Wacana Skema Ganjil Genap di Kawasan Wisata, Apakah Tepat?

Adika Faris
Wirta Indonesia
Published in
4 min readSep 26, 2021
Skema ganjil genap di kawasan wisata. Bagi kendaraan dengan pelat nomor tidak sesuai tanggal saat itu akan langsung diminta putar balik. (Foto: Kompas.com — Agie Permadi)

Sejumlah daya tarik wisata di beberapa daerah mulai kembali beraktivitas. Hal ini dilakukan mengingat aturan pada kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) memperbolehkan kunjungan wisata jika intensitas PPKM tersebut berada pada level rendah. Gelombang pengunjung pun kini telah terlihat memadati beberapa kawasan wisata. Sebut saja contohnya seperti Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor. Kekhawatiran pun muncul dari berbagai pihak. Khawatir angka penularan virus Covid-19 kembali melonjak.

Seolah gagap memahami kondisi yang terjadi, Pemerintah melempar kebijakan baru untuk menanggapi fenomena gelombang pengunjung wisata di tengah masa pandemi ini. Skema ganjil genap. Betul, sistem lalu lintas yang menjadikan angka pada kalender sebagai patokan ini dipilih sebagai solusi sementara untuk menekan jumlah kunjungan wisata agar tidak semakin liar.

Dimulai dari Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Wilayah bertopografi perbukitan berhawa sejuk, destinasi favorit masyarakat Jabodetabek dan sekitarnya ini menjadi objek percontohan dalam pelaksanaan skema lalu lintas ganjil genap. Tidak tanggung-tanggung, tiap akhir pekan (Jumat-Minggu) penuh selama 24 jam petugas di lapangan berjaga untuk menerapkan ganjil genap.

Entah apa parameternya, ganjil genap di kawasan wisata ini diklaim berhasil. Sejumlah Pemerintah Daerah di berbagai wilayah pun jadi tertarik. Ingin ikut mencoba. Sebab diskresi ini dianggap baru dan menarik di industri pariwisata Indonesia. Jika Kawasan Puncak saja berhasil melakukannya, mengapa kita tidak? Mungkin begitu pikirnya.

Mulai dari Kawasan Pantai Pangandaran di sisi selatan Pulau Jawa; Kompleks Ancol dan Taman Mini Indonesia Indah di DKI Jakarta; sejumlah daya tarik wisata di daerah administrasi DI Yogyakarta; Kabupaten Lebak; Kawasan Baturraden; hingga kabar terbaru dari Pemerintah Provinsi Bali yang juga berencana memberlakukan ganjil genap di Kawasan Pantai Kuta dan Pantai Sanur.

Jangan kira skema ganjil genap hanya akan dilakukan sebatas kewenangan Pemerintah Daerah setempat. Kini Kementerian Perhubungan juga ingin merumuskan aturan mengenai ganjil genap untuk kawasan wisata yang berlaku secara nasional. Diprediksi, Peraturan Menteri Perhubungan terkait pembahasan ini bakal segera rilis dalam waktu dekat ini. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menilai aturan ganjil genap di tempat wisata selaras dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Imendagri) Nomor 43 Tahun 2021 yang membahas tentang regulasi penerapan PPKM.

“Untuk daerah PPKM level 3, kawasan wisata sudah dibuka dengan protokol kesehatan yang ketat dan pembatasan, serta harus ada pemberlakuan ganjil-genap di jalan-jalan menuju kawasan wisata mulai Jumat pukul 12.00 sampai Minggu pukul 18.00 WIB,” ucap Budi dalam keterangan resminya, Minggu (19/9/2021).

Hanya Peraturan Tanpa Solusi Praktikal

Skema ganjil genap memang mampu menekan angka kepadatan lalu lintas. Namun perlu disadari kebijakan ini akan membuat penumpukan lalu lintas di jalur-jalur penyangga di sekitarnya. (Foto: Kompas.com — Agie Permadi)

Bambang Widjanarko, Sekretaris Jenderal organisasi Masyarakat Sadar Seni Budaya dan Pariwisata (Masdarwis) menilai skema ganjil genap ini dikhawatirkan bakal merugikan masyarakat baik wisatawan maupun pengelola dan industri pendukung lainnya, apalagi jika diterapkan secara permanen.

