dan kepercayaan lainnya. Pariwisata Religi muncul dengan unsur-unsur keagamaan yang mengiringinya sebagai sebuah atraksi wisata. Mulai dari arsitektur nya, nilai sejarah hingga kegiatan dalam upacara perayaan keagamaan dan hal lainnya. Muncul sebuah pertanyaan kemudian, apakah dengan hadirnya pariwisata religi ini sama saja dengan upaya hanya untuk memonetisasi unsur religi atau keagamaan yang secara langsung juga turut serta. Pada dasarnya pariwisata religi menggunakan unsur religi yang dibalut dengan pengemasan pariwisata.

Jika ditilik lagi, ini bisa menjadi benar bisa juga tidak. Dianggap benar hanya untuk memonetisasi saja karena jika dilihat di Indonesia, muncul beberapa kasus dan pemberitaan terhadap masalah yang timbul karena exposure pada unsur religi yang terlalu berlebihan disorot baik oleh pengunjung, media maupun pengelola sebuah objek wisata sendiri. Seperti pada kasus upacara Tawur Agung Kesanga di Candi Prambanan yang pernah terjadi sebelumnya, banyak yang kontra pada sorotan yang dilakukan pengunjung terhadap umat Hindu yang sedang melakukan ritual upacara keagamaan saat itu karena dianggap terlalu dekat dan berlebihan. Upacara ritual keagamaan yang seharusnya sakral, khidmat, dan khusyuk malah menjadi terganggu. Meskipun sudah ada pembagian mana dari ritual keagamaan tersebut yang boleh diliput, didokumentasikan, disorot, namun apa daya kenyataannya berbeda. Ini terkait juga dengan komodifikasi nilai ritual keagamaan yang sakral nantinya akan berubah orientasinya pada profit yang dihasilkan bukan pada tujuan nilai ritual upacara agamanya. Kasus masalah dalam pariwisata religi juga terjadi di kompleks makam Sunan Ampel di Surabaya, kali ini juga berhubungan erat dengan jumlah kunjungan. Sebuah destinasi memiliki carrying capacity atau kapasitas daya dukung memuat pengunjung masing-masing, apabila terjadi overload atau kelebihan pengunjung maka akan menyebabkan dampak pada destinasinya. Kompleks Makam Sunan Ampel sempat merasakan membludaknya jumlah pengunjung, pada bulan Ramadhan menjelang lebaran tahun lalu.

Photo by Kit Suman on Unsplash

Polemik Pariwisata Religi

Pariwisata Religi membawa masalah dalam kehadirannya, diantaranya Pelanggaran terhadap carrying capacity, seperti pada kasus kompeks Makam Sunan Ampel. Ini karena ada musim pendek dari setiap agama untuk merayakan hari sucinya masing-masing, seperti Idul Fitri umat Islam, Natal umat Kristen, Waisak, Nyepi, tahun baru Imlek hingga perayaan lainnya. Pada hari perayaan akan ada asosiasi destinasi wisata yang juga ramai karena ritual perayaan tersebut, baik sebagai umat yang merayakan dan ditambah dengan pengunjung yang hanya ingin melihat perayaan. Kunjungan yang membludak dan tidak memperhatikan carrying capacity sebuah destinasi wisata akan membawa masalah lainnya, yakni soal isu pengelolaan sampah. Bila tidak ada pengelolaan sampah yang baik atau upaya persiapan yang matang pada saat musim lonjakan kunjungan, maka sebuah destinasi wisata religi hanya akan sibuk merehabilitasi destinasinya sepanjang musim lain diluar hari Suci perayaan. Bahkan, lebih miris lagi tidak bisa dikunjungi lagi nantinya, bila kerusakan yang ditimbulkan sangatlah parah. Lalu, masalah yang kita paparkan yakni Monetisasi Agama atau unsur Religi. Dalam persaingan mencari peluang pasar sebanyak mungkin, kerap kali agama yang kemudian diuangkan. Pengelola destinasi wisata, pedagang hingga komunitas warga lokal menerima pemasukkan ekonomi, namun yang ditakutkan ini nantinya semakin mendorong tujuan keagamaan pada sebuah motif mencari laba. Kemudian mengubah orientasi dari ritual, aktivitas dan nilai keagamaan sendiri, hanya berorientasi pada ekonomi untuk mencari profit.

Kemudian anggapan pariwisata religi hanya untuk memonetisasi unsur religi juga bisa jadi salah. Karena pariwisata religi sendiri membawa manfaat lain, perekonomian warga lokal sekitar juga menjadi terangkat, warga lokal juga menjadi berkembang dari segi wawasan ketika interaksi terjadi dengan pengunjung. Selain itu, dapat mendekatkan diri pada sang pencipta, meningkatkan spiritualitas diri, mengenal sejarah juga. Menurut Rotherham (2007), Pariwisata yang terkait dengan agama, situs, dan ziarah diakui sebagai sesuatu yang lebih penting. Ini karena, membawa motivasi agama nya dan tetap memberi dampak ekonomi juga.

Pariwisata religi lebih jauh memberi dampak lainnya juga, Vukonić (1996) mengklaim bahwa tujuan wisata religius yang juga menggabungkan banyak alasan ketika berkunjung, membuat wisata menggunakan destinasi ini telah secara signifikan melampaui makna religius dan di beberapa tempat bahkan menekan makna religiusnya sendiri, ditemukan di berbagai agama dan daerah. Ia menemukan bahwa, dalam situasi seperti itu, biasanya signifikansi budaya dari bangunan keagamaan utama di tempat-tempat suci ini yang akan berlaku, seperti Taj Mahal untuk umat Islam, Khajuraho untuk umat Hindu, dan Sanchi untuk umat Buddha di India.

Mengacu pernyataan menarik para ahli dan hal-hal yang terjadi langsung dengan hadirnya pariwisata religi, akan ada potensi konflik kepentingan antara motif agama dengan motif ekonomi dan ada prioritas yang nantinya akan condong dipilih. Kemudian dalam hadirnya pariwisata religi, kita semua pasti sepakat bahwa selalu ada hikmah dibalik masalah yang dibawanya. Monetisasi agama dari kehadiran pariwisata religi harus dilihat dengan makna ganda, dan tidak boleh saling ditiadakan. Membawa masalah pada unsur religi keagamaan sekaligus memberi dampak peningkatan ekonomi dan perkembangan masyarakat. Jadi, bagaimana menurutmu?

Referensi

Heidari, A., Yazdani, H.R., Saghafifi, F. and Jalilvand, M.R. (2017), “Developing strategic relationships for religious tourism businesses: a systematic literature review”, EuroMed Journal of Management, Vol. 2 No.1, pp.77–98.

Liszewski, S. (2000) ‘Pilgrimages or religious tourism’, Peregrinus Cracoviensis, No.10, pp.47–51.

Rotherham, ID 2007, Sustaining Tourism Infrastructures for Religious Tourists and Pilgrims within the UK‟, in R Raj & ND Morpeth (eds.), Religious Tourism and Pilgrimage Management: An International Perspective, CABI, Oxford, pp.64–77.

Vukonić, B 1996, Tourism and Religion, trans. S Matešić, Elsevier Science, Oxford.

--

--

Ihsan Nur Rahman
Wirta Indonesia

Pemikir Luas, Penggerak Bebas~ | Pembelajar, Masih Terus Belajar.