Partisipasi Perempuan dalam Ekowisata: Tantangan dan Peluang Menuju Kesetaraan Gender di Sektor Pariwisata Indonesia

Anindwitya Rizqi Monica
Wirta Indonesia
Published in
8 min readMay 15, 2020

Tren Ekowisata dalam Pengemasan Kegiatan Berwisata Melibatkan Masyarakat Lokal sebagai Key Players

Beberapa dekade ini, pariwisata mulai diarahkan pada aktivitas-aktivitas yang menuntut keselarasan pada aspek yang lebih ramah terhadap lingkungan. Munculnya innovative travel company dan perusahaan akomodasi dari sekelas homestay sampai hotel berbintang sudah mulai menerapkan prinsip eco-friendly dibalut dengan isu-isu global yang semakin vokal.

Berbicara mengenai kegiatan wisata, kebanyakan wisatawan sudah mulai digiring oleh para pelaku wisata melalui kegiatan yang lebih memberikan dampak positif pada lingkungan, ekonomi masyarakat lokal, dan edukasi budaya. Pun, kampanye sosial seperti #travelenjoyrespect yang disiarkan oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO) sepertinya berhasil terdengar di tagar-tagar sosial media para traveler dunia. Selanjutnya, Newsweek Magazine (2010), memperkuat dengan pandangannya bahwa saat ini peralihan trend berwisata sudah semakin ditunjukkan dari adanya permintaan wisatawan untuk mendapatkan experience wisata yang lebih mengarah pada activity based, bukan lagi destination-based. Oleh karena itu, muncul berbagai potensi wisata baru atau yang sering disebut alternative tourism, salah satunya ekowisata.

Sejatinya, definisi ekowisata sudah ada sejak tahun 1990 dipopulerkan oleh The International Ecotourism Society (TIES). Menurut TIES (1990). Ekowisata adalah bentuk wisata yang bertanggung jawab pada area alam tanpa melupakan kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Memang tidak mudah menjadikan sebuah destinasi yang berbasis ekowisata karena peran besar sesungguhnya berada pada tingkat partisipasi masyarakat setempat. Departemen Pariwisata dan Kebudayaan dan WWF Indonesia (2009) menitikberatkan ekowisata yang sebaik-baiknya adalah peran aktif komunitas lokal secara mutlak. Selain itu, dampingan dan peran terpadu para stakeholders dari berbagai level seperti pemerintah, organisasi non-pemerintahan, akademisi, dan komunitas lokal juga merupakan kunci kesuksesan, meskipun bukan yang utama.

Upaya Kesetaraan Gender dan Partisipasi Perempuan dalam Ekowisata

Seperti yang telah dipahami, kunci keberhasilan pengembangan ekowisata adalah letak partisipasi masyarakatnya. Isu ini sejatinya juga mencuri perhatian dunia dilihat dari hasil riset UNWTO (2011) yang menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata berpeluang pada penurunan kemiskinan dan pengembangan masyarakat. Walaupun demikian, masih sedikit perhatian dunia yang diarahkan pada ketimpangan ekonomi dalam pariwisata di antara laki-laki dan perempuan, terkhusus pada negara berkembang. Disusul pada tahun 2015, isu ketimpangan gender ini menjadi perhatian kembali oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mempromosikan kesetaraan gender sebagai salah satu agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Pada dasarnya, jika dilihat lebih dalam, pariwisata dapat membuka peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi. Cattarinich (2001, dalam Manwa: 2008) menjelaskan bahwa pariwisata dapat menjadi mesin untuk pembangunan ekonomi bagi negara berkembang, terutama di daerah yang tertinggal dan didominasi oleh masyarakat perempuan.