“Sah saja jika ganjil genap di kawasan wisata hanya bersifat temporary selama masa pandemi ini. Namun jika dilakukan terus berulang dan jadi kebiasaan bahkan dipermanenkan, ini kurang tepat,” kata Bambang menjelaskan, dilansir dari Kompas.com.

Bambang melihat, praktik di lapangan mengenai skema ganjil genap hanya memindahkan titik keramaian dari jalan utama. Tetap akan ada masyarakat yang abai mengenai aturan tersebut. Memilih jalur perkampungan sebagai jalan tikus alih-alih jalan utama agar dapat terhindar dari sistem ganjil genap.

Kultur berwisata masyarakat Indonesia sendiri umumnya berlibur dengan rombongan seperti berkeluarga. Masih jarang ditemui masyarakat lokal melakukan perjalanan wisata sendirian alias solo traveling. Oleh karena itu, penggunaan kendaraan pribadi yang mampu memuat banyak penumpang seperti mobil keluarga bakal jamak terlihat di berbagai kawasan wisata. Tentu kebijakan ganjil genap akan tidak selaras dengan kultur berwisata semacam ini. Nampak seolah Pemerintah merumuskan peraturan tanpa memahami karakteristik masyarakat secara mendalam. Tanpa adanya solusi praktikal pada potensi permasalahan yang dapat timbul, bukan tidak mungkin kekacauan di berbagai pintu masuk kawasan wisata bisa terjadi.

Ambil sebuah contoh kasus. Rombongan wisatawan asal Kebumen hendak berlibur ke Yogyakarta pada akhir pekan. Segala persiapan telah dilakukan. Pemesanan tempat penginapan pun juga tidak lupa. Dipilihlah sebuah hotel di tengah kawasan Malioboro karena dianggap sebagai jantung pusat Kota Yogyakarta. Booking fee yang tidak sedikit pun telah dibayarkan. Dengan mengendarai dua mobil keluarga, rombongan ini melaju hingga Kota Yogyakarta tanpa mengetahui kebijakan ganjil genap di kawasan wisata telah diberlakukan. Menjelang memasuki Kawasan Malioboro, baru disadari pelat nomor mobil yang dikendarai tidak sesuai dengan tanggal pada kalender saat itu. Bagi sebagian masyarakat awam, sangat mungkin mengalami kesulitan mencari solusi dalam skenario semacam ini.

Sungguh, keputusan menerapkan ganjil genap di kawasan wisata akan sangat masuk akal jika dibarengi dengan persiapan yang benar-benar matang. Wirta Indonesia menilai, solusi praktikal seperti pembuatan sistem feeder dengan menyiapkan transportasi umum seperti mobil shuttle bisa jadi salah satu alternatif jawaban. Pengunjung dengan kendaraan yang pelat nomornya tidak sesuai tanggal kalender saat itu dapat diarahkan menuju kantong parkir di luar kawasan wisata. Usai memarkirkan kendaraannya, si pengunjung dapat memanfaatkan sejumlah pilihan transportasi umum yang sudah disediakan. Praktik semacam ini tentu saja bisa dilakukan kapan pun terlepas dari situasi penerapan ganjil genap pada masa pandemi ini. Terutama jika masyarakat lokal mulai menunjukan resistensi terhadap praktik pariwisata di daerahnya akibat timbulnya kepadatan lalu lintas hingga kemacetan tak berkesudahan.

Selain solusi tersebut, apakah Warga Wirta memiliki gagasan lainnya terhadap isu ini? Mari kita diskusikan bersama.

Referensi

Kemendagri. 2021. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 2021.

Ihsan, M. Adika Faris. 2021. “Ganjil Genap di Kawasan Wisata Bakal Merugikan jika Tanpa Persiapan”. Diakses pada 21 September 2021 pukul 20.30 WIB.

--

--