Ritual Petik Laut: Pariwisata Kultural sebagai Sarana Mengikis Perbedaan Identitas

Wirta Indonesia
Wirta Indonesia
Published in
4 min readNov 6, 2020

Ditulis oleh Dewi Ariyanti Soffi

Ritual Petik Laut merupakan ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat pesisir pada setiap tahunnya, sebagai rasa syukur atas rejeki yang telah diperoleh dari hasil melaut. Menurut Rahayuningtyas & Siahaya (2017), “Petik Laut” berasal dari kata “Petik” (bahasa Jawa) dan Laut. “Petik” diartikan sebagai mengambil dan memetik hasil usaha dari laut atau dalam bahasa Jawa yang berarti “ngunduh”.

Salah satu wilayah pesisir yang melaksanakan tradisi Ritual Petik Laut adalah Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Ritual ini berlangsung selama tiga hari tiga malam, dengan puncak acara tanggal 27 September. Tanggal tersebut merupakan hari peresmian TPI(Tempat Pelelangan Ikan) Sendang Biru, sehingga tanggal tersebut merupakan tanggal sakral sekaligus tanggal formal bagi masyarakat Sendang Biru.

Masyarakat Sendang Biru adalah masyarakat multikultur yang terdiri dari 3 etnis atau suku, yaitu: Bugis, Madura dan Jawa yang umumnya berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat Sendang Biru percaya bahwa Ritual Petik Laut menjadi media pemersatu keberagaman atas perbedaan identitas yang ada dalam masyarakat. Sehingga rangkaian ritual ini dilaksanakan secara bersama-sama oleh seluruh elemen masyarakat dengan melibatkan partisipasi mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ritual Petik Laut di wilayah ini dilaksanakan tanpa memandang identitas masyarakat dan justru menjadi media untuk saling melengkapi satu sama lain.

Ritual Petik Laut berpotensi menjaga kelestarian alam sekaligus menjadi pariwisata kultural dalam pelaksanaannya secara tiga hari berturut-turut. Tidak hanya menyajikan kultural yang beragam, masyarakat lokal juga mendapat imbas terkait kenaikan pendapatan dari hasil penjualan ikan yang ramai diburu oleh wisatawan, sehingga ritual ini dibuka untuk umum. Pada umumnya wisatawan memburu ikan yang dijual di TPI Sendang Biru, diakibatkan harganya yang murah dan kondisi ikan yang masih segar. Harga tersebut merupakan harga yang didapatkan dari nelayan yang dibeli oleh para pengepul (orang yang membeli ikan dengan jumlah besar dari nelayan) untuk dijual di TPI. Pariwisata kultural ini dapat menjadi opsi untuk variasi pariwisata yang sedang berkembang, terutama dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan keragaman tradisi dan budaya.

Photo by Sensei Minimal on Unsplash

Budaya gotong royong menjadi fondasi dalam prosesi Ritual Petik Laut. Ritual Petik Laut sendiri merupakan cerminan semangat gotong royong masyarakat lokal dalam mengikis perbedaan menuju penciptaan ruang bersama. Ritual Petik Laut sendiri menumbuhkan semangat gotong royong di masyarakat, terutama dalam memberikan kesadaran terhadap seluruh masyarakat akan partisipasi dalam acara tersebut, sehingga seluruh lapisan masyarakat saling membantu dalam pelaksanaan ritual ini (Martin & Meliyono, 2011). Penciptaan ruang bersama tercermin dari unsur-unsur atau rangkaian prosesi Ritual Petik Laut, seperti: tirakat, istighosah, sesajen, arak-arakan, larungan, ngruwat. Unsur-unsur dalam petik laut merupakan hasil dari pemikiran yang melekat dalam kehidupan masyarakat hingga dituangkan sebagai tindakan. Masyarakat sangat mempercayai unsur-unsur tersebut, akibat adanya kesinambungan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini maupun di masa mendatang.

Sebagai bagian dari budaya, masyarakat Sendang Biru tidak memaksakan akan persamaan pandangan terkait tradisi yang berlangsung. Sehingga prosesi ritual yang dihasilkan mengandung keberagaman yang tercermin dalam setiap unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut membawa sebuah ketertarikan kultural yang mengundang minat masyarakat untuk mengetahui sejauh mana keberagaman tersebut menyatu dalam Ritual Petik Laut.

Berdasarkan studi kasus tersebut, Ritual Petik Laut memberikan warna baru dalam dunia pariwisata sekaligus membuka peluang untuk menghidupkan pengembangan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata kultural. Potensi Sendang Biru yang notabene dikenal akan pantainya yang indah, kini terlengkapi oleh keberagaman kulturalnya yang ikonik.

Mengingat pariwisata merupakan sektor penting dalam pengembangan suatu wilayah, sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2009 terkait Pembangunan Kepariwisataan, yang meliputi 4 aspek, yaitu: 1) Industri Pariwisata, 2) Destinasi Pariwisata, 3)Pemasaran, 4) Kelembagaan Pariwisata. Oleh karena itu dalam pengembangan pariwisata kultural “Ritual Petik Laut” dibutuhkan peran pemerintah dalam melengkapi 4 sektor tersebut. Pemerintah Kabupaten Malang telah turut serta dalam meresmikan ritual ini dan publikasinya di media massa, sehingga dibutuhkan pengembangan lebih lanjut dalam aspek pembangunan pariwisata lainnya.

Fenomena pariwisata kultural, mengakibatkan adanya komodifikasi kearah komersial. Komodifikasi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan tingginya minat pengunjung dalam partisipasi Ritual Petik Laut. Dalam (Rahayuningtyas & Siahaya, 2017) bentuk dari komodifikasi Ritual Petik Laut di Sendang Biru adalah keberadaan acara pengiring yang mengiringi acara puncak atau larung sesaji, acara tersebut masih dipertahankan dengan tujuan untuk menarik pengunjung, seperti festival pakaian adat yang dapat diikuti oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, pariwisata memiliki unsur yang kompleks dalam mendukung kegiatan operasionalnya, tidak hanya sekedar kepuasan wisatawan namun juga partisipasi dan pengelolaan oleh stakeholder.

Referensi

Martin, R., & Meliyono, I. (2011). Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru, Malang: Sebuah Telaah Budaya Bahari. International Conference ICSSIS, FIPB Universitas Indonesia, 340–351.

Rahayuningtyas, D., & Siahaya, T. (2017). Batara Kala Masa Kini: Transformasi Slametan Ruwatan Pada Masyarakat Jawa Di Malang Selatan. SBN Studi Budaya Nusantara, Vol. 1, No. 2 , 155–157.

--

--