Bila berbicara tentang bagaimana pemberdayaan perempuan dalam ekowisata, Scheyvens (2000) menyebutkan empat dimensi di mana perempuan dapat berdaya dilihat dari dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi psikologis, dan dimensi politik. Pertama, dimensi ekonomi, untuk mendukung pernyataan Cattarinich (2001, dalam Manwa: 2008) sebelumnya, Scheyvens (2000) mengemukakan bahwa pentingnya akses kesetaraan gender dalam pembagian upah dari hasil ekowisata. Sebagaimana Monica (2018) menyebutkan dalam penelitiannya di Desa Ekowisata Pancoh, Sleman, Yogyakarta, perempuan memiliki akses untuk berpartisipasi dalam pengurusan homestay dan penjualan salak pondoh sebagai ranah usaha yang dapat mereka kelola. Penyediaan homestay rupanya juga merupakan sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh perempuan di Desa Bahoi, Minahasa Utara yang terlibat dalam ekowisata bahari (Sondakh dkk., 2017). Kedua, dimensi sosial memberikan ruang perempuan pada integritas sosial yang merujuk pada komunitas-komunitas pengembangan ekowisata. Implementasi yang terjadi pada penelitian Sondakh dkk., (2017), masyarakat Desa Bahoi menyadari terdapat sebuah peran gender yang terbagi antara laki-laki dengan perempuan sehingga perempuan memiliki kelompok yang bersatu dalam pembuatan kerajinan tangan dan pengelolaan situs website. Hal ini juga terjadi pada perempuan di Kampung Wisata Tebing Tinggi Okura, Pekanbaru yang terlibat aktif dalam keanggotaan Kelompok Sadar Wisata. Ketiga adalah dimensi psikologi, perempuan dalam kegiatan ekowisata memiliki nilai-nilai budaya dan tradisi yang dapat mereka perkenalkan kepada wisatawan (Andani, 2017). Selain berbentuk kelompok, Sondakh dkk., (2017) menunjukan bahwa perempuan di Desa Bahoi dapat memproduksi kerajinan tangan berupa anyaman berbentuk alas piring, gantungan kunci, dan kalung yang dapat meningkatkan eksistensi Desa Bahoi ke kota-kota lain, salah satunya adalah Kota Manado. Hal ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi perempuan Desa Bahoi sebagai agen pelestari budaya yang mampu memperkenalkan oleh-oleh khas desanya. Terakhir, dimensi politik mempertimbangkan perempuan dapat berdaya dari adanya kegiatan ekowisata jika suara mereka dapat didengar dan menjadi arah pengembangan kebijakan pada komunitas.

Photo by Holy Cloudia, 2019

Peluang dan Tantangan Perempuan dalam Pariwisata Indonesia

Apabila hanya melihat prinsip ekowisata menurut beberapa teori, pariwisata memang harus ramah terhadap partisipasi masyarakat lokal. Tentunya pula pada partisipasi perempuan. Tidak disangkal kalaupun pariwisata adalah sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh para perempuan lokal. Pada tahun 2007, UNWTO memberikan sebuah awareness melalui kampanye di hari pariwisata sedunia bertajuk “Tourism Opening Doors For Women”. Melihat awareness tersebut, tentunya dunia sudah mengakui bahwa keterlibatan perempuan penting dalam hal kepariwisataan. Jika ditilik kembali dengan pentingnya keterlibatan perempuan dalam ekowisata, penelitian Deshingar (1994: dalam Scheyvens, 2000) bisa menjadi sebuah jawaban rasional. Dalam penelitiannya, ia menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekowisata telah membawa perempuan dalam upaya preservasi budaya dan lingkungan seperti penanaman pohon dan pengajaran budaya lokal pada wisatawan. Meskipun lingkup partisipasi perempuan masih banyak berada di sektor domestik daripada level decision making.

Penelitian oleh Andani (2017) contohnya, perempuan di Kampung Tebing Okura terlibat pada Kelompok Sadar Wisata, namun, peran mereka masih berada pada posisi anggota dan seksi saja. Peran-peran inti masih ditujukan oleh dominannya posisi laki-laki. Selanjutnya, Wardoyo (2011, dalam Rahayu: 2017) menunjukkan bahwa Desa Wisata Pentingsari, Sleman, Yogyakarta masih mendapati dominasi dari peran laki-laki yang terlibat dikarenakan kuatnya sistem patriarki di desa tersebut. Walaupun demikian, kegiatan memasak, membatik, dan urusan domestik lainnya masih banyak dilakukan oleh perempuan. Tidak hanya itu, Wilkinson dan Pratiwi (1995) rupanya sudah meneliti sejak lama bahwa terdapat sebuah polemik dari adanya kegiatan pariwisata bagi perempuan yang terlibat. Isu tersebut adalah beban ganda yang dirasakan oleh setiap perempuan, baik dalam mengurus rumah tangga maupun bekerja di sektor pariwisata. Efek dari beban ganda ini terlihat dari kondisi kesehatan perempuan yang menurun karena kelelahan setelah pulang bekerja (Kousis, 1989 (Beedle, 2011 dalam Monica: 2018). Wilkinson dan Pratiwi (1995) melihat bahwa beban kerja perempuan meningkat dua kali lipat karena keterlibatan mereka dalam kegiatan pariwisata. Kendatipun, hal tersebut tidak lekang dari adanya stereotip gender yang selama ini memposisikan perempuan hanya di peran domestik sedangkan laki-laki berada di ranah publik dalam perencanaan pariwisata ramah lingkungan (Pratiwi, 2017). Padahal, sudah cukup banyak penelitian yang secara umum membahas kinerja laki-laki dan perempuan dalam sektor kerja formal yang menguatkan bukti bahwa baik dari mereka sama-sama berkompeten (Wachyuni, 2020). Buktinya, Wachyuni (2020) meneliti tentang kinerja pramusaji pada restoran ternama di Jakarta yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja antara laki-laki dan perempuan dalam segi keefektifan, keefisienan, kualitas, ketepatan waktu, dan produktivitas kerja.

Kembali pada persentase keterlibatan perempuan di sektor pariwisata Indonesia, sebuah kabar yang dilaporkan dalam Global of Women in Tourism Report UNWTO (2019), sebanyak 55,07% tenaga kerja industri pariwisata adalah perempuan. Namun faktanya, terdapat kesenjangan upah bahwa perempuan hanya mendapatkan 30,07% lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Adanya wage gap tersebut, semakin kuat seharusnya aspirasi-aspirasi publik datang untuk menyuarakan ketidakadilan upah yang menimpa perempuan baik dalam sektor formal maupun informal di bidang pariwisata. Sehubungan dengan isu tersebut, secara umum, Rasyani dan Aruni (2016) mengemukakan bahwa kaum marjinal seperti perempuan jarang menduduki ranah politik di lembaga tinggi negara, partai politik, dan organisasi publik lainnya. Maka, mungkin bukan kabar yang mengherankan lagi bagi warga tanah air jika kebijakan-kebijakan negara cenderung tidak mengakomodir kebutuhan kepentingan perempuan, termasuk pada sektor pariwisata.

Photo by Women in Tourism Indonesia, 2019 (@womentourism.id)

Meskipun demikian, dukungan secara publik sesungguhnya bisa datang dari mana saja. Contohnya, perempuan Kabupaten Toraja Utara mendapatkan dukungan dari Bupati berupa bantuan promosi produk budaya asli Toraja, seperti kerajinan, kuliner, kesenian, dan fesyen. Menurut Bupati Toraja Utara, perempuan mampu mendongkrak sektor pariwisata dan ekonomi kreatif daerah. Tentunya, hal ini berkaitan dengan kepentingan politik dan kesadaran akan kesetaraan gender pada masing-masing daerah. Selain itu, peran lembaga swadaya masyarakat juga memberikan dampak yang signifikan pada kesadaran mengenai kesetaraan gender. Manwa (2008, dalam Moscardo: 2008) menjelaskan bahwa langkah tersebut ditransformasikan oleh Non Governmental Organization (NGO) dari Belanda yang enggan memberikan bantuan dana jika perempuan tidak terlibat secara setara dalam projek batik di Jambi, Sumatera. Sehubungan dengan itu, Scheyvens (2000) mengungkapkan bahwa NGO berperan penting dalam mengedukasi masyarakat untuk segala isu yang berkaitan dengan kesetaraan gender.

Dengan adanya bahasan di atas, kesadaran mungkin sejatinya muncul dari penelitian-penelitian akademis terlebih dahulu. Kemudian, hal tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai pesan yang digerakkan dalam bentuk practical, salah satunya adalah upaya kesetaraan gender dalam sektor pariwisata. Tidak dipungkiri, dukungan dan sinergi pemerintah diperlukan untuk menyokong kebijakan-kebijakan baru mengenai isu kesetaraan gender. Lebih lagi, ekowisata merupakan konsep bijak yang diterapkan di Indonesia agar pariwisata lebih ramah kepada lingkungan, tradisi dan budaya lokal, pemberdayaan dan partisipasi aktif masyarakat berdasarkan Permendagri No. 33 Tahun 2009 tentang pedoman pengembangan ekowisata daerah. Lalu, pentingkah kebijakan kesetaraan gender agar ekowisata lebih ramah (juga) terhadap kaum perempuan dalam sektor pariwisata Indonesia?

Referensi

Buku, Makalah, dan Tulisan Ilmiah

Andani, F. 2017. Peran Perempuan dalam Kegiatan Pariwisata di Kampung Tebing, Okura, Pekanbaru. JOM FISIP, Vol.4. 1–11.

Damanik, J dan Weber, H. J. 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Manwa, H. 2007. Enhancing Participation Women in Tourism. Dalam Giana Moscardo (ed). Building Community Capacity for Tourism Development, London CABI. 116–122.

Monica, A. R. 2018. “Sikap Warga Terhadap Partisipasi Perempuan Pemilik Usaha Pariwisata berdasarkan Pengukuran Women Owned and Operated Tourism Businesses (WOOTB)”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Pratiwi, dkk. 2017 “Disparitas Gender dalam Pembangunan Pariwisata Ramah Lingkungan”. Palastren, Vol. 10. 1–22.

Rahayu, A. T. 2017. “Gambaran Tingkat Berdaya Perempuan Pada Sektor Pariwisata di Desa Wisata Pentingsari Berdasarkan Pengukuran RETS”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Rasyidin, A. F. 2016. “Keterwakilan Wanita dalam Politik”. Gender dan Politik, Lhokseumawe: Unimal Press.

Scheyvens, R. 2000. “Promoting Women’s Empowerment through Involvement in Ecotourism: Experiences from the third world”. Journal of Sustainable Tourism, 235–249.

Sondakh, S. K dkk. 2017. “Peranan Perempuan Pada Pengelola Ekowisata Bahari di Desa Bahoi, Likupang Barat, Minahasa Utara”. AKULTURASI, Vol.5. 781–790.

Wachyuni, S. S. 2020. “Kinerja Pramusaji Berdasarkan Gender (Studi Kasus di Restoran Amuz Gourmet Jakarta)”. Media Wisata, Vol 18. 21–29.

Wilkinson, P.F. dan Pratiwi, W. 1995. “Gender and Tourism in an Indonesian Village”. Annals of Tourism Research, Vol. 22. 283–297.

WWF Indonesia dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2009. “Prinsip dan Kriteria Ekowisata Berbasis Masyarakat”.

http://awsassets.wwf.or.id/downloads/wwf_indonesia_prinsip_dan_kriteria_ecotourism_jan_2009.pdf

UNWTO. 2011. “Global Report on Women in Tourism, 2010”.

http://www2.unwto.org/sites/all/files/pdf/folleto_global_report.pdf.

UNWTO. 2019. “Global Report on Women in Tourism, 2019”.

https://www.e-unwto.org/doi/book/10.18111/9789284420384

Laman

https://www.torajautarakab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=405:pariwisata-toraja-utara-potensi-besar-bagi-perempuan-kembangkan-ekraf&catid=9&Itemid=105.Diakses pada 10 Mei 2020 pukul 11.43 WIB.

--

--